Bulan ini (atau bulan kemarin, mm) jadi bulan dimana saya berstatus, ‘i had been seven years to be here, i mean Surabaya’. Ya saya memang tak ingat persis tanggal berapa saya ke Surabaya, tapi hari itu, hari dimana saya resmi jadi anak perantauan pertama kali adalah hari dimusim penerimaan siswa baru. Persis seperti saat ini. ~Please stop bilang sekarang musim kampanye. Stop it! I dont wanna hear some stuff like that. :)
Sistem Pendaftaran di Surabaya
Saya ingat waktu itu saya harus mengurus surat rekomendasi untuk bisa memasuki kuota Calon Siswa Luar Kota. Tepatnya, Luar Provinsi. Well, istilahnya saya sudah tak ingat, tapi saya ingat prosesnya cukup ribet waktu itu. Karena saat itu inet belum setenar sekarang (atau entah saya yang kudet :D). Tahun 2007. Seluruh proses dijalani manual, pemasukan berkas hingga pengumuman masih konvensional dengan datang ke Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Jalan Jagir, Wonokromo. Bahkan ada insiden kaca pecah dihari pengumuman rekomendasi saat itu.
Setalah saya masuk di sekolah menengah, barulah penerimaan siswa baru dimulai dengan sistem online. Ada beberapa spot sistem online yang disebar di seluruh kota sebagai bentuk sosialisasi pada awam. Saat itu sayapun diamanahi untuk ikut mensosialisasikan sistem ini di salah satu mall di kawasan Surabaya Utara. Well Surabaya memang smart city. Hingga tahun inipun, sistem penilaian siswa (atau biasa kita sebut sebagai rapot atau rapor) sudah dalam sistem online. Canggih ya!
Kembali, kita bicara tentang penerimaan siswa baru. Tahun 2008 penerimaan siswa baru sudah menggunakan sistem rayon. Sistem rayon ini membagi seluruh sekolah SMP dan SMA di Surabaya menjadi beberapa rayon. Dengan sistem rayon ini, siswa yang bermukim di kecamatan tertentu hanya boleh mendaftar sekolah pada rayon tertentu. Misal lulusan SD dari Kecamatan A hanya bisa mendaftar di SMP negeri di rayon 1, rayon 1 ini terdiri dari 3 hingga 4 sekolah dari total 43 sekolah SMP negeri di Surabaya. Begitu seterusnya dibagi berdasarkan wilayah rayon tersebut.
Menariknya tahun ini, hal sedemikian rupa diterapkan di lingkup SD dengan sistem yang jauh lebih detail. Berikut saya capture dari site PPDB Kota Surabaya untuk SD. Silahkan buka langsung untuk lihat sosialisasinya dengan berbagai video disini, semoga lebih bisa dipahami.
Scoring kawasan
Lihat orange underline. Saya garis bawahi bahwa kedekatan alamat calon peserta didik baru dengan lokasi SDN yang menjadi pilihan sebagai salah satu prasyarat ini menjadi semakin menarik. Poin ini didetailkan hingga tingkat RT dan RW. Misal, Tata lahir di Kecamatan Sawahan dengan tinggal di kelurahan Petemon, RW 1, RT 1. Nah jika Tata mendaftar di SD Petemon 1, Petemon 2 atau Petemon 9 maka nilai skoringnya akan jauh lebih tinggi dengan anak lain yang berasal dari RT, RW, Kelurahan hingga kecamatan yang berbeda. Ya sampai sedetail itu. Disisi lain, Perhitungan usia calon akan mendapat skor maksimal apabila sudah berumur 7 tahun, jika dibawah 7 tahun, secerdas apapun anak itu, ia akan tetap kalah dengan anak 7 tahun yang masih belum cerdas.
Skoring kawasan ini menandakan bahwa setiap sekolah wajib dan mesti bersaing menjadi sekolah favorit. Kalau dulu yang terkenal sebagai SD favorit di Surabaya adalah SD kaliasin sekarang hal tersebut sudah tak berlaku lagi. Semua sekolah sama saja, dalam arti lain semua sekolah dan guru harus kerja keras untuk berpartisipasi aktif dalam mencerdaskan anak didiknya.
Kota Bandung
Berbeda dengan Surabaya, Bandung baru menerapkan sistem seperti itu tahun ini, kuota luar kotapun masih sangat tinggi, 5 %, sedangkan Surabaya hanya 1 %. Walau dengan persentase sedemikian tinggi, masih banyak pergolakan dari warganya. Sistem PPDB di Kota Bandung ini pernah diinfomasikan via twitter oleh pak Wali. Look at http://chirpstory.com/li/215649see? Ini sharing yang sangat bagus untuk kita ketahui bersama, bahwa sekolah dimana saja sama saja, yang terpenting kemauan dari dalam diri anak didik dan peran orang tua. Please para orang tua, sekolah bukan satusatunya tempat yang wajib untuk menimba ilmu, justru seharusnya keluargalah pilar ilmu mereka.
Tata Ruang dan Sistem Penerimaan Siswa Baru
Tata ruang memang unik, sesuatu itu tersirat dengan baik dalam pergolakan sistem aktivitas apapun di dalam suatu wilayah, dalam hal ini kota. Kedekatan siswa dengan sekolahnya menjadi unsur paling penting untuk meminimalisir pergerakan. Selain hal hal lain seperti yang disampaikan Kang Emil. Meminimalisir pergerakan dengan adanya kebijakan kedekatan sekolah dengan tempat tinggal ini menjadi sangat kompleks dampak positifnya. Pergerakan (atau lebih tepatnya saya sebut kemacetan) dari satu wilayah ke wilayah lain dapat ditekan, dan biaya transportasipun menjadi lebih murah. Tidak berhenti hingga disini. Termasuk masuk sekolah. Saya ingat setiap hari (dulu) saya harus sudah melangkah gebang pertama pukul 6.20 dan make sure sudah berada di area gerbang kedua pukul 6.30, sekolah saya memang memiliki 2 gerbang. Jika sekolah masuk pukul 7, lalu lintas akan sangat padat. Jam-jam tersebut tentu menjadi start penguraian lalu lintas dalam kota antara para pekerja dengan anak sekolah. Ada banyak lagi hal terkait penerimaan siswa baru ini dengan tata ruang. Banyak. Serius.
Jadi mari kita dukung langkah ini sebagai bentuk keikutsertaan kita untuk mengurai kemacetan di dalam kota, untuk tidak mendiskriditkan sekolah sekolah di kawasan pinggiran kota dengan label sekolah kurang bermutu. Dan ini dimulai dari keluarga.
Fyi, kebijakan kedekatan sekolah dengan anak didik juga diterapkan di Jepang dan di Prancis. Semoga kota lain segera menyusul ya! :)
Salam,
2 Juli 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H