....sebaiknya kegiatan psikososial itu diberikan pada orang dewasa karena akibat gempa bumi  banyak orang  tua stress memikirkan keluarga, masa depan anak anak dan pekerjaan, kalau anak anak itu justru  senang dan gembira  karena  beruntung tidak belajar serta  mendapat berbagai hadiah..... itulah cuplikan dari sebagian testimoni yang dilontarkan oleh  beberapa  kepala sekolah penyintas korban gempa Kabupaten  Cianjur saat saya membersamai mereka dalam kegiatan pelatihan pemulihan pasca bencana bagi korban gempa.
Mendengar lontaran mereka mendorong saya berpikir, Apa benar yang mereka lontarkan itu karena  menurut kajian bencana memiliki pengaruh terbesar pada kelompok yang paling rentan terutama adalah kelompok usia anak-anak (Nakamura, 2005). Hal ini disebabkan karena anak-anak secara langsung mengalami, merasakan, dan menyaksikan dampak yang ditimbulkan akibat faktor usia yang masih belum matang secara pertumbuhan psikologis.
Testimoni dari kepala sekolah tersebut seolah olah mematahkan dari kajian sebagaimana nakamura  uraikan. Ini menggambarkan  bahwa kagiatan psikososial yang telah dilakukan nakamura   belum menyasar penyintas korban gempa kategori orang dewasa. Dari hasil penelusuran yang saya lakukan  menunjukan  bahwa pemberian psikososial  untuk orang dewas belum  menjadi perhatian  dari para relawan relawan yang membantu korban gempa, padahal masalah psikologis berupa ketakutan dan peristiwa traumatis serta masalah sosial berupa kehilangan rumah dan pekerjaan  nampaknya menjadi masalah penting bagi orang dewasa, itu semua dipandang perlu  proses psikososial  bagi para penyintas bagi orang dewasa.
Adapun Psikososial  itu sendiri menurut Erik Erikson merupakan  istilah yang mengacu pada bagaimana kesehatan mental, pikiran, dan perilaku seseorang (psiko) berkaitan dengan kebutuhan atau tuntutan masyarakat (sosial). Lebih lanjut saya menyampaikan kenapa penting  psikososial bagi orang dewasa, tiada lain sama seperti anak anak, yaitu  perasaan  cemas, panik, terlalu waspada  dan takut terjadi lagi sehingga merasa  ginggiapeun ( bhs sunda)  juga dirasakan oleh orang dewasa, bahkan akibat rasa cemas orang dewasa berimbas pada  anak anaknya dan itu dibuktikan saat mikropon jatuh dengan suara keras ada peserta  kepala sekolah  yang  langsung gelisah. Hal ini menunjukan trauma yang mendalam juga  bisa dirasakan oleh orang tua pasca kejadian gempa tersebut.
Trauma menurut Sarwono (1996),  adalah  sebagai pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan dan meninggalkan bekas (kesan) yang mendalam pada jiwa seseorang   yang mengalaminya, ciri ciri  orang  trauma  adalah  menjadi pendiam, murung, tidak berdaya  dan mudah takut  secara fisik misalnya sering mengeluh pusing, muntah-muntah, sakit perut dan nafsu makan menurun. Untuk mengatasi trauma pada anak berbagai kegiatan dilakukan oleh relawan maupun instansi terkait seperti trauma healing dengan aktivitas  terapi bermain yang menggunakan segala      kemampuan bermain dan alat permainan, anak bebas memilih permainan yang disukainya dan terapis ikut serta dalam permainan  tersebut, serta  berusaha agar anak mengungkapkan perasaannya sehingga ia merasa aman, puas . Nah terus untuk orang dewasa bagaimana apakah harus dengan cara bermain juga.salah seorang peserta dalam pelatihan memberikan solusi  antara lain dengan istigoshah yaitu melalui  pendekatan keagamaan
Proses  psikososial  bagi  orang dewasa dengan cara istigosah merupakan suatu hal yang bagus sebab dalam kegiatan itu penyintas  didorong untuk ber  DUIT ( Doa Usaha, Ihtiar Dan Tawakal). Sebagai orang dewasa  memahami bahwa musibah  gempa  bumi yang menimpa merupakan suatu peringatan Selain menjadi tanda-tanda kekuasaan Allah, gempa terjadi sebagai bentuk peringatan kepada hamba-Nya. Allah SWT Maha Berkhendak, melalui kejadian gempa  itulah Allah SWT juga memberikan peringatan agar hamba-Nya takut dan kembali mengingat-Nya.Lebih lanjut musibah juga mengajarkan kepada kita untuk menguatkan keimanan karena milik Allah lah segala yang ada dibumi dan langit, manusia hanya mampu berupaya tetapi Allah yang telah mentakdirkannya. Melalui musibah dapat menjadi washilah meningkatnya keimanan.
Oleh karena itu psikososial penyintas gempa bumi untuk kategori orang dewasa sangat  relevan  dengan cara  ber DUIT (doa, usaha, ihktiar dan tawakal ) ber  Doa adalah permohonan atau permintaan dari seseorang hamba kepada Tuhan dengan menggunakan lafal yang dikehendaki dan dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan, atau meminta sesuatu sesuai dengan hajatnya atau memohon perlindungan kepada Allah Swt. Ber Usaha adalah upaya manusia untuk melakukan sesuatu guna mencapai tujuan tertentu dan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Ber  ikhtiar dipandang sebagai sikap seorang muslim mengerahkan segala usaha yang dimilikinya. Itu artinya dengan sikap ikhtiar, seorang muslim akan terhindar dari rasa ingin menyerah dan putus asa. Ber Tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan semisal gempa bumi .
DUIT  dilakukan sebagai upaya orang dewasa dalam menerima kejadian  yang menimpanya, hal ini penting untuk dilakukan  pada saat proses  kegiatan psikososial karena bisa diasumsikan akibat bencana  yang menimpa membuat kegoncangan jiwa dan kehilangan kendali.Oleh karena itu dengan DUIT didorong agar motivasi dan semangat mengarungi hidup bisa menimbulkan sikap  optimis untuk menjalani kehidupan . ber DUIT dilakukan pada  saat masa rekonstruksi selepas masa tanggap darurat selesai, sudah barang tentu memerlukan  intervensi dari pihah luar untuk  melewati tahapan berikutnya oleh  individu penyintas  dan lingkungan sekitar dengan dikoordinir oleh pemerintah setempat.
Gempa bumi sudah berlalu kehidupan harus tetap bergulir,hanya dengan ber DUIT penyintas gempa  mengarungi hari hari di fase kehidupan. Doa dilontarkan, usaha ditingkatkan dan iktiar  secara terus menerus diakhiri  dengan sikap tawakal. Ini  merupakan bagian dari tingkatan keimanan kita terhadap Allah SWT. Bahkan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits  tawakal bisa dijadikan salah satu sifat, orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab. Tidak hanya berserah diri pada Allah, tawakal juga harus diikuti dengan berusaha dan berdoa, barulah untuk penentuan berhasil atau tidaknya sesuatu yang menentukanya adalah Allah. Yakini bahwa Allah akan memberikan yang terbaik dan memberikan pertolongan bagi hamba-hamba yang patuh dan hamba yang memohon kepada-Nya.
DUIT merupakan proses psikososial bagi  umat yang beragama, tidak membutuhkan atribut dan proses yang berbelit hanya tekad, motivasi dan keinginan kuat individu individu penyintas  agar bisa  berubah dari situasi kurang nyaman menuju  situasi  nyaman. Besar harapan dengan senantiasa melakukan DUIT semua penyintas dapat mengarungi  bahtera kehidupan dengan penuh gemilang dan menyakini betul bahwa Allah SWT  sangat menyayangi umatnya. ......semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H