[caption id="attachment_200169" align="aligncenter" width="680" caption="Jembatan "][/caption] SUTARNO. Jika kompasianer yang budiman mengikuti berita di AN TV hari ini (12/07/12), saya pastikan akan terperangah melihat kondisi masyarakat Padang Sumbar ketika berjuang hanya sebatas untuk menuju desa sebelah. Begitu juga anak-anak sekolah dasar, yang tidak pantang menyerah harus menyeberangi jembatan “Indiana Jones” Lebak yang mendunia tersebut. Bahkan jembatan “Indiana Jones” jilid II ini lebih memprihatinkan lagi.Seiring dengan merebaknya budaya korupsi yag berkembang di negeri ini, ternyata benar-benar memberikan dampak “positif” terhadap nyali anak – anak sekolah. Setelah munculnya keberanian anak-anak sekolah di Lebak Banten untuk menyeberangi jembatan “Indiana Jones” yang terkenal hingga manca negara itu, kini nyali anak-anak Padang Sumatra Barat kembali digembleng oleh kondisi alam yang serupa. Yaitu untuk menyeberangi jembatan “Indiana Jones” jilid II yang ada di daerahnya.Mungkin itulah dampak “positif” akibat dari pejabat yang hanya memikirkan dirinya sendiri / kelompoknya, yang tidak akan pernah muncul jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Bukan pejabat jika tidak mempunyai alibi yang cerdas untuk menampik kondisi yang ada. Dengan ringan dan cekatan Walikota Padangpun mengelak, jika hal itu dikatakan sebagai kurang perhatiaanya pemkot terhadap sarana dan prasarana umum yang dibutuhkan masyarakat. “Kerusakan jembatan tersebut dampak dari pasca gempa” begitu jawabnya ketika diwawancarai wartawan Antv ketika dimintai konfirmasinya. Kalaupun hal itu dampak gempa, bagaimanakah pola prioritas pembangunannya ? Apakah menyelamatkan nyawa anak-anak sekolah dan masyarakat yang harus bergelantungan menyeberangi jembatan tersebut bukan suatu prioritas. Konyol ……… jengkel campur aduk ketika saya mendengarkan jawaban walikota tersebut. Berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar, jembatan tersebut sudah rusak sekitar satu tahun yang lalu. Padahal jembatan tersebut merupakan urat nadi masyarakat untuk menuju desa sebelah, dan jalan tersebut merupakan satu-satunya akses yang menghubungkan desa tersebut dengan daerah lain. Artinya tidak ada alternative lain yang dapat membantu masyarakat. Hal yang menyedihkan lagi ketika melihat perjuangan anak-anak ini ketika menyeberangi jembatan ini adalah tali atas dan tali bawah bekas jembatan tersebut tidak sebanding dengan tingginya tubuh anak-anak sekolah ini. Sehingga setiap kali menyeberang anak-anak ini harus ekstra berhati-hati dan harus sambil JINJIT, bahkan karena saking panjangnya jembatan yang hanya dihubungkan dengan 2 utas tali tersebut, jika sampai di tengah-tengah jembatan anak tersebut harus menggelantung karena tubuhnya terlalu pendek untuk menapak pada tali bagian bawah. [caption id="attachment_200170" align="aligncenter" width="680" caption="Anak harus menggantung ketika sampai di tengah jembatan karena tubuhnya tidak sebanding dengan tinggi tali"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H