Besuk akan ke Surabaya. Riang hati tak bisa ditutupi. Semua persiapan berangkat telah disiapkan. Bapakku berpesan. Hati-hati uangnya untuk pendaftaran disimpan dalam baju atau di sepatu. Jangan sampai hilang. Bapak begitu sumringah. Aku jadi berangkat ke Surabaya. Aku akan jadi mahasiswa. Tetangga kanan kiri aku pamiti. Besuk pagi, kulo mau kuliah ke Surabaya. Mereka mungkin terharu. Hingga ada satu dua tetangga memberi uang saku. Hati-hati le, mugo-mugo sukses. Wah jadi berangkat bener… Suroboyo iku adoh lo, yo sing ngati-ngati ora usah macem-macem. Banyak nasehat dari tetanggaku. Mereka sangat peduli. Ketetapan hatiku memang akan ke Surabaya setelah lulus SMA ini. Kalau tidak diterima masuk keperguruan tinggi, ya akan bekerja. Tetap ke Surabaya. Dari kampung, jauh di Jember sebenarnya sudah kukirim lamaran-lamaran bekerja di Surabaya. Tapi mungkin karena jaraknya sekitar 187 kilometer ditambah 5 kilometer lagi ke kampungku, tukang pos malas mengantar. Sebenarnya sih memang tidak ada surat balasan.
Diterima kuliah Negeri apalagi di Surabaya. Menjadi HOTNEWS di tempat tinggalku. Kalau sekarang mungkin menjadi trending topic. Maklum saat itu jarang anak kuliah setelah lulus SMA. Hanya anak-anak yang orang tuanya mampu saja yang bisa kuliah. Anak-anak guru juga jarang yang sampai kuliah. Kalau toh kuliah mungkin di swasta di dekat-dekat kurang lebih 30km dari tempat tinggal. Rencana kuliahku pernah menjadi penyebab pertengkaran kecil di lingkup keluarga. Mbah Buyutku tidak terima, aku dicaci. Mulanya hanya pertanyaan biasa. “Anake Satinah Sido daftar kuliah to? “, tanya mbah Misan. “Yo mbuh, koyoke yo sido dek wengi jare nang jember …ujian”, sahut mbah buyutku. “Oh alaaah… wani tenan ta, kuliah iku ngentekni duwit. Opo kuwat?”, terang mbah Misan. Mbah misan sebenarnya seumur ibuku. Tetapi trah keluarga harus dipanggil “mbah”. Mbah buyutku muntap dan marah-marah, “Ojo dumeh…sawahmu ombo, bojomu sugih…masio ora duwe opo-opo arek iku ..yo iso kuliah”. Kejadian itu jadi beban juga. Apa benar….bisa kuliah? Nanti uangnya bagaimana? Tempat tinggal dimana? Bisa lah di rumah mbah putriku. Karena ujian sudah berlalu. Aku hanya bisa berdoa, menangis, puasa, dan minta terus…kepada Allah. Duh gusti paringo kulo kasembadan nglampahi urip puniko… Tetanggaku yang guru SMP juga pesimis. Apalagi pilihannya matematika. Hatiku menciut tak punya harapan. Aku hanya pasrah. Seandainya tidak diterima aku sudah siap pergi dari kampung halamanku. Surabaya menjadi obsesiku. Sampai suatu hari, bapakku memberitahu, namamu ini kan, cocok tidak dengan nomornya. Alhamdulliah syukur terus aku ucap tak henti-henti. Demikian ibu mengucap syukur dan doa-doa. Merangkul dan membelai-belai. Pinter nak- pinter nak, mugo-mugo kabul opo sing mbok karepne… Rasa kasih sayang dan harapan tercurah. Kedalaman cinta ibu terngiang langsung. Sungguh harapan besar yang diharap ibu. Aku juga sadar, ini waktu perjalanan mengubah nasibku dan keluargaku.
Siap berangkat diantar, dibonceng sepeda bapak. Saking gembiranya. Permintaanku untuk membonceng bapak, tidak diterima. Beliau menjawab, “nggak usah, bapak sik kuat…”. Ibuku tergopoh-gopoh menghampiri. “Ini ta belikan jam tangan, bagus le…”. Jam tangan kecil bentuk persegipanjang. Dasar warnanya hitam dengan tali kalep. Wah..senang sekali aku. Terima kasih ibu…Terima Kasih ibu. Jam tangan ini pertama aku miliki. Dulu waktu SMP hanya bisa melihat. Duduk-duduk dibarisan depan sambil lihat orang beli jam tangan. Warna hitam atau biru. Sebenarnya pingin sekali beli jam tangan, biar bisa bergaya. Tapi ya sudahlah… Ibuku sambil mencari-cari dan ketika ketemu tangannya sudah mencubit paha atau tangan. Tandanya aku sudah dicari lama. Kesalnya mungkin disalurkan ketika ketemu, aku asik-asik melihat jualan. Jualan jam-jam seperti itu hanya waktu hari pasaran, minggu atau rabu. Atau bisa melihat-lihat ketika “royalan” musim buka giling tebu di kampung.
Jam tangan baru akhirnya kupakai. Tidak tahu tiba-tiba ibu membelikan jam seperti ini. Sesungguhnya sudah lama ingin memakai jam tangan. Ketika SMA keinginan itu sudah teredam. Sudah terlupakan. Mungkin ibu memperhatikan. Membaca keinginan yang tidak tersampaikan. Momen saat inilah yang tepat. Ternyata seorang ibu tahu keinginanku. Mungkin harus mengatur anggaran. Toh jam tangan tidak lah terlalu penting. Waktu bisa dilihat tanpa jam itu. Ibuku sederhana tapi mengerti.
Aku cium tangan ibu berkali-kali. Mohon doa dan restunya. Bapak sudah menunggu di atas sepeda. Dengan doa dan harapan sepeda kami pun berjalan. Menyusuri jalan tepi sungai. Jalan aspal mulus kami lintasi. Kanan kiri pohon asem memberi keteduhan di siang itu. Aku masih terkenang mata ibu sembab. Air mata kebahagian atau kesedihan. Ibuku kelihatan sungguh berharap. Tangannya melepas aku pergi.
Akhirnya, hari-hari kuliah kulalui. Jam tangan menemani. Saat melihat jam, seperti melihat harapan tertempel di situ. Susah dan terbatasnya kondisi bisa terobati. Seorang ibu kasih sayangnya abadi. Dia menyayangi mulai dari kecil. Tidak tahu apakah yang disayanginya akan sukses atau tidak. Beliau menemani ketika tidak ada orang lain peduli. Ketika masih bau atau awut-awutan pun tetap dipegang dibelai. Aku beruntung sekali. Ibu mengajarkan banyak hal. Salah satunya optimisme. Dikatakan, ojo wedi karo ayang-ayange dewe (Jangan takut dengan bayang-bayangnya sendiri). Maksudnya kalau punya maksud, jangan takut pikirannya sendiri. Nanti begini-begitu, wah nggak jadi saja. Terlalu banyak pertimbangan, akhirnya menakutkan sendiri.
Ibu semoga selalu sehat. Sampai kapan pun aku akan berusaha berlaku terbaik untukmu. Aku mohon maaf. Masih seperti ini yang bisa kulakukan. Selamat hari ibu (22 Desember 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H