Mohon tunggu...
Tatank
Tatank Mohon Tunggu... swasta -

Saya adalah lelaki yang sedikit nakal, namun baik hati. Tapi anda tak perlu percaya sepenuhnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyedihkan, Yogya Kehilangan Kata Maaf

31 Agustus 2014   22:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:59 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_340378" align="aligncenter" width="680" caption="http://rosepine.files.wordpress.com/2012/03/maaf2.jpg"][/caption]

Perbuatan Florence di medsos dianggap bersalah oleh orang Yogya. Dia pun telah mendapatkan ‘hukuman’ dari dunia maya tempat dia berbuat dan dunia nyata  di pergaulan manapun dia melangkah. Hukuman itu jauh lebih besar diterima karena dilakukan secara bertubi-tubi oleh para warga ataupencinta Yogya, dan dari kerabat dan teman-teman dimanapun dia bertemu. Belum lagi sangsi yang akan diterimanya dari kampus. Lebih dari itu semua, pemberitaan tentang dirinya yang bernada memojokkan sebenarnya sudah merupakan sebuah hukuman yang berat.

Florence sudah membuat pernyataan maaf dan penyesalannya secara terbuka, baik di medsos maupun kepada komunitas 'perwakilan' masyarakat Yogya dan di kepolisian. Namun itu semua tak cukup membuat Yogya berpuas diri. Maka jalur hukum pun ditempuh yang menjadikan Florence harus masuk dalam tahanan. Tak habis pikir sejauh itu runtutan kejadiannya.

Yogyakarta sebagai kota budaya pun ikut larut dalam emosi 'tak berbudaya' sehingga tidak memberi maaf bagi seorang pecundang seperti Florence. Musyawarah dan mufakat yang erat dalam kehidupan berbudaya tidak lagi dipakai untuk menyelesaikan masalah. Cara-cara budaya tradisional yang agung tidak lagi dilihat sebagai cara menyelesaikan masalah sepelik apapun. Ini sangat menyedihkan mengingat sebagai wilayah yang dikenal dengan budayanya, Yogya telah kehilangan kata maaf.

Menerima dan memberi kata maaf akan mengagungkan dirinya sebagai budaya luhung. Disisi lain, hal itu tak akan menghilangkan rasa bersalah serta hukuman sosial seorang Florence sampai kapanpun karena memori dan file media sosial telah menjadi abadi di dunia maya dan dunia nyata. Mekanisme hukuman sosial ini paralel dalam perjalan hidup Florence hingga anak cucu. Biarlah itu urusan Florence akibat perbuatannya.

Tanpa mengesampingkan ‘dosa-dosa’ seorang Florence, kini Yogya seperti kehilangan dirinya sendiri ditengah-tengah permasalahan Florence yang semakin menggelinding laksana bola salju. Apakah Yogya mencari kemenangan cara lain di atas kesalahan nyata dan hukuman sosial seorang Florence? Padahal dengan jati diri Yogya yang selama ini dikenal, Yogya bisa jauh lebih hebat memenangkan dirinya sendiri secara arif, elegan dan  agung.

Semoga saja Yogya tak hilang sama sekali ditelan jaman.

Salam Budaya di Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun