Suatu hari, beberapa waktu yang lalu. Aku bertemu seorang perempuan, orangnya cakep namun pendiam. Pertama kita kenal karena kami sama-sama dalam suatu kegiatan. Dia adalah perempuan pertama yang membuatku enggan berpaling dari mukanya. Aku selalu mencuri pandang demi melihat wajahnya yang imut.
Februari 2010 kami jadian, awalnya kita jalani hari demi hari penuh canda tawa, penuh suka cita bersama. Banyak teman-teman kami yang iri saking romantisnya kami, selalu bersama dalam suka dan duka. Dia memang paling bisa mengerti aku, dan aku juga mencoba untuk bisa mengertinya. Aku sangat bersyukur dipertemukan dengannya, perempuan baik dalam hidupku.
Aku masih ingat jelas kala itu, pagi ketika aku hendak menjemputnya untuk pergi kuliah bareng. Betapa kagetnya aku, ketika ibunya bercerita jika dia sedang sakit, perempuan baik yang selalu menghiasi hariku. Ibunya tak henti-hentinya menangis. Aku coba hibur biar dia mau cerita yang sesungguhnya. "Ada apa bu? Dia sakit apa, kenapa ibu sesedih ini?" Kata ku penuh rasa gelisah. "Maafkan aku, mungkin ini salahku, dia menderita lumpuh sebagian tubuhnya, otaknya juga terganggu. Memang dari keluarga kami ada riwayat keturunan sakit seperti itu, maafkan aku." Kata ibu berulang kali kepadaku.
Aku masuk kamar pacarku, aku lihat dia terbaring lemah. Aku coba panggil namanya, dia hanya menoleh dengan ekspresi datar, jauh dari hari-hari biasa waktu dia masih sehat. Sejenak terdiam, dia mulai mencoba berbicara, "sayang, aku minta maaf, aku tak pernah cerita sebelumnya jika aku memiliki penyakit, penyakit yang susah untuk sembuh. Maaf sayang, aku rela jika kamu berpaling dariku dan mencari penggantiku, mencari perempuan lain yang lebih sempurna, yang mampu menghiasi harimu lagi. Maaf karena aku tak akan bisa seperti kemarin, menemanimu dikala senang maupun duka." Perkataan dia sungguh membuatku tak berdaya, aku tak mampu menahan air mataku. Air mataku menetes begitu saja seolah tak mau henti, seperti perasaanku yang selalu mengalir untuknya. Sayang, kamu jangan bicara seperti itu. Aku ingin kita tetap bersama seperti kemarin, kalau memang kita tidak bisa selalu jalan seperti kemarin, itu bukan masalah buatku. Aku masih bisa selalu mengunjungimu tiap saat, kita juga masih bisa jalan pakai kursi roda. Kamu jangan menyerah, kataku penuh berlinang air mata. Kamu tahu kan, aku sangat menyayangimu. Kamu adalah anugrah terindah yang pernah aku miliki. Kamu jangan ragu, besok kita secepatnya menikah. Aku ingin kamu senang, nanti aku akan keluar dari kuliahku untuk kerja buat kita berdua. Kamu mau kan sayang? Aku masih berlinang air mata ketika aku membujuknya, perempuan baik yang dulu selalu ceria dan penuh semangat, kali ini dia tergeletak tak berdaya didepan mataku. Sungguh malangnya, dia lumpuh dan mengalami gangguan otak, bahkan dokter menduga itu bisa jadi kanker otak. Ya Alloh kenapa Kau berikan cobaan ini untuknya, jika memang bisa Kau pindahkan, aku mohon pindahkan sakitnya kepadaku ya Alloh. Aku ingin melihatnya penuh bahagia seperti kemarin, walau aku harus mempertaruhkan hidupku.
Hari itu senja di sebuah taman dekat rumahnya, aku mendorongnya dengan kursi roda, aku mengajaknya menikmati senja kala itu. Senyum senja kala itu mengingatkan senyumnya yang penuh kebahagiaan setiap hari. Aku memeluknya dari belakang, aku berbicara lembut terhadapnya, aku ingin dia melawan sakitnya, aku ingin dia jangan putus asa, karena aku selalu disampingmu sayang. Saat ini dan sampai nanti. Aku pun terkejutkan ketika kepalanya lemas tertunduk, aku menangis sambil memeluknya erat, dia hanya terdiam terduduk dikursi roda. Aku tahu dia tlah tiada, sayang bangun sayang..... Sayaaaaaannng bangun, bangun sayang... Jangan tinggalkan aku, aku akan selalu ada buat kamu, sayang bangun bangun sayang... Aku menangis meronta, seakan tak percaya dia pergi meninggalkanku untuk selamanya.
Hari pemakaman dia aku tak bisa hadir, kesehatanku drop, bahkan aku sempat pingsan beberapa hari. Ketika aku sadar aku cuma ingat terakhir aku menulis cerita ini, karena aku sudah tak tahu harus berbuat apa. Siang itu aku mengunjungi makamnya, seperti biasa aku tak mampu menahan air mataku. Aku bersihkan makam nya dan ku panjatkan doa untuknya. Lama aku terdiam didepan makamnya, aku lanjutkan menulis cerita ini sambil berbicara didepan makamnya, berharap dia akan mendengarkanku. Dan kini aku pun terbaring bersamanya, tepat disamping makamnya kutertidur menemaninya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H