Ramadan. Bulan penuh berkah ini akan sangat disayangkan bila berlalu tanpa amalan. Tak hanya menghabiskan waktu dengan beribadah di rumah, mengunjungi kawasan religi juga bisa jadi kegiatan yang menyenangkan. Plus, bisa menguatkan iman.
Kawasan Ampel. Bukan nama yang asing bagi warga Surabaya. Bahkan bagi kebanyakan muslim di penjuru Indonesia. Namanya diabadikan dari salah satu wali yang mendakwahkan ajaran agama Islam. Betul, Sunan Ampel. Tak hanya masjid agungnya yang terkenal, makam-makam disana juga menjadi daya tarik tersendiri.
Kawasan yang didapuk sebagai kawasan arab ini terletak di Surabaya Utara. Di jalan Sasak tepatnya. Berada ditengah-tengah area kampung kota juga perdagangan jasa. Kawasan Ampel kental dengan sejarah islam juga budaya timur tengah yang khas.
Kawasan Ampel tak pernah sepi dari pengunjung. Terlebih di kala ramadan. Menjelang maghrib hingga tengah malam, kawasan ini akan menjadi salah satu magnet kuat. Sesak. Penuh. Berjubel. Terutama di sepuluh malam terakhir. Berjalan di lorong-lorong kawasan Ampel begitu menyulitkan. Juga harus sabar.
Tepat hari ke sebelas bulan ramadan, saya coba mengunjungi kawasan masjid agung Sunan Ampel. Namun pemandangan pagi itu berbeda.
***
Kubah masjid belum sepenuhnya tersapu mentari. Orang yang lalu lalang juga bisa dihitung jari. Memang, jarum jam belum sepenuhnya menunjukkan pukul sembilan. Dalam bayangan saya, di kisaran waktu ini akan banyak pengunjung yang memohon kemurahan rejeki. Tapi bayangan saya salah. Minggu pagi, 27 Mei 2018, kawasan masjid termasyur ini cenderung sepi. Di beberapa sudut hanya terlihat gerombolan kecil laki dan perempuan berbincang. Di Mushola Khusus Wanita, satu dua orang khusuk dalam balutan mukena. Di samping tempat wudhu, beberapa laki-laki tidur pulas. Mungkin mereka tidak tidur semalam. Entahlah.
Di waktu jeda Subuh hingga Duhur, masjid utama masih digembok. Hanya tukang sapu dan pel yang bisa masuk ke masjid utama. Praktis, pusat aktivitas di kala pagi adalah makam. Mereka yang ingin mengunjungi makam, dan tidak ingin terjebak dalam kondisi yang berdesakkan, maka pagi adalah pilihan.
Jika diamati lekat-lekat, mereka yang ingin mengunjungi makam adalah rombongan. Kurang lebih 30 menit saya berdiri di spot yang sama, lorong masuk makam mbah Ampel. Dalam waktu singkat itu, saya mendapati beberapa rombongan kecil melenggang ke arah makam sang sunan. Ditambah satu rombongan lain, kisaran sembilan orang.
Rombongan kecil umumnya adalah keluarga. Bapak, ibu dan seorang anak perempuan. Rombongan kedua adalah mereka yang berjumlah sembilan orang. Keluarga dan kerabat yang jika saya dengar dari logatnya adalah orang Madura. Selain tak bisa bahasa Madura, saya tak sampai hati mengganggu moment mereka.