Kebanyak dari para filsuf, jiwa dan raga mereka mengabdi pada ide, gagasan atau prinsip mereka sendiri yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional, dalam, bernas dan berguna bagi banyak orang.
Saya juga melihat Ahok demikian. Ia mengabdi apa yang dipikirkannya. Ahok bukanlah seorang politikus biasa di negeri ini. Ia seorang filosof politik Indonesia. Kok disebut filosof? Ia. Karena Ahok memberi kesadaran baru, gerakan baru dan perubahan baru bagi semangat dan cita-cita politik di negeri ini.
Argumentasi ini diperkuat oleh fenomena Ahok. Fenomena Ahok seperti apa? Di berbagai kesempatan dengan gaya komunikasi politiknya yang populis, Ahok kerap kali membicarakan tujuan politiknya. Berpolitik adalah membangun masyarakat dari perut, otak dan kantong. Selogan yang selalu dikumandangkan Ahok ialah, “penuhi kantong, perut dan otak warga”. Itu berarti politik bertugas mengurus seluruh aspek kemanusian baik fisik maupun yang non fisik.
Apakah selogan Ahok ini terkesan pragmatis? Tunggu dulu brosis. Konsep politik Ahok adalah politik urban dan modern (terkini). Politik gaya urban dan modern ala Ahok maksudnya adalah Ahok melibatkan banyak kaum muda. Contohnya ialah munculnya team relawan, para artis, seniman dan teknologi yang terlibat dalam gerakan yang mereka sebut “perubahan”.
Ia memprakarsai partisipasi publik dalam berpolitik. Publik memberikan donasi secara sukarela untuk dana kampanye. Nah, ini tidak mudah karena terjadi di tengah kecemasan dan skeptis publik terhadap pemimpin-pemimpin di negeri ini yang kurang jujur dan mengutamakan kepentingan rakyat. Donasi politik hanya fenomena khusus untuk Ahok. Tentu saja Ahok memiliki kharisma sehingga mengalami pengalaman politik seperti ini.
Ahok sangat sadar akan tujuan dasar politik yaitu untuk kebaikan bersama, maka ia membuka mata rakyat tentang arti berpolitik sesungguhnya. Pertama, Ahok menyadarkan bahwa politik bukan hak istimewa dari sekelompok manusia saja (kelompok elit), tetapi politik menyangkut seluruh rakyat karena itu partisipasi politik rakyat sangat perlu. Ahok membuktikannya dan rakyat yang waras menerimanya.
Kedua, Politik dalam prinsip Ahok juga adalah alat yang berfungsi untuk mengadministrasi keadilan sosial, menciptakan birokrasi yang transparan dan akuntabilitas. Ia juga melakukan meritokrasi dalam birokrasi dengan sistem lelang kekuasaan. Berbagai inovasi dilakukannya untuk mengubah sistem birokrasi pemerintahan yang ribet dan koruptif. Ia melakukan perubahan birokrasi dengan amat berani.
Ketiga, Politik bagi Ahok tidak berhenti pada bagaimana mendapatkan kekuasaan secara sah dari rakyat tetapi bagaimana mengadministrasi kekuasaan rakyat. Penguasa adalah masyarakat itu sendiri sedangkan birokrat adalah pelayan publik. Karena itu, Ahok seringkali meyakinkan publik tentang pemimpin yang melayani dan jujur. Menjadi pejabat berarti menjadi pelayanan rakyat. Rakyat adalah “bossku” katanya.
Idealisme revolusioner Ahok untuk mengubah perspektif dan sistem politik yang “sakit” di negeri ini digarapnya secara serius. Bagi Ahok, politik merupakan panggilan hidup yang mempersembahan seluruh integritas diri, tenaga dan pikirannya. Berpolitik berarti mengabdi, totalitas memberi diri pada kebutuhan publik.
Karena berpegang pada prinsip demikian, tidak heran Ahok sangat berani, tegas dan menerima resiko. Ini merupakan bagian dari pengalaman eksistensialnya dalam berpolitik. Ahok tidak pernah takut menghadapi resiko. Bahkan kini ia dipenjara. Ia dipenjara bukan karena ia koruptor, bukan karena penggusuran, tetapi karena sentimen primordial.
Menurut saya, Ahok bukan tidak pernah merenungkan siapa dirinya, etnisnya, keyakinannya dan panggilannya menjadi politik. Ia sudah memperhitungkan resiko tersebut. Sebagian besar politikus dari kelompok minoritas saya kira belum pernah bertindak berani seperti Ahok. Apakah itu berarti ia belagu, sok jago? Ahok bukanlah orang bodoh dan tanpa perhitungan. Ia adalah seorang yang banyak tahu, berhati jujur dan membela kebenaran untuk rakyat.