Mohon tunggu...
Taswin Munier
Taswin Munier Mohon Tunggu... -

masih optimis bahwa laut, nelayan & pemerintah dapat bersatu dengan semesta menyelamatkan ikan dan orang Indonesia dari kepunahan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saat Suara Rakyat (Bukan Lagi) Suara Tuhan

27 Juli 2012   04:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:34 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1343364587508251165

Peribahasa latin kuno Vox populi vox dei yang berarti suara rakyat adalah suara Tuhan mungkin sudah saatnya dielaborasi lebih jauh, atau jika perlu di definisikan ulang pemahamannya. Ini akan sangat membantu para pengambil keputusan di negeri ini, dari tingkat kepala desa/lurah hingga ke pimpinan puncak eksekutif dan legislatif dalam menyikapi beberapa aksi massa yang cenderung brutal hingga mendekati chaos. Sebut saja yang paling anyar adalah demo massa yang menurut berita didominasi tukang ojek dan pedagang asongan  di "terminal bayangan" Jatibening pagi tadi, yang membuat akses tol Jakarta-Cikampek di sekitar pintu tol Jatibening tertutup dan berakibat kemacetan parah hingga 8 kilometer dan korban satu mobil pick up jasamarga habis terbakar. Kegiatan turun-naik penumpang bus dan terkadang diikuti beberapa mobil pribadi di sekitar gerbang tol tersebut sebenarnya sudah mengubah fungsi badan jalan tol tersebut menjadi terminal tanpa harus menambahkan kata bayangan. Selain merupakan pelanggaran lalulintas dan  aturan jalan bebas hambatan yang akan membahayakan penumpang yang turun-naik dan  orang-orang yang menikmati domino effect dari kegiatan "terminal" tersebut, fenomena serupa akan menjadi jamak dan teladan buruk untuk ruas jalan tol lain di Jakarta dan tempat lainnya yang akan mengurangi efektifitas jalan tol sebagai jalan bebas hambatan dan kepercayaan masyarakat akan keseriusan Jasa Marga/pemerintah memberi ruang yang adil bagi setiap pemakai jalan, tanpa diskriminasi (mementingkan sebagian golongan dari kelompok lainnya). Maka terbelalak lah mata, mengernyit lah dahi dan melorotl lah rahang bawah, saat melihat kedahsyatan amuk massa pagi tadi. Sangat mirip dengan amuk sebelumnya (dengan kasus berbeda-beda, tentunya), ratusan orang merusak apa saja yang ada di dekat mereka sementara aparat yang kalah jumlah hanya "menonton". Diawali dengan teriakan dan sumpah serapah, dorong-mendorong dan diakhiri dengan penghancuran dan pembakaran fasilitas umum. Yang ketiban sial pagi tadi adalah mobil pick up Jasa Marga yang kebetulan parkir di tempat dan waktu yang salah. Sejatinya jika pemerintah/Jasa Marga ingin menyelesaikan masalah yang telah bertahun-tahun menggantung ini, akan banyak alternatif untuk penyelesaian bersama. Salah satunya, dengan tetap memberikan akses naik turun penumpang di tempat tersebut, tapi memisahkannya dari badan jalan tol. Sederhananya, areal tersebut jangan lagi diklaim sebagai bagian jalan tol, tapi merupakan "transit area", mirip dengan konsep rest area yang selama ini ada. Sebagian lahan mengambil badan jalan tol dan sebagian lagi seharusnya dibebaskan oleh Pemda Bekasi sebagai konsekuensi win-win solution. Moda transport yang dibolehkan masuk ke transit area adalah kendaraan angkutan umum (bus, angkot, mini van travel) yang dibuktikan dengan plat nomor berwarna kuning. Pedagang asongan dan tukang ojek tentu saja akan diatur menyesuaikan kondisi lahan. Lewat tulisan ini saya tidak membela ataupun menyalahkan pihak manapun, dan aksi Jatibening pagi tadi hanyalah contoh kasus yang saya angkat.Ini hanyalah refleksi kegusaran sekaligus kemasygulan, melihat fenomena ini menjadi semakin sering terlihat di tanah air, setiap ada konflik antara pengambil keputusan (pemerintah/perusahaan/organisasi) versus "massa" (rakyat/buruh/anggota ormas) tentang hal-hal yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan solusi adil untuk semua pihak dan tanpa diskriminasi ke golongan mana pun (pemihakan pada  golongan minoritas dan ketidakadilan terhadap golongan mayoritas pun sejatinya adalah sebuah diskriminasi). Maka kembali kita bertanya, "masih berpihak kah Tuhan kepada rakyat/massa/suara terbanyak jika aksi mereka tidak mencerminkan sifat Tuhan  sama sekali? Bukankah sifat Ar-rachmaan, Ar-rachiim, Al-gafuur, adalah beberapa dari 99 nama/azma Allah yang juga merujuk ke sifat ke-Tuhanan-Nya?". Entahlah, hanya waktu yang (mungkin) bisa menjawab. Semoga kata-kata Alcuin dalam suratnya ke Charlemagne di tahun 778 Masehi tidak menjadi pembenaran di negeri kita tercinta ini: Nec audiendi qui solent dicere, Vox populi, vox Dei, quum tumultuositas vulgi semper insaniae proxima sit (dan orang-orang yang sebaiknya tidak didengar adalah mereka yang selalu mengatakan bahwa suara rakyat/massa/mayoritas adalah suara Tuhan, sementara aksi brutal mereka sebagai massa seringkali mendekati pada kegilaan/kesetanan) Jakarta, Jumat Ramadhan 1433H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun