Mohon tunggu...
Acha Khairunisa
Acha Khairunisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sastra Indonesia

Hanya senang menulis suatu karya tulis yang berharap dapat bermanfaat bagi siapapun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak Mama

6 November 2024   21:19 Diperbarui: 6 November 2024   21:51 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejak kecil, aku selalu menjadi bahan perundungan yang paling empuk bagi teman-teman di sekolahku. Bukan karena aku memiliki paras wajah yang jelek, atau merupakan anak perempuan yang berpakaian dekil. Tetapi karena aku dianggap sebagai 'anak haram'. Karena katanya, Mama pernah melakukan perbuatan tercela saat dirinya baru saja menginjakkan kaki kelas 2 SMA.

Tentu saja hal itu tidak dapat aku percayai bulat-bulat. Karena aku menganggap, bahwa Mama adalah orang tua perempuan yang baik dan selalu memperhatikan tumbuh kembang anaknya.

Mama tidak pernah sedikitpun mengalihkan perhatiannya dariku. Mama selalu berusaha sebisanya, untuk membuatku merasa nyaman dan aman dalam didikan dan lindungannya.

Tapi, tak dapat di pungkiri juga. Aku selalu menanyakan hal yang sama seperti sebelumnya. Pertanyaan yang membuat Mama mengulum senyum tipis, lalu mengalihkan matanya dari manik hitamku. Dulu saat aku SD dan SMP, aku tidak mengerti maksud gelagat Mama. Aku hanya ber'oh' ria dan berhambur memeluk Mama.

Lalu mengatakan tiga kalimat, hanya untuk menenangkan hati Mama. "Tidak apa-apa jika Papa tidak ada di dunia ini lagi. Asal ada Mama, Diana udah senang. Karena Mama adalah mutiara Diana satu-satunya."

Setelah mengatakan hal itu, aku langsung mengecup pipi Mama dan mengulas senyum manis. Hal itu tentu saja di balas Mama dengan mengecup seluruh wajahku bertubi-tubi. Membuatku merasa geli.

Namun, hal itu membuat pandanganku terhadap orangtua laki-laki berubah. Saat aku SMA, aku merasa iri dengan teman-temanku. Karena mereka diantar dan di jemput oleh orangtua laki-lakinya. Bahkan orangtua laki-lakinya rela menunggu anaknya sampai bel pulang berbunyi.

Aku yang waktu itu hanya bisa pulang dan pergi dengan angkutan umum merasa iri dan minder. Terlebih lagi, teman-temanku semakin menjadi-jadi mengejekku 'anak haram'.

Maka saat cuaca tidak begitu bagus di hari itu. Seolah mendukung suasana hatiku yang gelisah dan iri. Aku memilih untuk pulang dengan berjalan kaki. Di sepanjang perjalanan aku menangis hebat, memikirkan ucapan teman-temanku. Bahwa aku adalah anak haram yang tidak seharusnya terlahir di dunia. Aku hanya akan membawa kesialan bagi orang di sekitarku. Aku semakin mengencangkan suara tangisanku, bersamaan dengan hujan yang semakin lebat.

Sesampainya di rumah, aku berdiri di depan pintu. Di depanku, Mama menyambutku dengan raut wajah khawatir. Dia segera mengambil handuk milikku, lalu menghampiriku yang masih terdiam di depan pintu dengan mata memerah.

Aku menepis tangan Mama, hingga handuk yang di pegangnya terjatuh. Mama terkejut bukan main. Dia segera memungut handuk tersebut dan bertanya dengan nada suara rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun