Kasus perceraian di Indonesia terbilang tinggi dan angkanya terus merangkak naik. Setidaknya ada sekitar 516 ribu pasangan yang bercerai setiap tahun. Sementara itu, di sisi lain, angka pernikahan justru mengalami penurunan. Prof. Â Dr. Kamaruddin Amin selaku Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama
menjelaskan, jumlah perceraian terbilang fantastis (republika.co.id, 22-09-2023).
Di salah satu daerah di Indonesia,  yakni Kabupaten Karawang, sebanyak 2.356 istri telah menggugat cerai suaminya dalam kurun waktu Januari hingga akhir Agustus 2023. Juru bicara Pengadilan Agama Kelas 1 Karawang, Hakim Asep Syuyuti, mengungkapkan bahwa kasus perceraian  ini semakin meningkat, dengan salah satu faktornya adalah kecanduan judi online.
Dalam kurun waktu tersebut, tercatat 3.070 perkara perceraian, dengan rincian 714 perkara cerai talak perceraian yang diajukan oleh suami (cerai talak) dan 2.356 perkara cerai gugat. Angka cerai gugat sendiri meningkat tiga kali lipat jika dibandingkan dengan  tahun sebelumnya (pikiran rakyat.com, 20-09-2023).
Terus Meningkat, Bagaimana Bisa?
Kasus perceraian dengan angka yang terus meningkat ini semestinya bisa dijadikan bahan renungan. Mengapa kasusnya begitu mencengangkan? Bahkan, terkait cerai gugat  mengapa kian menggejala?
Ternyata, dari faktor yang ada masalah ekonomi yang sulit menjadi pemicu tertinggi terjadinya kasus perceraian. Akibatnya pendapatan menurun, hingga terjadinya PHK oleh sejumlah perusahaan.
Tekanan ekonomi yang sulit inilah yang akhirnya memercikkan ketegangan dalam rumah tangga, cekcok hingga KDRT pun akhirnya terjadi. Hingga akhirnya sebagian orang berfikir bahwa bercerai adalah solusi terakhir.
Sejatinya, guncangan yang muncul pada institusi pernikahan ini tidak lepas dari jeratan sistem rusak yang bernama Kapitalisme yang diemban oleh masyarakat dan negara hari ini. Sistem ini melahirkan pola pikir yang mendudukan perempuan sebagai kaum tertindas. Hingga akhirnya ide feminisme  hadir dan digaungkan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.
Padahal, permasalahan ekonomi yang muncul ini adalah buah penerapan sistem ekonomi kapitalis. Penggiat feminis hanya sibuk mempersoalkan ketimpangan gender yang ada pada dunia kerja. Padahal, problemnya adalah sistem ekonomi kapitalisme lah yang membuat kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Kepemilikan umum justru dimiliki oleh segelintir orang, hingga berdampak pada kemiskinan yang semakin akut, institusi keluarga pun terkena imbasnya.
Kaum ibu akhirnya harus berfikir keras bagaimana agar dapur tetap mengepul di situasi yang serba sulit. Tak sedikit pula yang akhirnya harus keluar dari rumahnya untuk membantu sang suami mencari nafkah. Tempat kerja yang tidak kondusif dan sistem pergaulan yang jauh dari Islam pada akhirnya memberikan godaan yang akan menambah rapuhnya rumah tangga. Gaya hidup konsumerisme semakin menggejala, pemahaman antara keinginan dan kebutuhan bergeser hingga perselingkuhan banyak terjadi.
Pandangan Islam
Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna telah membentuk institusi rumah tangga sebagai bagian dari syariat. Terdapat sejumlah hukum yang telah digariskan agar senantiasa dalam rida-Nya.
Allah telah membebankan kewajiban sebagai seorang pemimpin (qawwam) hanya pada pundak suami. Sedangkan istri sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (Ummu wa rabbatul bayt).