Film Temple Grandin merupakan adaptasi dari kisah nyata seorang wanita bernama Temple Grandin. Ia mengidap autisme dan sering kali mengalami hipersensitivitas, biasanya terjadi pada manusia yang mengidap autisme. Sepanjang hidupnya, ia disalahpahami oleh orang-orang di sekitarnya seperti teman-temannya, orang tuanya, dan gurunya. Keterampilan komunikasi dan kecerdasannya berbeda dari manusia pada umumnya. Ia mengingat informasi seperti kamera yang memotret gambar, atau bisa disebut berpikir dalam gambar.
Film ini bisa dikatakan sebagai representasi yang cukup akurat mengenai manusia yang mengidap autisme. Malai dari berpikir dalam gambar, hipersensitivitas, kehidupan sosial, dan juga kelebihan khusus yang dimiliki manusia yang mengidap autisme. Temple Grandin bisa berpikir dalam gambar, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Dalam kehidupan sehari-hari, ia tidak suka disentuh oleh orang lain karena hipersensitivitasnya, sentuhan yang lembut bisa jadi terasa menyakitkan baginya. Dalam bersosialisasi, ia seringkali mengulangi perkataannya, berkomunikasi langsung dan jelas, dan juga sulit untuk memahami komunikasi nonverbal.
Kondisi manusia yang mengidap autisme berbeda-beda. Perbedaannya terletak di kemampuan kognitif, kemampuan komunikasi, keterampilan sosial, minat dan bakat, sensitivitas, tingkat kemandirian, dan kondisi mental serta medisnya. Dilihat dari kemampuan kognitifnya, pengidap autisme bisa memiliki IQ yang sangat tinggi maupun IQ yang sangat rendah. Contohnya Temple Grandin, ia memiliki IQ 137 yang membuatnya bisa menghasilkan solusi yang kreatif dan inovatif di bidang peternakan dan kesejahteraan hewan. Temple Grandin bahkan telah menyelesaikan pendidikan S3 atau doktor di Universitas Illinois.
Kembali lagi dengan Temple Grandin, hipersensitivitasnya membuat ia menghasilkan alat yang bernama "Squeeze chute" atau dalam Bahasa Indonesianya mesin penghimpit yang bahan utamanya adalah kayu. Hipersensitivitas merupakan responsivitas yang berlebihan terhadap suara, bau, tekstur, dan rasa, yang dapat mengakibatkan dirinya kelelahan. Saat mengalami hipersensitivitas, ia akan mendengar suara di sekitarnya lebih keras daripada manusia pada umumnya, mencium bau yang biasa saja menjadi menyengat, dan merasakan sentuhan lembut menjadi menyakitkan.
"Squeeze chute" atau mesin penghimpit merupakan solusi baginya ketika mengalami hipersensitivitas. Ia merasa seperti dipeluk ketika berada di dalam alat tersebut. Tekanan lembut  yang merata bisa dirasakan di sekitar tubuhnya. Stimulasi yang berlebihan seperti suara bising pun bisa berkurang karena alat ini mengelilinginya sehingga membuat semacam ruangan pribadi. Saat berada di dalam mesin penghimpit, fokusnya juga terahlikan kepada tekanan lembut yang diberikan oleh alat tersebut.
Namun, jika pelukanlah yang Temple butuhkan, lantas mengapa ia menolak ketika Ibunya memeluknya? Nah, jawaban dari pertanyaan ini masih terkait dengan hipersensitivitas yang dimiliki olehnya. Saat Ibunya memeluk Temple, sentuhan lembut yang Ibunya berikan dapat terasa menyakitkan bagi Temple, suara yang Ibunya keluarkan juga bisa terdengar lebih keras dari biasanya. Maka dari itu, ia lebih nyaman berada di dalam mesin penghimpit ketika mengalami hipersensitivitas, ataupun saat stress. Hal ini disebabkan oleh alat tersebut yang bisa tekanannya bisa dikontrol olehnya sehingga ia merasa nyaman. Ia pun bisa menentukan kapan ia mau menggunakan mesin tersebut. Mesin ini pun tidak memiliki unsur emosional seperti saat ia dipeluk oleh orang lain.
Berbeda dengan Ibunya, ketika teman sekamar Temple yang merupakan seorang tuna netra menyentuhnya, Ia merasa nyaman. Mengapa hal itu bisa terjadi? Bukankah saat disentuh oleh orang lain hipersensitivitas akan terjadi? Nah, jawabannya adalah karena sentuhan dari temannya itu terduga dan terarah, serta cenderung hati-hati karena tujuannya adalah untuk membantu temannya dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan pelukan dari Ibunya yang spontan, sehingga membuat Temple merasa tidak nyaman.
Di akhir film, ditunjukkan bahwa Temple sudah bisa menerima sentuhan, dan pelukan dari Ibunya. Hal ini terjadi karena beberapa faktor. Yang pertama, ia sudah bisa menggabungkan pelukan dari Ibunya dengan pengalaman positif. Jadi, ketika Ibunya memeluk berarti hal baik sedang terjadi. Yang kedua, berkembangnya kemampuan emosionalnya yang membuat ia merasa nyaman dengan sentuhan dari orang lain. Yang terakhir, sebagai orang dewasa yang sudah mengerti mengenai autisme dan hipersensitivitas, ia mampu mengontrol respon dari sentuhan yang didapatkan, dan juga bisa mengkomunikasikan batasan-batasan yang ia butuhkan.
Berpikir dalam Gambar
Thinking in Pictures atau berpikir dalam gambar merupakan cara berpikir atau memproses informasi dengan gambar yang konkret. Tidak dalam kata-kata ataupun kalimat. Secara sederhana, orang yang berpikir dalam gambar bisa diumpamakan seperti kamera yang memotret sebuah foto. Mereka dapat mengingat informasi seperti sebuah foto, dan bisa mengingat jelas situasi atau pengalaman terkait informasi tersebut. Hal ini seringkali terjadi pada manusia yang mengidap autisme.
Di dalam film terdapat beberapa adegan saat Temple berpikir dalam gambar. Yang pertama adalah saat ia mengikuti pelajaran Bahasa Prancis. Berkaitan dengan ia yang berkomunikasi langsung dan jelas, ia mengeluh dengan suara yang keras, mengatakan bahwa ia tidak suka belajar Bahasa Prancis. Dosen Bahasa Prancis pun menghampiri meja Temple, dan memintanya untuk membacakan apa yang telah dibaca dari buku tersebut. Temple pun bisa membacakan isi buku dengan detail hanya dengan melihat halaman buku tersebut sekali.
Hal ini juga terjadi pada saat ia merancang "Squeeze chute" atau mesin penghimpit. Ia bisa membayangkan bagaimana alat tersebut memberikan tekanan lembut yang akan menenangkannya. Ia bisa membayangkan gambaran konkret tentang bagaimana alat tersebut bisa memberikan rasa aman dan merupakan solusi yang efektif untuk mengatasi hipersensitivitas yang dialaminya.
Setelah lulus dari Universitas Colorado dan melanjutkan pendidikan di Universitas Illinois, Temple membuat "Cattle Handling Systems" yang meminimalkan stres pada sapi saat pemotongan sapi lainnya. Ia bisa membayangkan gambaran konkret sapi yang bergerak di ruang tersebut. Ia merencanakan mulai dari detail, jalur, area penampungan, penggunaan material yang tidak berkilap, sistem pencahayaan dan hal-hal lain yang membuat sapi tidak bisa melihat proses pemotongan sapi lainnya.
Namun cara berpikir Temple yang berbeda dari manusia pada umumnya tidak hanya berbuah positif. Pada saat ia masih sekolah, beberapa orang menggangap dirinya bodoh karena sulit berkomunikasi dan juga tidak mengerti materi yang dijelaskan oleh gurunya. Stereotip tentang autisme juga membuatnya sulit untuk menyampaikan ide ataupun gagasan. Contohnya, pada saat ia menyampaikan ide di depan para peternak mengenai rancangan fasilitas pemrosesan hewan, mereka meremehkan gagasan tersebut, bahkan beberapa dari mereka tidak mau mendengarkan. Namun, hal tersebut berhasil Temple melalui tantangan ini dengan membuktikan bahwa rancangannya baik dan efisien dalam mengurangi stres saat pemrosesan pemotongan daging sapi, yang membuat peningkatan kualitas daging sapi. Hal ini yang membuat para peternak percaya dan mau mendengarkan ide Temple.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H