Dimasa pandemi ini, memaksa mahasiswa untuk melakukan pembelajaran jarak jauh melalui via daring guna untuk meminimalisir terjadinya interaksi fisik demi menanggulangi penyebaran virus covid-19. Semenjak kasus pertama covid-19 masuk di Indonesia, pemerintah membuat kebijakan untuk melakukan kegiatan belajar mengajar dari rumah yang merupakan usaha untuk mencegah penularan virus. Â
Umumnya dosen akan menggunakan berbagai platform daring untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Namun, hal tersebut membuat komunikasi antar mahasiswa dan dosen menjadi terbatas. Tak hanya itu, kegiatan pembelajaran daring ini juga menimbulkan berbagai kendala, misalnya jaringan internet yang tidak memadai, gangguan terhadap perangkat elektronik, kekurangan kouta internet, dan berbagai kendala lainnya.
Kebijakan yang diterapkan dengan tiba-tiba ini  tentunya menimbulkan berbagai polemik yang berdampak langsung khususnya pada mahasiswa baru. Kebijakan ini merupakan pengalaman baru yang dirasakan oleh mahasiswa baru yang menempuh semester-semester pertama dalam dunia perkuliahan. Masa peralihan dari Sekolah Menengah Atas hingga memasuki dunia perkuliahan merupakan hal yang normal dialami oleh mahasiswa baru, akan tetapi masa peralihan tersebut bisa menimbulkan stress dan kecemasan pada mahasiswa karena diiringi dengan perubahan lain (Chafsoh, 2020).Â
Jika mahasiswa baru mengalami kesulitan dalam beradaptasi, maka dapat menyebabkan culture shock. Sedangkan, dalam penerapan kebijakan pembelajaran jarak jauh yang tiba-tiba ini mengharuskan mahasiswa untuk dapat beradaptasi walaupun ditengah keadaan culture shock. Hal inilah yang membuat mahasiswa baru ini menjadi tertekan dan cemas mengingat pengalaman pertama perkuliahan mereka dilakukan dengan berbagai kekurangan. Maka dari itu, sistem pembelajaran daring ini dinilai tidak efektif karena maraknya keluhan dari mahasiswa baru yang masih bingung dengan sistem pembelajaran di perkuliahan.
Dengan keterbatasan komunikasi yang dikarenakan perubahan sistem belajar inilah yang membuat mahasiswa baru sulit untuk beradaptasi dengan materi perkuliahan, kehidupan sosial, dan berbagai hal lainnya didalam dunia perkuliahan, sehingga hal tersebut dapat memunculkan berbagai kecemasan pada mahasiswa baru.Â
Kecemasan-kecemasan tersebut biasanya dipicu oleh deadline penugasan, menumpuknya tugas, kesulitan materi, perasaan takut tidak memahami materi, kekhawatiran akan berbaur dengan teman sekelas, perasaan tidak nyaman dan terancam saat mengharuskan untuk menyalakan kamera dalam proses pembelajaran, serta kecemasan pada hasil akademik nantinya.
Parekh (2017) mengungkapkan kecemasan merupakan respon normal terhadap stress dan dalam keadaan tertentu dapat bermanfaat karena dapat mengingatkan kita akan bahaya dan membantu kita dalam mempersiapkannya nanti. Akan tetapi, kecemasan juga dapat menyebabkan berbagai penyakit jika tidak diatasi dengan baik.
Lalu, mengapa kecemasan ini bisa terjadi?
Kecemasan merupakan dimana keadaan suasana hati individu ditandai dengan ketegangan jasmaniah, sehingga membuat individu mengantisipasi kemungkinan terjadinya keadaan bahaya dikemudian waktu yang disertai dengan perasaan khawatir (Durand, dalam Prawoto, 2010). Kecemasan sendiri dapat melibatkan perasaan, perilaku, dan juga respon fisiologis.
Bishop (2007) sebuah penelitian mengungkapkan proses kecemasan bermula saat terdapat aktivitas pada sebuah sirkuit amigdala-prefrontal yang secara umum mendasari perhatian selektif terhadap ancaman, interpretasi rangsangan emosional, dan perolehan dan pemusnahan ketakutan yang terkondisi. Aktivitas amigdala yang meningkat disertai dengan pengurangan perekrutan prefrontal, membuat tampak membiaskan sistem terhadap tanggapan terkait ancaman. Pada tingkat kognitif ini, dapat dianggap mencerminkan terjadinya peningkatan aktivasi representasi yang terkait pada ancaman dan kegagalan untuk menggunakan pemrosesan yang terkontrol untuk mendukung adanya aktivasi representasi alternatif yang tidak terkait dengan ancaman.Â
Pada tingkat saraf, efek ini bisa dibilang beroperasi melalui pengaruh modulasi yang bersaing pada aktivitas di daerah otak lainnya, bersama dengan pengaruh langsung yang berlawanan dengan downregulation prefrontal dari output amigdala dan modulasi aktivitas prefrontal yang digerakkan oleh amigdala. Bukti awal menunjukkan bahwa bias terhadap amigdala menjadi hiper-responsif, sehingga prefrontal yang kekurangan rekrutmen bisa menjadi karakteristik kecemasan. Bentuk dari ancaman yang dihadapi mahasiswa baru ini merupakan perubahan belajar, keterbatasan interaksi sosial, tugas-tugas perkuliahan, dan target prestasi akademik.