Mohon tunggu...
Tasudin Dayeuhluhur
Tasudin Dayeuhluhur Mohon Tunggu... Guru - Bersama Meraih Bahagia

Membangun Perubahan Menyongsong Adidaya Baru.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Akrabnya Guru, Murid, Cucu, dan Cicit Ngaji

20 September 2013   13:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:38 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Semoga dapat barokah guru." Ucap seorang murid dalam suatu majlis dirumah Kyai Afifudin pemilik Pondok Pesantren Nahdhatul Wathan Kota Banjar Jawa Barat.

Malam itu berkumpullah empat orang sahabat yang sedang berkunjung ke pak kyai. Empat orang ini juga merupakan sahabat karib pak kyai. Ruangan tempat mereka berkumpul saat itu adalah ruang depan kantor Ponpes NW yang berhadapan langsung dengan gedung pondok tempat anak-anak ngaji. Di tempat ngaji tersebut disediakan fasilitas dispenser, alat-alat minum, termasuk juga gula, teh, dan kopi yang disediakan bebas untuk siapa saja yang mau.

Sebutlah empat orang sahabat itu adalah Ustadz Tazudin, Ustadz Adnan (murid Ustadz Tazudin), Ustadz Zamroni (murid Ustadz Adnan, saya sebut cucu), dan Ustadz Ibrahim (muridnya lagi, saya sebut cicit) sedang ngobrol santai dan hangat bersama Kyai Afif. Di tengah obrolan Ustadz Adnan keluar menuju pondok, sekejap kemudian kembali menenteng segelas kopi panas. Setelah duduk sang ustadz menyeruput kopinya penuh nikmat. "Alhamdulillah," kalimat pujian keluar dari mulutnya.

Suasana obrolanpun semakin asyik memperbincangkan masalah Islam, kaum muslim, dan perjuangannya.

Hubungan guru murid cucu dan cicit ngaji ini tidak berarti menandakan terpaut beda usia yang jauh. Sang guru berusia 32-an, sang murid 34-an, sang cucu 29-an dan sang cicit 40-an. Beda usia yang unik kan? Begitulah hubungan keakraban dan keilmuan yang luar biasa dibangun di antara mereka.

Sementara Kyai Afif ada perlu sebentar dan bergegas ke belakang, tiba-tiba Ustadz Ibrahim mendekati gelas kopi dan memohon izin untuk ikut meminumnya. Ustadz Adnan tersenyum dan mengiyakan. "Semoga dapat barokahnya kakek guru," gumam sang cicit sambil menyeruput kopi disambut senyum yang lain. Tidak berapa lama Ustadz Zamroni pun melakukan hal yang sama. "Semoga dapat barokahnya guru," ucap sang cucu bersama seruput kopinya disambut senyum yang lain. Eh, ternyata tidak lama kemudian Ustadz Tazudin pun berlaku sama. "Semoga dapat barokah murid," guraunya disambut tawa murid-muridnya.

Begitulah keakraban sahabat-sahabat ini dalam pergaulannya. Mereka menghormati gurunya karena keilmuannya tapi juga sekaligus terbangun suasana persahabatan yang kuat di atas aqidah Islam hingga tidak membedakan mereka dalam status, gelar atau pangkat. Mereka sama-sama kaum muslim yang saling mencintai sekaligus menghormati. Mereka adalah satu titik kecil di antara rangkaian ikatan kaum muslim di dunia sebagai kader pejuang tegaknya kejayaan Islam yang telah dijanjikan Allah Swt.

Dari kisah asli yang disaksikan langsung oleh penulis.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun