Karena ketegangan yang sering terjadi di Laut China Selatan, China dan Filipina sering bertengkar tentang wilayah strategis. Dengan penetapan "nine-dash line" oleh Beijing, konflik yang berlangsung selama bertahun-tahun menjadi semakin kompleks. Klaim Filipina atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang ditetapkan oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982 menjadi masalah. Beberapa peristiwa yang melibatkan kedua negara menunjukkan eskalasi konflik. Konflik yang semakin memburuk antara dua negara tidak hanya mengganggu hubungan China-Filipina, tetapi juga mengganggu stabilitas Asia Tenggara secara keseluruhan.
Sejarah konflik teritorial di Laut China Selatan sangat kompleks dan panjang. China bergantung pada peta "nine-dash line" yang dibuat pada tahun 1947, yang menunjukkan bahwa mereka memiliki hampir seluruh wilayah laut, menurut catatan sejarah. Di sisi lain, Filipina bergantung pada United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang memberikan hak maritim berdasarkan jarak dari garis pantai negara. Sengketa ini melibatkan masalah ekonomi yang signifikan, yang membuatnya semakin rumit. Cadangan minyak Laut China Selatan diperkirakan mencapai 11 miliar barel dan gas alam sebesar 190 triliun kaki kubik. Selain itu, ada potensi perikanan miliaran dolar di daerah ini. Dengan nilai perdagangan tahunan 5,3 triliun dolar, wilayah ini juga merupakan jalur pelayaran penting yang menghubungkan Asia Timur dengan pasar internasional.
Kontrol atas Laut China Selatan dianggap oleh China sebagai simbol kebangkitan nasional dan upaya Partai Komunis untuk melindungi kepentingan negara. Perlindungan wilayah maritim adalah masalah keamanan ekonomi dan kedaulatan Filipina. Situasi menjadi lebih buruk sejak peristiwa Scarborough Shoal pada 2012, ketika China mulai membangun pulau buatan dan pangkalan militer di wilayah yang bersengketa. Dengan keterlibatan Amerika Serikat dalam Perjanjian Pertahanan Bersama dengan Filipina, dimensi konflik internasional ini semakin kompleks. Negara-negara ASEAN berjuang untuk menyelesaikan konflik ini, tetapi masyarakat internasional terus menekankan pentingnya kebebasan navigasi dan penyelesaian damai sesuai hukum internasional. Konflik ini berpotensi mengancam stabilitas Asia Tenggara secara keseluruhan. Ini akan berdampak pada hubungan ekonomi regional, seberapa efektif ASEAN dalam menyelesaikan konflik, dan bagaimana keseimbangan kekuatan di Asia Pasifik berubah. Ketegangan ini berisiko meningkat menjadi konfrontasi yang lebih serius jika tidak ada diskusi konstruktif dan keinginan untuk berkompromi.
Cina dan Filipina berselisih tentang beberapa masalah penting. Pertama, hukum "nine-dash line", yang ditetapkan pada tahun 1947, memberi Cina otoritas atas wilayah tersebut. Sebaliknya, Filipina mempertahankan kedaulatan teritorial sesuai dengan UNCLOS 1982, yang memberikan zona ekonomi eksklusif hingga 200 juta perairan. Adanya militerisasi di wilayah tersebut membuat konflik menjadi lebih sulit. Cina berpendapat bahwa mereka memiliki hak untuk membangun infrastruktur untuk melindungi kepentingan nasional mereka. Namun, Filipina dan sekutunya menganggap intervensi militer agresif ini sebagai ancaman bagi stabilitas regional. Cina mengklaim bahwa kontrol atas wilayah tersebut sangat penting bagi ekonomi energi dan maritimnya karena sumber daya alamnya yang melimpah. Ini merupakan faktor penting dalam konflik ini. Filipina harus mematuhi keputusan Pengadilan Arbitrase tahun 2016 untuk menjadi dewan hukum internasional. Sebaliknya, Cina tidak setuju dengan ini karena sengketa ini tidak melanggar kedaulatan teritorial mereka. Konflik ini juga berdampak pada seluruh Asia Tenggara, dengan Cina mengklaim bahwa AS berusaha melemahkan kekuatan mereka di sana. Untuk menyelesaikan konflik ini, akan diperlukan pertimbangan historis, hukum, ekonomi, dan strategis.
Dalam konflik teritorial antara Filipina dan Cina, ada banyak kekhawatiran tentang prinsip-prinsip geopolitik dan historis kedua negara. Prinsip historis Cina, yang digambarkan dalam "nine-dash line", dikritik karena tidak sesuai dengan hukum internasional kontemporer yang ditetapkan oleh UNCLOS, dan karena tidak memiliki fokus geopolitik yang jelas, dengan lebih banyak aktivitas militer dan kurangnya kedaulatan teritorial. Kritikus mengkritik posisi Cina karena membangun infrastruktur militernya, yang dapat menimbulkan ketegangan dan ketidakstabilan di wilayah tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa aliansi militer AS dengan Filipina dapat meningkatkan stabilitas di wilayah tersebut dan meningkatkan kemungkinan konflik.
Fakta bahwa Filipina merupakan satu-satunya negara dalam hal ekonomi menimbulkan kekhawatiran. Para kritikus berpendapat bahwa status ekonomi eksklusif sering menghasilkan potensi pembangunan bersama yang dapat berdampak pada semua negara. Posisi ASEAN juga dikritik karena kurangnya kerja sama, yang dapat mengakibatkan pergolakan.
Sehubungan dengan sengketa teritorial di Laut Cina Selatan, dapat disimpulkan bahwasannya terjadinya ketegangan yang semakin meningkat antara Cina dan Filipina. Filipina memiliki hak-hak yang diatur oleh UNCLOS 1982, tetapi Cina mengklaim hampir seluruh wilayah melalui "nine-dash line". Cadangan gas dan minyak, serta jalur perdagangan yang penting, adalah bagian dari konflik ekonomi. Meskipun ada upaya untuk menyelesaikan konflik melalui wacana, keadaan tetap tidak stabil, terutama karena militerisasi Cina dan dukungan militer AS kepada Filipina. Aliansi AS dengan Filipina dapat meningkatkan stabilitas, tetapi juga dapat memicu konflik lebih lanjut, sedangkan posisi Cina sering dikritik karena dianggap bertentangan dengan hukum internasional. Oleh karena itu, untuk mengurangi ketegangan di wilayah ini dan mencegah konflik yang lebih serius di masa depan, sangat penting untuk mencapai penyelesaian yang damai dan diskusi yang konstruktif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI