Mohon tunggu...
Eta Rahayu
Eta Rahayu Mohon Tunggu... Lainnya - Urban Planner | Pemerhati Kota | Content Writer | www.etarahayu.com

Hidup tidak membiarkan satu orangpun lolos untuk cuma jadi penonton. #dee #petir etha_tata@yahoo.com | IG: @etaaray

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tentang Sosialisasi Rencana Tata Ruang

24 Maret 2015   21:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:05 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1427205322319981194

Senin. Dalam perjalanan menuju Surabaya (lagi).

Beberapa saat yang lalu saya melintas jalan ringroad Madiun. Entah ringroad sebelah mana. Kondektur bis Ponorogo - Surabaya itu hanya berteriak "ringroad ringroad, yang turun ringroad persiapan". Seakan - akan hanya ada satu ringroad di sana. Atau karena hanya itu satu-satunya ringroad yang menjadi rute kendaraan roda enam itu. Entahlah. Sebenarnya kali ini bukan ringroad yang menjadi daya tarik. Tetapi, baliho. Ada satu baliho yang cukup membuat dahi berkerut. Baliho yang terpampang tepat di ujung jalan lingkar, di kiri bundaran itu terlihat sama saja seperti baliho pada umumnya. Tapi isinya boleh juga. Isinya sebuah peta besar yang berjudul Rencana Tata Ruang.

Sebenarnya beberapa kali saya sudah melihatnya. Baliho itu dipasang sejak lama. Namun pagi ini setelah mengamati lekat-lekat papan berukuran besar itu saya jadi ingat kata-kata seorang bapak pegawai dinas di Surabaya di pertengahan 2012. "Kita hati-hati dalam mengeluarkan dokumen rencana". Begitu kalimat singkatnya. Ketakutan pemerintah untuk membeberkan rencana tata ruang kota tersebut bukan tanpa alasan. Praktik makelar tanah menjadi dasarnya. Maklum tanah di kota besar harganya gila-gilaan. Dan bila tanah tanah disekitaran pengembangan rencana, misal rencana jalan, dikuasai oleh para makelar, maka bisa diprediksi apa yang akan terjadi. Project mangkak. Lahan berharga tinggi. Pemerintah kesulitan mengganti rugi lahan karena ulah makelar tanah itu.

Berbeda dengan Kota Jakarta. Kota Jakarta men-sosialisasikan hasil rencana tata ruangnya di internet. Dulu sebelum disahkan, Kota Jakarta bahkan mengunggah draf rencana - rencana detail mereka. Saya masih punya filenya, lengkap tiap kecamatan hingga pelosok kelurahan. Sangat detail. Dan selain itu, saya pernah membaca ulasan pak marco, founder Ruang Jakarta atau Rujak.org tentang beberapa kawasan di Jakarta yang peruntukannya kurang tepat. Setidaknya ada empat kawasan yang dinilai janggal.

[caption id="attachment_357230" align="aligncenter" width="448" caption="Slide Penyusunan Rencana Tata Ruang - Mata Kuliah Studio 5 | PWK ITS (2013)"][/caption]

Masih segar ingatan kita, betapa ramainya pembahasan tentang jalan tol tengah Kota Surabaya beberapa saat lalu. That issue moved so fast. Mulai dari pemerintah, para praktisi, akademisi, kalangan masyarakat, juga media massa. Seluruhnya ramai membahas apakah tol tengah kota itu penting bagi kelangsungan ekonomi Surabaya. Tak hanya dari sektor ekonomi, sektor lingkungan, sektor pergerakan, supply dan demandtransportasi menjadi materi perbincangan yang unik. Ada atmosfer baru. Masyarakat yang semula tak mengerti rencana-rencana semacam itu menjadi tertarik untuk tahu dan ikut memperjuangkan pendapatnya. Isu tol tengah kota ini mampu memunculkan pengertian baru di tengah-tengah khalayak ramai, tentang tata ruang. Tak hanya itu. Kita juga mendengar kasus hutan di Bogor. Kala itu peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kawasan lindung dan kawasan budidaya meningkat dari sejumlah biasanya. Sayangnya tak ada statistik yang memvisualisasikan itu.

Ada banyak isu lain yang selama ini terjadi dan merepresentatifkan apa itu tata ruang. Hanya saja kita sering tak paham dan tak sadar apa itu berhubungan dengan tata ruang. Tata Ruang selalu diidentikkan dengan pengaturan aktivitas atau ruang gerak manusia dan habitat lainnya di dalam suatu kawasan tertentu. Bicara tata ruang jelas bicara tentang aktivitas. Bicara tentang aktivitas berarti bicara pula tentang si empunya aktivitas alias si masyarakat itu sendiri. Ya, berkutat pada perputaran aktivitas dan pribadinya sendiri. Kalau begitu bukankah berarti masyarakat SANGAT berhak tahu tata ruang kotanya? Berhak mengetahui bagaimana aktivitas sehari-harinya diterjemahkan dalam pengaturan ruang gerak sebuah kawasan atau kota?

Karena rencana tata ruang ini berbadan hukum dan melalui serangkaian proses yang wajib dijalankan. Maka sosialiasi merupakan hal yang wajib untuk dilakukan. Bukan hanya saat sebelum diperdakan, tetapi juga setelah diperdakan. Selain untuk melakukan kontrol apakah masukan-masukan yang dilontarkan menjadi pertimbangan. Juga untuk melihat bagaimanakan arah perkembangan kota atau kawasan kedepannya. Masyarakat jelas wajib tahu. Bukan hanya para investor saja. Dan bukan pula hanya menjadi dokumen yang tertata rapi di rak-rak bagian riset sebuah dinas. Ya tho?

Bagaimana dengan kecurangan makelar. Ya mau gak mau, pemerintah setempat yang harus mengendalikan ini. Siapa sih yang mau rugi? No one wants to lose, i bet. Dan bila dalam keadaan memerlukan uang, tentu mereka akan melepas lahan yang mereka miliki. Parahnya, bila mereka tidak mengerti rencana tata ruang, mereka akan digelincirkan oleh lidah-lidah para makelar tanah. Ini lebih berbahaya.

Satu yang pasti, makelar tanah harus diberantas. Dengan memperketat peraturan jual beli tanah di kawasan-kawasan pengembangan rencana. Setelah pengesahan rencana tata ruang, pembatasan jual beli tanah di kawasan rencana harus dilakukan. Jika memang tidak dapat dihindarkan dan jika perlu ya jual saja ke pemerintah kota. Toh nantinya juga akan ada proses ganti rugi kalau project berjalan. Sama saja. Bedanya sekarang atau nanti. Sekalipun dengan konsekuensi belum tentu dijalankannya rencana yang sudah terperdakan. Kalau memang pemerintah kota tak ada anggaran karena project belum mulai dan tak ada alokasi anggaran untuk 'menyelamatkan' lahan-lahan itu ya apa boleh buat. Berdoa saja, semoga ada donatur baik yang menginvestasikan uangnya. Hehe

Duuh bicara doang memang gampang. Seringkali lupa bagaimana perselisihan di setiap ganti rugi lahan terjadi. Ribut sana ribut sini, padahal yang diributkan juga tak kemana. Lahan tak akan lari. Bertempat di koordinat yang hanya bergerak sekian mili setiap beberapa tahunnya. So, kenapa harus diributkan?

Original draft on Monday, March 23 2015 at 9 a.m.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun