[caption id="attachment_273916" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi : www.islamedia.web.id"][/caption]
Di bawah ini akan saya ceritakan sepotong kisah nyata tentang seorang wanita yang dianggap cacat mental. Kisahnya terjadi beberapa tahun yang lalu, tapi sampai sekarang saya sering mengingatnya.
Seorang wanita paruh baya bertubuh sedang, berkulit hitam, rambut keriting tak disisir, mengenakan baju yang sudah tampak lusuh, berjalan menyusuri jalan desa yang kering dan berdebu di bawah naungan sinar matahari musim kemarau yang menyengat. Usianya sekitar 30-an tahun lebih, namun raut wajahnya tampak seperti wanita tua. Jika berpapasan dengan orang-orang desa saat melintasi perumahan penduduk ia akan menyapa dan menebar tawa. Ia pun tak segan memanggil nama orang yang dikenalnya. Wanita paruh baya ini (sebut saja DN), dikenal oleh orang-orang di desaku dan desa-desa sekitarnya sebagai wanita yang kurang waras. Sebagian orang bahkan menganggapnya gila. DN sering jadi bahan olok-olok dan tertawaan karena tingkah lakunya yang kadang lucu dan aneh. Mungkin sebenarnya DN tidak gila atau kurang waras seperti sangkaan orang, dia hanya mengalami kelainan/cacat mental dan pada dasarnya normal. Karena ia tidak pernah menunjukan perilaku yang mengganggu atau membahayakan orang lain. Ia juga mampu mengingat dengan baik orang-orang yang dikenalnya. Secara fisik DN juga cukup sehat. Yang mengagumkan kemanapun ia pergi, hampir selalu berjalan kaki. Bahkan dengan langkah kaki yang lebih cepat dibanding wanita normal seusianya. Ia paling suka mengujungi tempat-tempat hiburan, seperti hajatan pernikahan atau khitanan. Suatu hari sebuah keluarga kaya yang dermawan di desaku menyuruh DN tinggal di rumahnya. DN ditempatkan di kamar kosong di bagian belakang rumahnya. DN diberi beberapa potong pakaian, makan dan uang jajan setiap hari. DN tampaknya sangat senang dan betah tinggal di rumah itu. Suatu hari ayah DN (seorang pria tua) datang menengok DN ke rumah keluarga dermawan tersebut. Sesaat kemudian kedua orang ayah dan anak itu terlibat pembicaraan. Tanpa sengaja saya menguping pembicaraan kedua orang ini. "Bapak mau apa datang ke sini?" tanya DN.
"Bapak kangen ingin ketemu kamu, kamu betah tinggal disini?" sang ayah balik bertanya.
"Betah, Pak, Ibu sama Bapak Hajinya (pemilik rumah) baik sekali pak."
"Syukur kalau kamu betah di sini mah, bapak jadi tenang." ujar ayahnya tampak lega. "Jangan sering-sering ke sini Pak, takut banyak mobil!" kata DN dengan nada khawatir. Saat ayahnya hendak pulang, DN bergegas masuk ke kamarnya, sesaat kemudian kembali menemui ayahnya, "Pak, sirup ini dikasih Ibu Haji, bawa saja buat Bapak." DN menyodorkan sebotol sirup kepada ayahnya. Sebotol sirup pemberian pemilik rumah yang selama ini disimpannya. Ya, Tuhan, wanita yang selama ini dianggap kurang waras, bahkan dianggap gila, sering jadi bahan olok-olok dan tertawaan bahkan caci-maki, ternyata berhati mulia, begitu perhatian dan menyayangi ayahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H