Berkebun memang asyik, apalagi bila hasil panennya baik. Oleh karena itu, kecenderungan untuk terus berinvestasi di sektor ini adalah hal yang lumrah bagi para petani yang pernah merasakan manisnya hasil kebun. Lalu, untuk semakin memperluasnya, di antara mereka ada yang membeli lahan di tempat lain. Syukur-syukur tanah sebelah juga dijual, sehingga tinggal digabung saja, apalagi jika harganya harga seduluran.
Yang harus diwaspadai adalah keasyikan yang merugikan. Yakni, ambisi memperluas lahan berubah menjadi kriminal dan kezaliman berupa penyerobotan yang diwujudkan dengan mengubah patok, menggeser batas tanah orang lain, atau klaim palsu kepemilikan tanah.Â
Modus operandi bermacam-macam. Di antaranya adalah dengan menanam tanaman pagar melebihi batas tanah. Yang lebih parah adalah seorang yang datang meminta izin untuk bercocok tanam di lahan pihak lain yang tak dikelola, atau dibuat bangunan permanen di atasnya. Seiring berjalan waktu, pengguna tanah tadi mengklaim tanah pihak pertama. Plus, surat tanah yang terlihat lebih asli.
Aneksasi ini, selain terkena delik hukum positif, pastinya juga hukum agama. Rasulullah, sebagaimana dituturkan Aisyah, pernah bersabda, "Barangsiapa berbuat zalim dengan cara mengambil sejengkal tanah, kelak akan ditimpakan kepadanya dari tujuh lapis bumi." (HR Al-Bukhari, 2.453 dan Muslim, 1.610).
Dalam riwayat lain, Ibnu Umar mengatakan bahwa Nabi bersabda,"Barangsiapa mengambil tanah dengan curang, niscaya kelak akan ditenggelamkan pada tujuh lapis bumi" (HR Al Bukhari, 3.196).
Itulah ancaman bagi yang sengaja mengubah patok tanah orang. Dan, memperhatikan hadis ini, akan kita dapati sebuah anomali, menyelisihi rumusa pahala dan dosa yang Allah standarkan. Dalam sebuah hadis disebutkan, "Sesungguhnya Allah mencatat segala kebaikan dan keburukan. Ia lantas menjelaskan hal itu: barangsiapa meniatkan sebuah kebaikan, sekalipun tidak melakukannya, Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan yang utuh baginya. Jika dia meniatkan lalu melakukannya, Allah mencatatnya sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat hingga kelipatan yang sangat banyak." Itu rumus pahala, penuh bonus.Â
Sebaliknya, untuk rumus dosa, sangat diringankan. Masih dari hadis yang sama, berikut adalah penjelasannya, "Barangsiapa meniatkan sebuah keburukan, namun tidak melakukannya, Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan di sisi-Nya. Jika ia meniatkannya, lalu melakukannya, Allah mencatatnya sebagai satu keburukan saja" (HR Al-Bukhari, 6.491 dan Muslim, 207).
Kesimpulannya, satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat, lalu dilipatgandakan menjadi tujuh ratus, hingga bilangan tak terhingga. Akan tetapi, untuk urusah keburukan, dosa yang ditanggung setara dengan keburukan yang dilakukan. Satu dibalas satu, dua dibalas dua, tiga dibalas tiga, dan seterusnya. Namun, untuk urusan tanah ini, satu keburukan tadi seolah dibalas dengan tujuh kali dosa.Â
Allahu 'Alam apa hikmah pelipatgandaan dosa tersebut. Yang bisa terdeteksi, bahwa dosa ini memang termasuk dosa besar, sekaligus berpotensi menghadirkan dosa besar lainnya. Betapa sering kita mendapati tanah rakyat kecil digeser oleh orang berpangkat, atau satu keluarga mengklaim tanah keluarga yang lain, atau perusahaan. Lalu, terjadilah perkelahian antarkeluarga tersebut yang belarut-larut, atau pihak perusahaan tersebut dengan penduduk yang mengaku sebagai ahli waris tanah yang disengketakan. Ta jarang, perseteruan ini berujung pada pertumpahan darah. Apalagi bila permasalahan garis perbatasan tanah ini menyangkut wilayah antarnegara. Bisa dibayangkan berapa jiwa yang melayang. Dan, Anda tahu, bahwa satu jiwa setara dengan seluruh jiwa yang ada di jagad ini. Allah berfirman,"Barangsiapa yang membuhuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya,"(QS Al Maidah: 32).Â
Apalagi bila darah yang tertumpah itu adalah darah seorang mukmin. Allah berfirman,"Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya" (QS An-Nisa': 93).