Sahabat tapi menikah? Okay, ini bukan cerita Ayudia Bing Slamet dan Dito yang populer banget itu, ya! Ini cerita film. Bukan, bukan film mereka yang dibintangi Vanessa dan kekasihnya. Pun bukan film Antalogi Rasa atau 5 Senti atau Rectoverso - Curhat untuk Sahabat. Tapi ini film yang release di Oktober 2014 lalu. Love, Rossie.
Memang film ini cukup lama. But, happen to be fun watching it over and over again. Film ini bahkan akhir tahun lalu tayang di Netflix Australia. November 2015 pernah ditayangkan di Netflix UK dan bulan ini juga masih tanyang lagi di aplikasi Netflix. Film bergenre komedi romantis ini memang layak ditonton berkali-kali.
Love, Rossie diadaptasi dari sebuah novel karya Cecelia Ahern. Where Rainbow Ends. Juliette Towhidi, sang penulis skenario, kemudian membuat sedikit pembelokan dalam karya novel ini. So, the novel and the movie aren't really same story. Walau ide besarnya tetap mengacu pada novel sih. Atau biasanya novel dijadiin film banyak yang gitu ya? :)
Well, kalau biasanya saya spoiler sewaktu review film, terutama Conan, saya tak akan banyak spoiler di sini. Silakan nonton sendiri. Anda jelas akan menemukan nuansa tawa dan tangis yang diaduk-aduk menjadi manis. Walau kadang nangis dan senyum menjadi kombinasi yang pas di scene tertentu. Film ini resmi saya nobatkan sebagai film emosional yang pernah saya tonton. Saya menonton pertama kali di 2015 dan tetap tersentuh setiap kali melihatnya. Ini mungkin jadi film pertama yang membuat saya menangis, lalu tertawa, dan kembali menangis. Dan pada akhirnya ikut tersenyum.
Bagaimana tidak, tokoh utama, Lily Collins sukses memerankan karakter Rosie Dunne. Boleh dibilang, Love, Rossie yang mengenalkan saya pada Lily Collins dan tetap menunggunya memerankan lakon lain. And Sam Claflin jelas perfect man untuk memerankan Alex Stewart. Keduanya menghasilkan chemistry yang layak diacungi jempol.
Tapi saya rasa selain part Rossie melakukan kesalahan di pesta dansa, secara pengambilan gambar, overall menarik. I think, Christian Rein as the cinematography done a good job! Adegan-adegan khas barat ditampilkan hitungan detik saja. Dan tetap ketara ide yang ingin disampaikan secara keseluruhan plot. Well, film romantis barat tanpa adegan "barat" seperti laut tanpa ikan ya! So, just enjoy it! And better taking the positive message they want to share within this movie.
Sebenarnya begitu banyak pesan yang ingin disampaikan di film yang mengambil setting di Dublin Irlandia dan Boston Amerika ini --jalan ceritanya begitu, entah lokasi syuting sebenarnya di mana, hehe. Menurut saya, ide besar dan pesan moral yang paling ingin disampaikan adalah "komunikasikanlah!". Beranikan dirimu untuk bilang sesuatu yang jujur dari dalam diri. Dan belajarlah menerima apa pun yang nanti akan jadi jawaban atas semua tanya. Because that's life anyway, everything possible to happen. Don't you think so? :)
Selain pesan untuk saling terbuka, saling "dikomunikasikan apa pun masalahnya", saya menangkap pesan tersurat yang dikatakan ibu Rossie. Sungguh ada ganjaran di balik semua kebohongan! Bahkan white lies sekalipun. Dan pesan menarik lainnya yang saya tangkap secara tersirat adalah tentang tanggung jawab. Tanggung jawab sama diri sendiri, tanggung jawab pada mimpi-mimpi, tanggung jawab sama anak, tanggung jawab sama perbuatan, tanggung jawab sama agama, dan yang paling penting tanggung jawab dengan rasa.
Padatnya pesan tanpa membuat film terasa berat ditonton adalah keberhasilan tersendiri. Apa ini lantas membuat rating Love, Rossie menarik? Hmm bisa jadi! Di Netflix, rate film Love Rossie berada di angka 4.2. Di Rotten Tomatoes Score 4,6% dan di IMDB 7.2/10. Okay, untuk ukuran film romantis, rate IMDB di atas 7 adalah prestasi yang lumayan baik menurut saya.
Dan lagi film Love, Rossie berdurasi pas. Sekitar 102 menit saja. Dan di menit ke 1 jam 24, Rossie mengatakan sesuatu yang pantas saya quote di sini. Like this...
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!