Tekhnologi memberikan ruang yang semakin tidak terbatas bagi setiap orang untuk menyampaikan gagasan dan pikiran-pikiranya. Saat ini setiap orang bisa menyuarakan ide dan gagasanya kapanpun untuk di baca oleh siapapun dan dimanapun. dengan mudah setiap orang bisa menumpahkan perasaanya dalam bentuk tulisan misalnya dengan membuat kicauan di Twiter, menulis status di FB, di path atau di blog-blog pribadi. tetapi di tengah terbukanya ruang untuk menyampaikan dan menampilkan tulisan isu plagiat semakin marak terjadi dan satu hal yang paling memilukan jika itu di lakukan oleh seorang Tokoh dan Akademisi.
Seperti yang sedang hangat di bicarakan saat ini terkait dengan plagiat yang di lakukan oleh Anggito Abimanyu pada awalnya ketika seorang teman mengirim berita ini di Grup WA, saya masih berpikir bahwa mungkin saja telah terjadi sebuah kesalahan dan miss comunication namun berita mengenai pengunduran diri Anggito Abimanyu rasanya seperti menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi bahwa mungkin saja benar plagiat itu telah dilakukanya, meskipun sejauh ini belum ada konfirmasi resmi dari Anggito mengenai hal ini, apakah benar-benatr dilakuakn dengan sengaja, atau mungkin juga khilaf tidak mencantumkan sumber atau berbagi faktor lain yang menyebabkan hal itu terjadi.
Terlepas benar atau tidaknya hal tersebut ini adalah peringatan dan pelajaran bagi setiap penulis dan bagi yang sedang belajar menulis bahwa jangan pernah sekalipun di tengah kebuntuan berpikir menjadikan plagiat sebagai jalan pelarian untuk menyelasaikan tulisan. sebab tulisan yang di hasilkan itu seprti anak yang dilahirkan melalu jari-jari penulisnya, maka menggunakan gagasan orang lain atau melakukan plagiat sama seperti melakuakan pencurian anak manusia sekaligus membunuh kemanusianya sendiri bagi yang melakukan plagiat dengan sengaja.
Melakukan plagiat dengan sengaja merupakan salah satu bentuk krisis kepercayaan diri yang cukup memalukan terlebih bagi kalangan Akademisi atau kelompok intelektual, dimana kejujuran merupakan satu jubah utama yang harus digunakan dalam proses berkarya seperti dalam meneliti dan menulis, bahkan sering sekali kita mendengar kalimat " lebih baik keliru daripada berbohong" , ungkapan ini di gunakan untuk menguatkan para akademisi agar jangan pernah melakukan kebohongan termaksud plagiat. Namun selalu saja ada hal yang terkadang membuat manusia tidak sanggup jujur pada dirinya sendiri , menginginkan kualitas bagus dengan cara praktis maka di tempulah plagiat sebagai pelarian mewujudkan ambisi intelektualitas.
Padahal jelek dan baiknya sebuah tulisan itu sangat subjektif, dan setiap tulisan adalah karya bagi penulisnya dan tentu memiliki nilai dan sisi personal yang akan memperkaya bacaan dan khazanah ilmu pengetahuan, sebagaimana manusia pasti berbeda antar yang satu dan yang lainya begitu pula sebuah tulisan tidak akan pernah ada yang benar-benar sama meski menulis sebuah tema dan alur yang sama sebab setiap penulis melewati perenungan yang berbeda dalam membuat sebuah tulisan, sebagaimana pernah di ungkapkan oleh Seno Gumira Ajidarma bahwa " Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa, suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah dimana . caralah itulah yang bermacam-macam dan disanalah harga kreatifitas di timbang-timbang" . sebab itu diakhir tulisan ini sekali lagi semoga kita semua diberikan kekuatan untuk menghindari plagiat dan tidak pernah menjadikanya sebagai sebuah jalan pelarian untuk menghasilkan sebuah tulisan karena hanya akan menjerumuskan pada sebuah penyesalan yang tidak akan mampu di selesaikan melalui rumus-rumus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H