Mau kah kamu menerima ku jadi pac*rku?
Kalimat yang cukup lama tak kudengar (ihhi.. masih ada juga yang naksir)
Hanya senyum simpul yang sanggup untuk membalasnya.
Lalu...
Maaf...
Kamu terlalu complicated. Aku ga siap. Terimakasih.
Aku pun ga mau punya pac*r. Sudah bukan waktuku lagi untuk pac*ran.
Tek tok tek tok (bunyi detik di jam tangan)
Kalaupun aku jawab iya, kapan kamu akan menikahiku?
Aku pun bukan mencari pac*r lagi sebenarnya,
aku butuh pendamping hidup.
Beri aku waktu satu tahun, aku ingin menyelesaikan semuanya.
Menyelesaikan urusanku yang masih tergantung,
aku ga mau kamu terbagi atas semua urusanku yang masih tergantung.
Baiklah... kalau memang begitu, memang benar sebaiknya kita jalan dijalan kita masing - masing
Kamu menyelesaikan semua urusan kamu, sedangkan aku akan sibuk memperbaiki diriku.
Kelak jika suatu hari, kamu sudah selesai dengan urusanmu, kamu datang kembali dan aku belum menikah
itupun jika perasaanku masih bisa menerima kamu.
Mari kita selesaikan ke jalan yang benar (menikah) bukan pac*ran.
Terimakasih.
Hmm.. yaah itulah sebagian dari perjalanan. yang tidak terungkap dalam dialog itu adalah sang perempuan
sebenarnya sudah jera dengan hal yang berbau pac*r. Buang waktu, ga jelas, itu salah besar, dilarang agama,
meskipun sampai sekarang masih banyak hal yang dilarang agama yang dilakukannya,
sebenarnya besar harapan atas lelaki yang menjadi lawan bicaranya tersebut,
namun sayang... hatinya hampir bulat untuk tidak lagi bermain perasaan
kepada lelaki yang belum muhrim. Jika kamu berani dan benar-benar niatmu tulus, datangi orangtuaku,
katakan maksudmu, aku akan ikuti restu orangtuaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H