Berdasarkan argumen Wansbrough, kita tidak dan tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita mempelajari apa yang diyakini para pendatang kemudian terjadi melalui sejarah keselamatan yang terdokumentasi.
Wansbrough, yang membuat teori di atas penemuan Schacht, menyimpulkan bahwa, "dengan sedikit pengecualian, fikih kaum Muslimin, bukan bersumber dari Al-Qur'an." Beberapa masalah yang masih tersisa yang dapat dimanfaatkan sebagai dalil yang bersumber dari Al-Qur'an, secara perlahan dinafikan, "Mungkin dapat ditambahkan bahwa beberapa pengecualian yang ada...tidak semestinya menjadi bukti adanya sumber yang lebih awal mengenai kitab suci itu." Ia menyajikan satu referensi gagasan pemikiran ini.
Menurut Al-A'zami, dalam hal ini siapa saja akan geleng kepala karena bagaimana karya unggulan ini dapat membangun pernyataan tentang Al-Qur'an sedangkan pada catatan kaki fertulis: Strack, H., Introduction to the Talmud and Midrash, yang secara tak langsung menunjukkan bahwa jika segalanya benar apa terjadi pada Talmud dan Midras, maka hal itu akan lebih benar apa yang terjadi pada Al-Qur'an.
Imitasi dari Nabi Musa: Pemahaman Wansbrough atas kenabian nabi Muhammad
John Wansbrough nampaknya lebih mengkritisi keberadaan Muhammad sebagai nabi dibandingkan keberadaan Al-Qur'an itu sendiri dalam Islam. Menurut Wansbrough, ada alasan untuk mempertanyakan fakta mengenai Isra dan Mi'raj. Karena mirip dengan Isra versi Musa dalam Al-Qur'an "Dan Kami wahyukan (perintahkan) kepada Musa: "Pergilah di malam hari dengan membawa hamba-hamba-Ku (Bani Israil), karena Sesungguhnya kamu sekalian akan disusuli" (QS. Asy Syu 'araa' [26]: 52)
Menurut Wansbrough, ayat di atas sama dengan Bibel "Maka pada tengah malam Tuhan membunuh tiap-tiap anak sulung di tanah Mesir, dari anak sulung Firaun yang duduk di takhtanya sampai kepada anak sulung orang tawanan, ... Lalu bangunlah Fir'aun pada malam itu, bersama semua pegawainya dan semua orang Mesir dan kedengaranlah seruan yang hebat di Mesir, ... Lalu pada malam itu dipanggilnyalah Musa dan Harun, katanya: "Bangunlah, keluarlah dari tengah-tengah bangsaku, baik kamu maupun orang Israel; pergilah, beribadahlah kepada Tuhan, seperti katamu itu. Bawalah juga kambing dombamu dan lembu sapimu, seperti katamu itu, tetapi pergilah! Dan pohonkanlah juga berkat bagiku." Orang Mesir juga mendesak dengan keras kepada bangsa itu, menyuruh bangsa itu pergi dengan segera dari negeri itu, sebab kata mereka: "Nanti kami mati semuanya." (Keluaran 12:29-34) Hal ini menimbulkan pertanyaannya apakah QS 17:1 benar-benar tentang Muhammad ataukah tentang Isra Musa?
Fazlur Rahman menanggapinya dengan penilaian bahwa Wansbrough belum sepenuhnya memahami fenomena penggantian ayat dengan ayat lain. Ini disebut naskh yang artinya penggantian atau penghapusan. Untuk menjadi penggantinya, harus ada ayat baru yang menggantikan ayat yang lama. Apa yang diungkapkan John Wansbrough tidak dapat dibenarkan karena ia mengabaikan dua ayat lain yang menyebutkan kata (faasri) yang ditujukan dengan Nabi Luth dalam QS. Al-Hijr (15): 65 dan QS. Hud (11): 81. Dengan demikian, kata ini digunakan tidak hanya untuk Nabi Musa (a.s.) tetapi juga untuk nabi-nabi lainnya. (Alfatih Suryadilaga, 2011: 95)
Wansbrough juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak bisa dibandingkan dengan nabi-nabi lainnya, bahkan beliau lebih rendah dari Musa as. Dalam konteks ini, John Wansbrough mengatakan "... Such as. It is, the scriptal may be enlisted to support the particula position of The Moses in the prophetical hierarchy but hardly that the Muhammad. The Paradigm was not only Biblical but Rabbanic". (Wansbrough, 1977: 55-56). Keunggulan Nabi Musa sering diungkapkan dalam Al-Qur'an, misalnya QS. Al-Nisa' (4): 164, QS. Al-A'raf (7 ): 143 dan QS Al-Naml (27): 8-12 (Alfatih Suryadilaga, 2011: 93)
Bagi Rahman, John Wansbrough tidak memahami bentuk kisah-kisah al-Qur'an. Adanya berbagai kisah tersebut dengan sendirinya merupakan i'jaz terhadap Al-Qur'an dan pengulangannya menunjukkan pentingnya hal tersebut.
John Wansbrough juga menganggap bahwa kata "qul" di QS. al-An'am (6): 15, al-Ra'd (13): 36 dan al-Ankabut (29): 52, kata-kata ini sengaja disisipkan dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Allah. Keberadaannya justru menjadikan Al-Qur'an tidak logis karena tidak sesuai dengan hegomonitas bahasa, sambungnya. Dengan demikian, John Wansbrough menyamakan Al-Qur'an dengan karya sastra puisi lainnya yang harus konsisten dalam penggunaan gaya bahasanya.(Alfatih Suryadilaga, 2011: 94-95)
Beberapa kesimpulan mengarah pada penafsiran John Wansbrough: