Ayo Menjadi Entrepreneurs
Lulus sekolah, lulus kuliah, mau ke mana?
Sebagian dari kita termasuk saya adalah sebagian besar orang yang bingung menentukan nasib atau lebih tepatnya pekerjaan setelah lulus sekolah atau kuliah. Orang tua saya mungin termasuk orang tua kita semua selalu mewanti-wanti anaknya saat sekolah agar sekolah yang pinter biar jadi pegawai. Supaya tidak menjadi seperti orang tua kita yang bisanya hanya mencangkul, merumput dan buruh lainnya. Kata-kata ini sering diungkapkan orang tua kepada anaknya, sehingga terbawa dalam alam bawah sadar kita seakan-akan pekerjaan orang tua sebagai petani itu pekerjaan remeh temeh. Akhirnya tidak sedikit dari generasi muda yang enggan memegang cangkul, berlumuran lumpur sawah, beternak dsb. Kita berlomba-lomba untuk mendapatkan nilai bagus, IP tinggi agar bisa diterima sebagai PNS atau di perusahaan swasta yang selalu memakai baju bersih, bersepatu, berdasi dan duduk di belakang meja.
Bukan berarti saya merendahkan saudara2 kita yang bekerja jadi PNS dan pegawai-karyawan swasta, tentu tidak. Saya sendiri bertahun-tahun merasakan sebagai karyawan swasta. Tapi yang ingin saya sampaikan adalah tujuan dan hakikat pendidikan ternyata belum mampu mencetak generasi entrepreuneurs, generasi pengusaha, generasi petani, pekebun dll. Pendidikan kita baru mampu mencetak tenaga kerja bukan mencetak wiraswasta/pengusaha. Diketahui, bahwa banyak sedikitnya pengusaha itu salah satu indikator maju tidaknya sebuah negara.
Negara kita Indonesia ini dikenal sebagai negara agraris, artinya potensi pertaniannya begitu besar. Dan perlu diketahui juga, bahwa salah satu komoditas sayuran terbaik di dunia itu ada di Indonesia. Yaitu di daerah2 yang memiliki gunung api aktif. Potensi pertanian ini yang sudah agak lama ditinggalkan oleh generasi penerusnya, akhirnya bangsa asing lah yang menguasai pertaniannya. Sebagai contoh, di jalan Blabak-Sawangan Magelang berdiri pabrik pembenihan milik korea, sementara masyarakat lokal memilih bekerja di sana ketimbang mengolah lahannya sendiri. Selain pembenihan perusahaan korea tersebut juga membeli dan mengontrak lahan pertanian milik warga untuk dijadikan lahan pertanian. Sementara masyarakat kita hanya sebagai buruh tanam dan buruh panen yang penghasilannya tak lebih dari 25 ribu per hari. Saya tidak perlu berbicara tentang lahan sawit di luar Jawa, apa lagi pertambangan karena saya tidak paham.
Kemudian saat lebaran hari raya Idul FItri, Natal, Tahun Baru, siapa yang meraup keuntungan besar? Tentu bukan penduduk pribumi, karena kita hanya berbelanja pakaian, makanan, kue dan sembako di toko milik orang "Aseng" non pribumi. Kita yang berhari raya, mereka yang panen raya.
Untuk itu, kemandirian ekonomi masyarakat adalah sebuah keniscayaan jika kita memulai untuk berwiraswasta. Tentu dalam mengawali usaha kita akan mengalami gejolak batin, karena tidak bisa langsung panen atau memetik hasilnya. Berbeda dengan pegawai/karyawan yang tiap minggu/awal bulan gajian. Dalam dunia usaha kadang kita dapat untung, kadang buntung. Fluktuatif dunia usaha itu yang mungkin membuat kita takut untuk memilih dunia wiraswasta. Padahal letak kenikmatannya justru pada proses jatuh bangunnya itu.
Menjadi entrepreuner berarti kita membuka lapangan pekerjaan baru, mengurangi pengangguran setidaknya diri kita sendiri. Sekecil apapun usaha yang kita mulai tentu lebih dan sangat bermanfaat. Paling tidak kita yang mengendalikan kemudi usaha kita sendiri. dalam Islam disebutkan bahwa 99 pintu rizki itu adalah berdagang, selain itu bercocok tanam/bertani dan beternak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H