Berikut ini adalah penggalan kalimat yang saya kutip dari berita berjudul "Ratapan Ibu Korban Tewas Bagi-bagi Sembako di Monas" yang dimuat di Viva:
Kokom menuturkan anaknya juga sempat muntah-muntah, kejang dan juga pingsan. Dalam kondisi itu, Kokom mengaku sulit mendapatkan pertolongan dari orang-orang sekitar.
"Lima orang sudah saya tanya, 'maaf bu saya mau ke sini dulu'. Ya Allah enggak mau nolong, tega bener ya sama gue ya," ujar dia.
Membaca berita ini emosi saya sungguh teraduk-aduk. Marah terhadap panitia. Kesal juga terhadap orang-orang yang ada di sana.Â
Bagaimana bisa orang-orang itu tidak mau memberikan pertolongan kepada Bu Kokom dan anaknya. Padahal sudah jelas Bu Kokom meminta pertolongan kepada mereka.
Ketika berita ini saya ceritakan kepada sopir taksi dalam perjalanan menuju kantor di hari Senin, sopir taksi sangat terkejut dengan sikap orang-orang yang ada di sana.
"Saya mendengar ceritanya saja merinding. Kalo saya ada di sana, saya pasti gotong tuh anak. Saya jadi inget sama anak saya" kata sopir taksi.
Ya, rasa empati orang-orang itu sepertinya sudah mati. Mereka tidak peduli lagi dengan tragedi yang menimpa orang lain. Meski tragedi itu terjadi di depan matanya sendiri.
Menurut pengakuan Bu Kokom, dia dan anaknya mengantre dan berdesak-desakan sejak pukul 10.30. Kemudian pada pukul 11.30 terjadi chaos yang mengakibatkan anaknya terjatuh dan terinjak-injak.
Suasana di lokasi pada saat itu jelas sedang panas-panasnya. Saya bisa merasakan teriknya matahari, karena pada saat yang sama mobil kami terjebak kemacetan yang sangat parah di Jalan Merdeka Utara menuju Stasiun Gambir. Hanya selemparan batu dari lokasi acara.

Jika di jalanan sekitar Monas saja jumlah massa begitu besar, bisa dibayangkan jumlah masa di lokasi acara.Â
Melihat kekacauan di sekitarnya, anak saya yang sulung berkomentar, "Ngapain sih orang-orang itu repot-repot, panas-panasan cuma buat dapet beras segitu?"