Mohon tunggu...
Tateng Gunadi
Tateng Gunadi Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pecinta buku, suka menulis, dan senang fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Hujan dalam Kenangan Masa Kecil

22 April 2021   11:11 Diperbarui: 8 September 2021   11:55 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by PublicDomainPictures from Pixabay

Hujan mengingatkanku sebagai anak kecil waktu itu. Aku yang tertegun menatap ke halaman di balik jendela kayu yang terbuka. Saat itu untuk pertama kali aku melihat hujan. Ribuan butiran air bening yang berebutan jatuh dari ujung genting. Aku mendengar suara ribut dari deru gemuruhnya bersama angin. Sesekali ada juga tempiasnya mengenai muka. Udara segera mendingin, sejuk merasuk juga ke dalam rumah.

Hujan mengajakku bermain perahu kertas untuk dilayarkan di sungai kecil yang dibuatnya. Genangan air hujan kemudian menjelma lautan bagi perahu layarku. Arusnya adalah gelombang pasang yang bersiap menenggelamkan. Perahuku tak henti terombang-ambing, pasrah dipermainkan air yang menderas, bertahan dalam basah kuyup sampai tak terlihat menuju ke negeri entah.

Hujan melambaikan tangannya mengajakku menari di bawah derainya. Maka setiap turun hujan aku segera turun pula ke halaman rumah. Berlarian bersama bocah-bocah lain di bawah derasnya hujan. Menari-nari sesuka hati, melompat-lompat kegirangan, dan berteriak sekeras halilintar mengalahkan gemeretak suara hujan yang riuh rendah.

Hujan memandikan orang-orang yang lewat di jalanan. Bapak ibu petani yang berjalan beriringan pulang bekerja dari sawah. Para pencari rumput yang memanggul karung rumput di pundak mereka. Anak-anak yang riang berlarian pulang dengan seragam merah putih setelah selesai sekolah. Hujan bukan rintangan untuk pulang, meski pakaian dan tubuh mereka menjadi basah.

Hujan menyembunyikan kesedihanku suatu ketika itu. Senja sudah hamil tua saat hujan turun begitu derasnya sedangkan aku berjalan seorang diri saja. Sepanjang jalan itu hujan sibuk menyeka air mata di kedua pipi kanak-kanakku dengan tetes-tetes airnya yang terus berjatuhan tak henti-hentinya. Tak ada seorang pun yang menegurku dalam guyuran hujan itu, ketika aku berjalan pulang sedang perasaan ditangkup penuh oleh kecewa dan gundah.

Bogor, 7 April 2021

Puisi lainnya, "Setiap Hari Kau Melukis" pada tautan https://www.kompasiana.com/tatenggunadi4377/606a7de28ede48051979f1c2/setiap-hari-kau-melukis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun