Mohon tunggu...
Tarsy Asmat
Tarsy Asmat Mohon Tunggu... lainnya -

Suka membaca buku, olahraga. perhatian pada kerarifan lokal dan filosofi dalam budaya masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi dan Pasar Rakyat

12 Maret 2016   22:34 Diperbarui: 15 Maret 2016   12:18 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demokrasi adalah pasar. Proses politik yang berlangsung di pasar semacam ini lebih alot, ramai dan menjemukan. Pedagang-pedagang politik seperti ibu-ibu pasar yang menjual ikan, sayur dan berbagai macam hal, riuh dan bahkan saling menekan satu samalain demi menarik pelanggan. Demikian juga proses Pilkada, Pilgub, Pilpres mirip dengan situasi pasar. Tetapi bedanya, jenis dan tujuan kegiatan serta komoditasnya berbeda. Pasar rakyat mengurus kubutuhan primer manusia sedangkan pasar politik mengurus hal yang lebih besar yaitu kebaikan bersama.

Riuh dan alotnya situasi politik ala demorasi sering terjadi menjelang pemilu. Memang itulah karakter demokrasi. Menurut Lasswell politik merupakan pertarungan merebut kuasa. Kalau saya membahasakannya seni menjadi pemimpin. Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang menjadi pemenang di pasar ini. Untuk menjadi pemenang harus dipasarkan dulu.

Isu Pilgub DKI jakarta kini menjadi viral. Ya, DKI sebagai pusat Ibu Kota Negara memang menjadi perhatian banyak warga. Banjir di Jakarta akan menjadi banjir nasional. Baik dan buruknya negeri ini semuanya di DKI (haha). DKI juga mencerminkan wajah Indonesia. Orang-orang luar datang ke DKI demikian juga warga-warga dari pelosok tanah air datang ke sana. Maka tidak heran Pilgub DKI adalah Pilpres Jilid II, menyedot perhatian dari seluruh penjuru Indonesia.

Jika mencermati pasar politik menjelang Pilgub DKI, sepertinya Ahok adalah seorang pedagang yang tidak masuk dalam ikatan-ikatan pedagang. Meskipun dagangannya berwajah sama, namun bedanya, Ahok adalah pedagang yang mengenal isi hati pasar itu sendiri, sementara pedang yang lain, sudah terlalu lama mencium bau amis pasar hingga tidak bisa lagi membedakan caranya berpolitik serta track recordnya sudah expired atau kdaluwarsa. Dalam hal ini saya harus menyatakan, edan yu hok! Jago dan luar biasa.

Ahok agaknya seorang tipe pemimpin yang diidamkan oleh si ahli politik pragmatis Italia, Machiavelli. Seorang pemimpin menurutnya adalah seorang yang dicintai sekaligus dibenci oleh rakyatnya. Ahok dicintai oleh rakyat karena sistem kerjanya, good govermentnya, dan perjuangannya melawan anti-korupsi. Namun ia juga dibenci karena mulutnya dan oleh mereka yang “berkebutuhan khusus” (red beda kepentingan) dalam bidang politik. Mereka yang berbeda kepentingan akan menghadangnya.

Proses semacam ini, dimana-mana banyak suara dan usaha untuk saling menumbangkan satu sama lain selama menghargai kebebasan dan HAM, adalah legal dalam demokrasi. Proses politik ala demokrasi memang membingungkan warga. Apalagi jika warga terperangkap dalam jargon-jargon persuasif atau bujukan kandidat. Seni melabel, seni membujuk, managemen kesan adalah bagian-bagian dari usaha merebut kuasa, dan itu lumrah dalam dinamikan politik ala demokrasi.

Maka, kunci penting bagi warga dalam menentukan putusan politiknya adalah memilih yang terbaik. Jika tidak ada yang terbaik, pilih yang baik. Jika semua baik, maka pilihlah yang agak baik dari semua yang baik. Namun jika semuanya buruk, pilihlah yang keburukannya tidak terlalu buruk seperti yang lain.

Kecerdasan memilih sejatinya final dari dinamika  proses politik. Setalah dinamika politik, kita akan masuk ke jantung politik itu sendiri yaitu seni mengelola hidup bersama. Namun, perlu diakui, motivasi dan kedangkalan manusiawi kadang membuat hasil akhir dari proses politik menjadi nihil. Bila salah pilih kita akan memilih koruptor.

Adalah termasuk kekeliruan pemilih jika memilih pemimpin yang jelas-jalas amoral dan tersandung banyak kasus korupsi. Ini namanya blunder politik. Sayangnya, di Indonesia, blundernya banyak sekali. Kita diwakili dan dipimpin oleh mereka yang korupsi. Haha. Memilih pemimpin yang buruk, jelas anda termakan gombal dan rayuan. Anda yang memilih pemimpin buruk ibaratnya pacar yang dikencani habis-habisan lalu pacar anda pergi tanpa permisi. Namun ruginya bukan anda sendiri tetapi kepentingan banyak orang.

Karena itu, dalam pasar politik (demokrasi), kita dituntut cerdas. Kita tidak bisa dibenarkan jika hanya karena perbedaan, agama, suku,  budaya dan sebagainya tidak memilih pemimpin yang baik. Sebab putusan politik anda mendatangkan konsekuensi bagi anda sendiri dan bagi orang lain. Maka, standar sikap politik harus selalu pro kebaikan dan keadilan. Saya jika di DKI akan memilih pemimpin yang jujur, vokal dan melawan anti Korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun