Pada kasus Ifa dan Salma ini, saya berfikir... Bukankah cerdas dan tidak cerdas adalah ukuran waktu? Dan juga pembimbingnya?
Jika sekolah-sekolah terbaik, atau sekolah-sekolah negeri hanya menerima anak dengan potensi akademik yang baik, bagaimana dengan mereka yang saat ini belum cerdas? Bukankah fungsi pendidikan untuk mencerdaskan? Bukankah fungsi sekolah untuk mendidik anak-anak yang kurang cerdas menjadi lebih cerdas?
Bahkan ini tidak hanya terjadi di level SMP saja. Level universitas juga sama. Untuk bisa masuk ke PTN seperti UGM, UI, ITB, ITS, UNS, UNDIP yang literally adalah kampus terbaik di negeri ini, ada tes khusus masuk ke perguruan tinggi negeri. Kita pasti sangat familiar dengan tes ini. Setiap tahun menjadi highlight khusus di media-media nasional. Dan lagi-lagi, hanya mereka yang "sudah cerdas" yang diterima. Untuk yang tidak bisa masuk, mungkin bisa masuk jalur lain seperti jalur mandiri. Tentu saja bila uangnya cukup.
Bayangkan bila kemudian anak-anak yang tidak memenuhi kualifikasi sekolah di sekolah negeri, di perguruan tinggi negeri, tidak menerima pendidikan yang layak. Sudah kurang cerdas, tidak menerima wawasan yang seharusnya pula. Saya berfikir hal ini menjadi bibit kesenjangan dalam pendidikan. Yang cerdas akan semakin cerdas, dan yang kurang cerdas akan semakin terpuruk. Dan nantinya, akan melebarkan kesenjangan ekonomi. Karena walau bagaimanapun, pendidikan menjadi dasar penting untuk dapat "hidup".
Fakta ini menyakiti sosial kita. Juga dunia pendidikan kita. Seharusnya.
Saya paham dan sadar. Hidup adalah tentang kompetisi. Tetapi toh itu tak sepenuhnya benar. Ada hal-hal lain yang juga jadi penentu keberhasilan sebuah hidup. Salah satunya kesempatan. Toh batu yang keras juga akan terkikis bila terkena hujan terus menerus bukan? Anak-anak yang kini kurang cerdas, bila dididik oleh guru-guru yang berpengalaman, dosen-dosen yang sudah bergelar panjang, bukankah lambat laun akan menjadi cerdas?