Mohon tunggu...
Tatang Guritno
Tatang Guritno Mohon Tunggu... mahasiswa -

biar makna tersirat rapi di bawah rangkaian kata penuh arti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gerimis dan Senja Hari Ini

26 November 2014   06:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:49 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semenjak senja tiba aku tak tahu harus bagaimana. Melanjutkan segalanya seperti sedia kala tanpa merasa terjadi apa-apa, atau memulai langkah baru , ke sebuah tempat baru, perhentian baru. Senja mengungkap segala. Dalam jingga maupun kelabu. Dan hujan berkolaborasi bersamanya. Membuat tahun-tahun kediaman itu berubah.
Hari ini lengkap. Uang makin menipis, ban motor bocor, dosen pembimbing yang perfeksionis. Serta kerjaan yang sedikit lagi mencapai deadline. Aku bisa kehilangan pekerjaan pikirku. What`s next? tanyaku dalam hati. Semesta , Tuhan, atau segalanya yang mempertemukan sebuah suasana atau keadaan tertentu dalam hidup, akan ada apa lagi hari ini?
" Bagus!" Kataku sambil tersenyum geram. Mendung tiba , senja tiba, gerimis tiba. Aku sudah mau pulang. Lelah sudah hari ini mengurus segala hal yang serba ada-ada saja. Sampai akhirnya harus aku akui aku menyerah dengan segalanya. Harus pergi ke pinggir jalan. Ngiyup karena enggak bawa jas hujan.
" Eh"
Kami berpandangan kaget. Dalam beberapa saat. Tak sampai hitungan menit. Namun semua terasa lama. Firasatku benar hari ini. Aku bertemu satu lagi. Inikah apa yang orang bilang bahwa apa yang kamu pikirkan terus menerus adalah apa yang akan terjadi?
Hujan makin menjadi. Perempuan berambut gelombang sebahu ini nampak terjebak di situasi yang sama. Aku rasa ada sesuatu yang harus ditanyakan. Bukankah kota ini dia hindari karena dia tahu aku akan sekolah disini? Sehingga dia memilih untuk pergi ke perantauan selanjutnya?
" Masih hujan. Kenapa enggak ngiyup dulu?"
Tak menjawab. Hanya kemudian melihatku dengan pandangan tajam dan penuh pertanyaan. Lalu aku memberi kode untuk duduk di tempat duduk depan sebuah toko tak jauh dari tempat kami berteduh. Kami berada di luar sebuah rumah makan. Dia juga masih menunggu jemputan dari seorang temannya yang mengantar dirinya.
" tadi naik mobil sama Nita, katanya cuma mau beli makan sebentar , aku juga cuma bungkus."
" ooooo"
Jawabku lalu memalingkan pandang. Bukan karena aku masih mendendam padanya. Yang tak pernah bisa kita pungkiri adalah kita takkan pernah bisa bicara panjang dan langsung menguasai diri sendiri ketika bertemu dengan orang yang kita suka. Dipertemukan mendadak. Padahal tak pernah kita bicara lagi padanya, berani pun tidak.
Masih sama seperti dulu aku mengenalnya. Saat kita masih sama-sama belia. Belum begitu tahu arti cinta. Kita hanya tahu bermain, telepon-teleponan setiap pulang sekolah. Berdoa bersama untuk kelulusan. Berpelukan tiap pagi untuk saling memberi semangat. Kita tak tahu sebenarnya cinta begitu kompleks seperti bagaimana pengalam an cinta dilewati sampai hari ini kami bertemu lagi.
Berulang kali dia melihat jam tangan. Sesuatu tidak beres sepertinya terjadi. Aku berusaha memecah semua canggung diantara hujan yang makin deras ini.
" Emang Nita perginya jauh ya?
" Enggak kok cuma disitu doang, hmmm ada apa ya dia kok lama gini?
" Coba di tanyain kalo emang buru-buru?"
Aku tahu dia suka sekali hujan. Kami menghabiskan banyak waktu hanya sekedar menunggu hujan sambil tidur-tiduran. Kadang juga sambil menyebutkan harapan di sela gerimis sambil menunggunya dijemput. Kami berada di latar belakang keluarga yang begitu berbeda.  Dia adalah anak seorang pengusaha mapan di kota tempat kami dilahirkan. SEdang aku adalah anak seorang guru biasa.
Sama-sama anak bungsu. Tapi dia satu-satunya anak perempuan di keluarga tersebut. Maka perlakuannya pun jadi paling mewah. Sedangkan aku anak terakhir dan punya satu kakak cowok juga di keluarga. Aku jadi anak paling cerewet dan paling bebas.
Maka sembari menunggu hujan kadang kami membicarakan banyak hal. Tentang kelebihan masing-masing, dan kadang juga memperbincangkan bagaimana latar keluarga kami. Ada satu keresahan diantara gerimis yang tak juga memudar. Dan awan yang warnanya kelabu memutih itu. Perpisahan.
Segera dia mengambil handphone di tas warna hitam miliknya. Hari ini aku seperti melihat dirinya yang dulu. Semua serba hitam. Baju kaos yang digunakannya adalah perpaduan warna hitam dan putih. Sepatu , celana skinny juga serba hitam. SEjak beberapa tahun kami bersama hingga kami dipertemukan lagi dalam hujan ini pun dia tak pernah merasa minder dengan rambut hitam miliknya. Khas.  Tak seperti yang lain bangga dengan mewarnai rambut mereka dengan warna pelangi.
" halo dimana? masih lama? hmmmmm... enggak apa-apa. Eh aku enggak usah dijemput ya, aku ketemu temen lamaku nih. ntar enggak ada acara apa-apa kan? aku langsung pulang kosmu dulu aja nanti, mau ngobrol sebentar nih,"
Aku kaget dan langsung melihat padanya. Dia memang selalu memberikan kejutan seperti ini. Sifatnya tiba-tiba begitu menyebalkan, kadang begitu membuatku terharu. Semua itu adalah segalanya tentang dirinya yang membuat aku tak pernah mencoba mencari orang lain hingga hari ini.
" Heheheheee" Dia tersenyum sambil mencondongkan tubuhnya padaku. Seolah mengatakan . " Whats Next, kamu mau ajak aku kemana sekarang?"
Langsung aku hujan-hujanan lari mencari taxi. Aku tak peduli basah dan lain sebagainya. Hanya mencari pangkalan taxi terdekat dan mengajaknya pergi. Dia tak mau menunggu,lari juga bersamaku. Dan kita basah bersama. Kita kena cipratan air dari para pengendara yang terlalu melaju kencang melewati genangan air. Misuh bersama. Tapi kembali tertawa lagi .
Hingga akhirnya menemukan satu taxi. Meminta pak sopirnya mengajak kami berpetualang ke sekitar kota rantauan ini. Kami mungkin tak dipersatukan untuk sama-sama belajar disini. Dia lebih dulu pergi. Dan tak memilih kota istimewa ini menjadi tempatnya mencapai studi S1 nya.
" Wah mas mbak ini , aneh ya, yaudah terserah aku ya bawa kemana aja,"
" iya pakk, terserahhhhhhh"
Kemudian disana kami tertawa begitu lepas. Selepas-lepasnya. Entah kenapa ada perasaan tersendat yang tak bisa kami katakan jika ada orang lain. Atau tak bisa kami ceritakan pada orang lain. Semua hanya bisa serba menjadi jujur saat senja, hujan dan kebersamaan ini hanya milik kami berdua.
Aku berjanji takkan pernah mengatakan apapun tentang segala sesuatu yang kami lewati hari itu. Hanya kerjaanku selesai cepat malam itu. Dia kembali lagi bersama temannya juga dengan misteri tentang kepergiannya bersamaku.
Hari itu kami namakan sebagai satu hari penuh kebebasan. Tidak ada yang melarang, menggunjing, menatap curiga dan tak senang pada kami. Terima kasih pak Joko, yang akhirnya kutahu namanya setelah sekitar 2 jam mengantar kami jalan-jalan dan membiarkan kami larut dalam kebersamaan ini berdua. Alasannya makan dan shalat maghrib.
" Mas dan mbak kayanya perlu waktu berdua tanpa siapapun disini. Saya pergi shalat dan makan dulu ya. Ini kuncinya aku tinggal. Kalo mau muter-muter silahkan, kalo mau tetap disini ya enggak apa-apa" pamit pak Joko.
" Kamu tahu akan ada banyak hal menghalangi kita buat menikmati hari sepertti ini. Aku enggak tahu kapan lagi kita bisa ketemu. Makasih selalu nunggu aku meski kamu tahu ada juga hati yang lain setia menunggumu. Terima kasih karena masih setia nungguin peluk hangat tanganku, dan cium dari bibirku meski aku yakin ada banyak bibir menanti ciumanmu. Terima kasih untuk hujan. dan semua penantian rindumu di setiap senja dan gerimis kita. Aku enggak bisa janjiin banyak hal. Kalo capek kamu boleh pergi, kalo lelah kamu boleh mencari tempat lain. Aku selalu mencintaimu. Menunggu waktu yang tepat untuk kita bersatu,"
Pintu diketuk. Aku masih belum selesai menyelesaikan segalanya hari ini. " Paaaa.. paaaa"  Vira minta digendong. Dia kangen ayah  bundanya. Lalu segera kugendong dan tidur lelap di pangkuanku.
" Yah, jadi bunda kapan kembali? " Bisma juga menghampiriku. Aku belai juga kepalanya. " Sabar, suatu saat nanti. Ya?"
Lalu kami membiarkan diri terlelap dalam selimut yang sama. Aku memeluk dua anak kebanggaanku. Cintanya juga cintaku. Kami menjalin semuanya berbekal ketegaran dari semua rintangan yang datang bertubi dari siapapun. Setelah gerimis dan senja yang kami lewati delapan tahun. Kami harus berpisah. Menunggu entah berapa lama lagi waktu mempertemukan kami berdua. Di gerimis dan senja yang akan terus tiba, sampai kami terlahir kembali, berkenalan kembali, dan saling menikmati keduanya sambil memadu kasih.
" Selamat jalan bunda, aku sudah besar, sudah tegar, rinduku biar melayang bersama rintik-rintik hujan , akan kujaga adik, kujaga ayah. Kita selalu bersama bukan? Aku janji tidak akan menangis lagi. Engkau harus lihat aku meraih mimpi."
Tulis Bisma, 10 tahun kemudian di depan nisan Bundanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun