Mohon tunggu...
Tasya Rahma Putri
Tasya Rahma Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pendidikan Indonesia

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Pendidikan dalam Cengkeraman Tiga Dosa besar

20 Desember 2024   12:14 Diperbarui: 20 Desember 2024   13:57 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Kasus kekerasan seksual yang melibatkan seorang dosen Universitas Parahyangan (Unpar) pada bulan Mei 2024 telah mengejutkan banyak pihak dan memicu diskusi hangat mengenai keamanan dan perlindungan di lingkungan kampus. Pelaku dalam kasus ini adalah Syarif Maulana, seorang dosen di Fakultas Filsafat yang seharusnya menjadi contoh integritas dan moralitas bagi mahasiswa dan masyarakat akademik. Ketua satgas PPKS Unpar, Niken Savitri, mengatakan terdapat lima orang korban dari pelaku yang melapor terkait kekerasan seksual tersebut, sebagian korban berasal dari perguruan tinggi lain di Bandung. Menurut tuturam Satgas PPKS Unpar, kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku berlangsung pada saat kelas filsafat daring atau kelas isolasi yang didirikan olehnya. Motif pelaku melakukan kekerasan seksual tersebut belum diketahui. Aksi tersebut berujung pada pemberhentian seluruh kegiatan akademik dan non akademik pelaku secara resmi. Hal tersebut menunjukan, bahwa sistem pendidikan tidak pernah lepas dari cengkraman tiga dosa besar di lingkungan pendidikan. 

Menuju akhir 2024, laporan kekerasan seksual, intoleransi, dan perundungan semakin meningkat, Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek telah menerima sebanyak 310 laporan kasus di Perguruan tinggi dengan rincian kasus kekerasan seksual 49,7%, perundungan 38,7%, dan intoleransi 11,6%. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana sistem pendidikan yang seharusnya memberikan rasa aman dan nyaman justru menjadi tempat terjadinya kekerasan dan diskriminasi. Lantas, bagaimana kita bisa berharap masa depan cerah bagi generasi muda jika kekerasan seksual, perundungan, dan sikap intoleransi justru berkembang di tempat yang seharusnya mendidik?

Isu tiga dosa besar pendidikan ini menjadi isu krusial yang harus diperkenalkan dan terus didiskusikan. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh podcaster Sentrakerta yang meluncurkan topik siniar mengenai isu tiga dosa besar di lingkungan pendidikan dengan judul "Bincang Taman : Mengenal Isu Tiga Dosa Besar Pendidikan". Siniar tersebut menyuarakan kasus-kasus tiga dosa besar di lingkungan pendidikan yang masih hangat, juga dampak keseluruhan, dan cara penanganannya dalam perspektif mahasiswa, sekaligus memperkenalkan awal mula dicetuskannya nama "Tiga Dosa Besar Pendidikan" oleh Nadiem Makarim selaku menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama mahasiswa. Selain itu, pemahaman terkait dampak dari tindakan kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkungan pendidikan, serta bagaimana hal tersebut mempengaruhi persepsi publik terhadap sistem pendidikan itu sendiri juga sangat penting. Hal tersebut dapat dilihat melalui teori semiotik sosial dan teori Saussure. 

Melalui kerangka semiotik sosial, kita dapat melihat bagaimana simbol-simbol yang seharusnya menggambarkan keamanan dan keadilan di lingkungan pendidikan, pada realitasnya menunjukan adanya sebuah distorsi makna. Tokoh dosen yang seharusnya menjadi panutan moral justru menjadi simbol penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian terhadap etika akademik. Teori Saussure juga menyebutkan, bahwa makna muncul dari hubungan antara penanda (signifier) dan yang ditandakan (signified). Dalam konteks ini, pendidikan seharusnya ditandakan sebagai sebuah ruang aman untuk belajar, berkembang, dan membangun moralitas. Namun, dengan meningkatnya kasus kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi di lingkungan pendidikan, makna yang terkandung dalam simbol "pendidikan" kini terdistorsi. Dalam sistem pendidikan, "pendidik" tidak lagi hanya dipandang sebagai pemberi ilmu, tetapi juga bisa menjadi sumber ketidakadilan. Hal tersebut membuat pergeseran makna yang mendalam dan menjadi pengingat, bahwa pendidikan tidak hanya soal pengetahuan akademik, tetapi juga tentang membentuk perilaku sosial yang lebih baik dengan mengutamakan keadilan, rasa aman, dan inklusivitas.

Berdasarkan data dari Kemendikbudristek, laporan kekerasan seksual di perguruan tinggi cukup tinggi. Hal ini menggambarkan, bahwa kekerasan dalam bentuk apapun, baik itu fisik, verbal, atau berbentuk diskriminasi terhadap kelompok tertentu, sering kali dibiarkan dan tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Jika dilihat dari teori semiotik sosial, hal ini disebabkan karena masyarakat masih menganggapnya tabu atau jarang dibicarakan, sehingga menciptakan norma sosial yang membungkam korban dan melanggengkan pelaku. Pada kasus intoleransi, sikap intoleransi terjadi karena adanya tanda-tanda sosial yang menstigmatisasi perbedaan baik itu perbedaan agama, ras, suku atau lainnya yang memicu terjadinya diskriminasi dan kekerasan terhadap mereka yang dianggap "berbeda". Begitu juga dengan perundungan yang seringkali dipicu oleh adanya tanda-tanda sosial seperti "popularitas" atau "kekuatan" yang memberi ruang bagi para pelaku terhadap mereka yang dianggap lemah atau tidak sesuai dengan standar sosial tertentu.

Siniar mengenai tiga dosa besar pendidikan seperti "Bincang Taman : Mengenal Isu Tiga Dosa Besar Pendidikan", mengajak kita untuk mengkritisi dan meredefinisi simbol-simbol yang telah terdistorsi. Siniar ini bukan hanya membuka ruang diskusi mengenai dampak dari kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi di lingkungan pendidikan, tetapi menawarkan pandangan mahasiswa tentang bagaimana cara menghadapinya. Melalui percakapan publik dan kesadaran kolektif, kita dapat meredefinisi "pendidikan" sebagai ruang yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu.

Isu ini menjadi sebuah kenyataan pahit, bahwa pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman dan pembentuk karakter justru terperangkap dalam cengkraman tiga dosa besar. Kasus kekerasan seksual yang melibatkan dosen Unpar menjadi contoh nyata bagaimana simbol-simbol pendidikan yang seharusnya mewakili integritas dan moralitas justru bisa disalahgunakan. Jika sistem pendidikan terus terperangkap dan tidak mengatasi masalah ini, pendidikan akan kehilangan esensinya sebagai tempat perlindungan dan pembentukan karakter, masa depan generasi muda dan kepercayaan terhadap institusi pendidikan juga akan terancam. Tiga dosa besar ini bukan hanya masalah individu, melainkan masalah struktural yang mendalam yang harus segera diatasi agar pendidikan bisa kembali menjadi tempat yang aman, inklusif, dan mendidik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun