Mohon tunggu...
Tarie Kertodikromo
Tarie Kertodikromo Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja lepas di bidang penulisan, komunikasi, penyelenggaraan event, juga relawan untuk berbagai kegiatan sosial, salah satunya di 1001buku. Kontak lain: FB: Tarie Kertodikromo YM: magicpie2005 Twitter: @mlletarie Blog: http://tariekertodikromo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Membingkai Hati (5)

25 April 2012   13:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

SEORANG lelaki bernama Rama yang direkomendasikan Yeni menerima undanganku bertemu di sebuah restoran di Mal Artha Gading.

Ia memperkenalkan dirinya padaku dan menyampaikan tujuannya menerima tawaran menggantikan pekerjaanku menjaga Mirna.

Rama kini tengah menyelesaikan studi di jenjang Pasca Sarjana dan hendak melakukan penelitian antropologi sosial di daerah prostitusi.

Sebelumnya Rama bekerja di sebuah lembaga riset asing yang juga menangani masalah-masalah sosial. Setelah kuliah S-2 ini selesai, ia akan kembali bekerja di lembaga itu.

Lelaki ini memiliki postur tubuh seperti Galih, tidak setinggi Ariyo namun juga tidak sependek dan segemuk mas Bayu, juga tidak sekurus Andri. Wajahnya juga sekilas setipe dengan Galih dan Andri, tidak setampan Ariyo dan mas Bayu, lebih terkesan hitam manis.

Aku menertawai diriku, mengapa aku membandingkan Rama dengan empat lelaki yang pernah mewarnai hidupku.

“Tugas apa yang harus kulakukan?” tanya Rama membuyarkan lamunan kecilku.

“Tugas pertama adalah menjaga Mirna agardia tidak digoda, disentuh apalagi ditiduri oleh lelaki hidung belang di komplek prostitusi itu. Intinya kamu harus sudah berada di rumah bordil di mana Mirna bekerja sebelum dia datang, dan pastikan kamu memesan tempat pada petugas administrasi agar kamu bisa membawa gadis itu semalaman. Kamu bisa mengajaknya berjalan-jalan ke mal atau restoran, atau ke apartemenku. Paginya kamu antar dia kembali ke rumahnya.”

Rama mengangguk-angguk dan tampak bersemangat. “Tugas yang menantang. Seperti adegan film-film aksi Hollywood.”

Aku tertawa. “Tapi ini tidak ada pengulangan adegan dan tidak ada asuransinya.”

Rama tergelak.

“Selain itu aku mengelola sebuah perpustakaan di dekat komplek prostitusi bersama dua remaja warga kampung itu. Kamu bisa tinggal di sana bila kamu mau, jadi kamu akan lebih sering berinteraksi dengan warga.”

Rama menyetujui tawaranku. Tinggal di daerah itu merupakan ide yang brilian untuk melancarkan penelitiannya.

Siang itu aku langsung mengajak Rama ke Rawamalang. Kubawa ia ke taman baca yang akan dijadikannya tempat tinggal selama melakukan penelitian. Aku menunjukkan kamar satu-satunya yang biasa aku dan Yeni gunakan untuk beristirahat agar ia menempatkan barang-barangnya di sana.

Ia sangat tertarik dengan perpustakaan dan menanyakan bagaimana aku menjalankannya serta respon anak-anak.

“Sejauh ini anak-anak Rawamalang sangat suka membaca,” kataku.Dengan akses buku bagus dan berkualitas yang kusediakan, mereka lebih bersemangat datang dan membaca. Masalahnya adalah terkadang waktu buka perpustakaan berbenturan dengan pekerjaan mereka. Sebagian dari anak-anak di sini bekerja sebagai pemulung dan pembersih makam.

“Apa yang bisa kubantu untuk perpustakaan ini?” tanya Rama.

“Aku sebenarnya butuh relawan untuk merancang dan menjalankan program-program kreatif untuk anak-anak. Karena mereka akan merasa bosan bila tempat ini hanya menyediakan buku tanpa ada kegiatan-kegiatan menarik. Seminggu sekali aku mendongeng untuk mereka, sementara Aufik dan Lusi mengajak mereka menggambar, melipat kertas dan kegiatan kreativitas lain. Kuharap kamu juga bisa membantu mengadakan kegiatan menarik lainnya seperti drama, outbound atau apa pun.”

Rama menyetujui tawaranku. Ia mengaku pernah menjadi relawan di sebuah komunitas di Bogor yang memaksanya berpikir kreatif membuat kegiatan untuk anak-anak.

Aku bernapas lega dengan kehadiran Rama. Pekerjaanku tergantikan di komplek prostitusi dan tugasku di perpustakaan berkurang. Kuharap aku punya lebih banyak waktu untuk menulis dan beristirahat.

Menjelang siang saat anak-anak datang sepulang dari sekolah, Rama sudah mulai mengakrabkan diri dengan mereka. Kulihat beberapa anak usia balita sudah mulai menjadikannya sebuah bukit di mana mereka menyandarkan tubuh dan memanjat dengan kaki mungil mereka. Lelaki itu tampak lebih mencintai anak-anak dan mudah beradaptasi dengan mereka dibandingkan dengan Ariyo, Galih, mas Bayu maupun Andri.

Aku menepuk dahiku pelan setelah menyadari aku telah kembali membandingkan Rama dengan lelaki-lelaki istimewa dalam hidupku.

Aku bertanya-tanya ke arah mana jalannya hati ini, namun tetap saja aku berprinsip untuk tidak mudah mengumbar perasaan yang cenderung mementingkan emosi sesaat.

***

RAMA berjalan beriringan denganku menuju rumah bordil tante Janet di mana Mirna bekerja. Sebelum pukul tujuh malam Rama sudah harus berada di sana, sebelum lelaki lain yang merasa penasaran untuk menyentuh tubuh Mirna memesan tempat untuk bersama gadis itu.

Aku menyodorkan uang seratus ribu sebanyak lima lembar kepada Loli sebagai pembayaran menggunakan paket jasa Mirna semalaman. Untuk satu jam mereka mengenakan biaya lima puluh hingga seratus ribu rupiah. Maka dalam semalam aku dapat membayangkan berapa rupiah yang diperoleh oleh tante Janet. Sementara yang diberikan pada Mirna dan penjaja seks lain hanya seperempatnya.

Penghasilan sekitar dua ratus ribu rupiah sehari bagi para perempuan itu sudah menguntungkan. Tidak pelak lagi profesi ini sangat menjanjikan dan diidamkan oleh remaja-remaja yang dalam mental dan moralnya telah tertanam konsep harga diri yang berbeda dan kesenangan semata.

Fakta ironis terbentang di depan mataku. Aku tak kuasa mencabut akarnya, dan hanya sanggup mematahkan beberapa rantingnya.

Saat Mirna datang, aku memperkenalkannya pada Rama. Mirna tersenyum genit pada lelaki itu. Kemudian kami membawa gadis itu keluar. .

Saat langkah kami menapaki jalan menuju mobilku yang terparkir di seberang kali, Mirna tak melepas genggamannya pada tangan Rama yang terlihat risih dengan sikap gadis itu.

“Mir, Rama ini temanku. Dia yang akan menggantikan tugasku setiap malam menemani kamu,” kataku pada Mirna yang duduk di kursi belakang ketika kami berada di dalam mobil.

Mirna berseru kegirangan, “jadi bukan Kak Tiara lagi yang temani aku? Terima kasih, Kak Rama.” Gadis itu menyentuh bahu Rama yang tengah menyetir. “Aku bosan setiap malam pergi dengan Kak Tiara.”

“Oh begitu ya?” seruku sambil melotot ke arahnya, “sudah ada Rama, kamu bilang begitu.”

Mirna tertawa. “Bila yang temani aku cowok seganteng kak Rama, aku senang sekali.”

“Jika Rama temani kamu setiap hari, tapi kamu tidak harus datang ke tempat tante Janet, kamu mau?” tanyaku memancing.

“Tapi aku tidak bisa keluar begitu saja dari sana. Saat aku meminta pekerjaan pada tante Janet, dia mengajukan syarat bahwa aku tidak boleh keluar sesukaku. Setidaknya aku harus bekerja di sana minimal enam bulan, bila mungkin satu tahun. Karena dia bilang, citra rumah bordilnya bisa rusak bila pegawainya sering berganti.”

Aku tertawa. Ternyata rumah bordil juga mementingkan citra. “Jadi aku masih harus mengeluarkan uang hingga lima bulan ke depan?” seruku seraya menepuk dahi, “bangkrut aku, Mir.”

Rama dan Mirna tergelak.

“Tapi nanti aku coba tanyakan tante Janet. Yang jelas aku harus mencari pengganti dulu, baru bisa keluar.”

Mobilku mengarah ke sebuah restoran di bilangan Sunter. Kami menikmati malam bersama sambil menyantap hidangan penggoda selera.

Aku tersenyum geli melihat bagaimana Mirna memperlakukan Rama seperti pelanggannya, sehingga aku harus sering mengingatkan gadis itu bahwa hubungan yang mereka miliki bukanlah seperti itu. Kurasa ia terlalu menyerap tips-tips dan wejangan yang diberikan tante Janet untuk menjadi penjual diri yang baik.

Rama dengan jengah menerima kemesraan yang diberikan Mirna kepadanya. Ia menatapku dengan sejuta tanya, meminta saranku bagaimana ia harus bersikap. Terkadang aku hanya melemparkan tawa mencandainya, namun jika Mirna bersikap terlalu berlebihan aku menegur gadis itu.

***

SETIAP malam dengan menyamarkan diri, mengenakan jaket dan kacamata hitam, Rama menemui Mirna di tempat kerjanya. Ia tidak ingin warga melihatnya di tempat itu sebagai salah satu relawan di taman baca, karena akan mengundang tanya dari banyak orang mengapa ia melakukan hal yang bertentangan satu sama lain.

Terkadang Rama hanya mengobrol atau mengajak Mirna makan di luar, atau pergi ke apartemenku agar Mirna dapat beristirahat.

Waktu berlalu dengan cepat dan rutinitas ini dijalani Rama dengan mudahnya. Ia sudah mulai beradaptasi dengan suasana lokasi prostitusi dan perempuan-perempuan yang kerap kali menggodanya, juga sikap Mirna yang terkesan sebagai wanita simpanannya.

Suatu malam saat Mirna tidur di kamar tamu apartemenku,aku menghabiskan malam bersama Rama di balkon, menikmati teh hangat dengan kayumanis dan roti bakar berisi coklat leleh.

Rama mengunyah potongan roti kedua dan menyeruput teh yang hampir habis. “Nikmat sekali,” ucapnya, “aku lebih senang seperti ini, mengobrol bersama kamu.”

Aku tertawa. “Memangnya selama ini bagaimana?”

“Aku hanya menjalankan pekerjaanku untuk menemani Mirna. Terus terang aku tidak bisa beradaptasi dengannya. Aku takut sikapku salah diartikan olehnya. Aku sendiri bingung bagaimana aku memperlakukannya.”

Kukatakan padanya untuk bersikap biasa saja seperti kepada teman, sama seperti sikapnya kepadaku dan remaja-remaja lain yang sering datang ke taman baca.

“Mirna memperlakukanku seperti aku ini kekasihnya,” kata Rama.

“Ya, aku tahu. Dia mungkin masih terbawa suasana komplek. Aku sudah sering menasihatinya untuk tidak berlaku seperti itu, tapi dia hanya remaja yang polos yang mengikuti nalurinya.”

“Sampai kapan aku melakukan ini, Tiara?”

“Sampai kamu bosan,” kataku sambil tertawa, “aku tidak tahu, Ram. Mungkin dua atau tiga bulan ke depan.”

Rama tampak tertekan dengan jawaban dariku. “Tiga bulan lagi aku sudah harus menyelesaikan penelitianku dan mempresentasikannya.”

“Baiklah, sampai penelitian kamu selesai.”

Lelaki itu mengusap dadanya, menunjukkan kelegaan.

“Kupikir kamu menikmati kebersamaanmu dengan Mirna.”

“Maksud kamu?”

“Ya, kamu tahu bagaimana laki-laki bila disodorkan kemesraan oleh gadis muda seseksi dia.”

Rama tertawa. “Ya, ya. Sebagai laki-laki normal, dia memang sangat menggoda. Tapi aku harus mengendalikan diriku dan ingat bahwa aku bertugas menjaganya.”

“Pintar sekali. Karena aku memang memberikan pekerjaan ini pada lelaki baik-baik yang bisa kupercaya. Bukan lelaki hidung belang, kucing garong atau keong racun yang akan memanfaatkan kesempatan dalam keluasan.”

Kami sama-sama tergelak dengan istilah lelaki yang kuambil dari judul-judul lagu dangdut.

“Aku ingin Mirna kembali ke sekolah. Aku yakin dia akan menuruti nasihat kamu. Aku ingin pola pikirnya berubah agar dia tidak meneruskan tradisi keluarga dan lingkungannya, mencari penghasilan dengan tubuh mereka, karena hanya itu yang mereka dapat gunakan. Aku ingin Mirna dan remaja-remaja lain punya keterampilan yang bisa mereka pakai untuk mencari uang.”

Rama mengangguk-anggukan kepalanya. Ia mengatakan akan berusaha semaksimal mungkin memperlakukan Mirna dengan baik dan sabar. Terakhir ia katakan bahwa ia akan dengan senang hati melakukannya karena aku yang memintanya.

***

RAMA mulai mengeluhkan sikap Mirna yang semakin manja padanya. Ia takut gadis itu benar-benar jatuh cinta.

”Kurasa wajar jika dia jatuh cinta pada kamu. Seharusnya kamu juga bisa menyukainya. Dia cantik.”

”Tapi aku tidak suka padanya. Aku hanya menganggapnya sebagai adik.”

”Kurasa dia memang butuh orang seperti kamu. Tidak ada salahnya bukan?”

”Hei, dia baru masuk kelas satu SMU. Lagipula aku mencintai perempuan lain?”

”Oh ya? Siapa?”

”Seorang wanita cantik berhati malaikat. Aku benar-benar terpikat oleh kejernihan hatinya. Jiwa sosialnya dan empatinya yang tinggi pada orang di sekitarnya membuat dia lebih sempurna. Tapi kurasa dia tidak memiliki sedikit perasaan pun padaku.”

”Kamu bicara tentang siapa?”

”Aku bicara tentang wanita yang kini ada di depanku. Kamu, Tiara.”

Aku menunduk sesaat, menyembunyikan pipiku yang bersemu merah muda. Sedari tadi aku sebenarnya tahu ke mana arah kata-kata yang terlontar dari bibir lelaki itu.

“Aku jatuh cinta padamu, Tiara.”

Aku mendesah pelan. Beberapa bulan ini aku memang tak banyak bergaul dan melakukan kegiatan dengan lelaki. Setelah hubunganku dengan Alfian kandas sesuai keinginanku, kemudian bertemu kembali dengan mas Bayu, baru dua bulan belakangan ini melakukan banyak hal bersama Rama untuk menyelamatkan Mirna, lelaki itu sudah jatuh cinta padaku.

“Aku tak tahu bagaimana harus menjawabnya. Aku bukanlah tipe wanita yang mudah jatuh cinta. Romansa adalah nomor kesekian dalam hdupku, setelah menulis dan melakukan kegiatan sosial. Aku pernah sangat jatuh cinta pada seseorang di masa lalu. Dia cinta pertamaku dan seperti kisah-kisah dongeng, seorang putri selalu berharap mendapatkan cinta pangeran pujaan hatinya.

Namun dalam perjalanan kisah cinta itu, aku belajar mengenai artinya cinta sejati. Bahwa cinta tidak harus memiliki secara fisik, itu memang benar kualami. Namun cinta adalah sesuatu yang dapat ditoleransi, sehingga kita boleh memiliki hati orang yang kita cintai meskipun orang itu harus hidup bersama yang lain. Saat manusia tidak lagi punya daya untuk mengatur cinta, maka tangan Tuhan yang menggerakkannya ke mana cinta harus dilabuhkan.”

Kata-kata yang kuucapkan merupakan gambaran cintaku pada Ariyo, bagaimana ia memilih Kirana dan bagaimana ketika harus pergi ia menitipkan Arya, sebagai pemilik cinta sejati yang tak pernah diberikannya padaku selama hidupnya.

“Aku juga pernah sangat dicintai,” lanjutku, “dan benar-benar ditempatkan pada posisi penerima cinta sejati dengan segala pengorbanan untukku. Dengan cinta itu aku belajar hal yang sama, bahwa lagi-lagi cinta tidak harus memiliki secara fisik. Namun cinta mampu membuatmu bersikap lebih dewasa dan ikhlas.”

Itu adalah gambaran cinta yang kualami bersama Galih. Saat ia memilih untuk hidup bersama orang lain karena waktu tak juga menjawab cintanya padaku, kini aku yang merelakan diriku menerima karma dari apa yang kuperbuat. Aku rela membayar kesalahanku tak pernah memberikan cinta dengan kadar yang sama pada Galih, dengan terus mengenangnya dan membiarkan diriku larut dalam segala penyesalan.

“Kamu telah menemukan cinta sejati dengan dua versi berbeda,” ucap Rama.Kuharap kamu tidak menutup diri jika suatu saat kamu kembali menemukan cinta sejati dengan versi yang lain, saling mencintai dan berjodoh dalam satu ikatan pernikahan.”

Aku terdiam. Aku mengamini kata-katanya. Namun demikian, aku tak memungkiri bahwa hatiku sebenarnya telah membeku dan mati sejak aku harus mengubur cintaku pada Ariyo. Sejak itu aku tak pernah mampu mencintai seorang lelaki terlebih dahulu atau setidaknya membalas dengan ukuran yang sama. Yang terjadi adalah saat aku mulai belajar mencintai dengan tulus, semuanya telah terlambat.

“Baiklah, Tiara,” kata Rama lagi. ”Jika ini terlalu cepat untukmu. Mungkin kita biarkan rasa ini mengalir saja hingga suatu saat kita akan menyadari apakah ini benar-benar cinta sejati. Kamu benar, saat kita tidak punya daya menguasai cinta, tangan Tuhan lebih tahu di mana meletakkannya.”

Aku tersenyum dan mengangguk. Kata-kata yang sangat bijak.

”Soal Mirna, bantu aku mengatasi sikapnya. Dia masih labil, dan aku takut salah bersikap padanya dan malah menyakitinya,” kata Rama lagi.

”Tentu saja. Kita harus bimbing dia agar pola pikirnya berubah.”

Kami saling bertatapan mencari kekuatan dari lawan bicara kami masing-masing, meyakinkan diri apakah kami benar-benar ingin melanjutkan perjuangan ini. Aku mengalihkan pandanganku pada langit malam, sementara kutahu Rama masih terus memandangiku.

***

KULIHAT keceriaan terpancar di wajah Mirna. Ia kembali ke sekolah berkat nasihat yang Rama sampaikan padanya. Tidak masalah apakah ia melakukannya karena ingin membuktikan cintanya pada lelaki itu atau ia memang merasa harus mengubah nasibnya kelak.

Kini ia semakin giat pergi ke sekolah, menghabiskan waktu di perpustakaan dan tak lagi berniat menjual dirinya. Semua perubahan pada dirinya dikarenakan ia sangat menikmati kebersamaannya dengan Rama.

Ia mengambil tawaranku sebelumnya untuk menggantikan Nadia, membantu pengelolaan perpustakaan. Namun tugasnya lebih banyak dari tugas Nadia, karena Mirna juga harus menggantikan posisi yang sebelumnya ditempati Yeni. Sementara aku hanya sebagai pemantau saja dan Rama membantu dalam pelaksanaan program-program taman baca.

Mirna dengan sukacita melakukan pekerjaannya, karena Rama selalu bersamanya. Meskipun selalu bersikap sabar menghadapi kelabilan gadis itu, Rama sering mengeluhkan sikap Mirna yang terlalu berlebihan padaku. Aku selalu menasihati lelaki itu untuk lebih sabar, suatu saat gadis itu akan tumbuh dewasa dan mengerti bagaimana menyikapi cinta dan mengendalikan perasaannya.

Rama sendiri terkadang tak mampu mengendalikan perasaan cintanya padaku. Ia tak bisa menyembunyikannya dariku, juga dari Mirna. Saat kami menghabiskan waktu bertiga, baik dalam kegiatan taman baca atau sedikit bersenang-senang di luar untuk makan atau nonton film,ia memperlihatkan perhatian khusus padaku. Cara bicaranya yang lebih lembut kepadaku daripada kepada yang lain, mendahulukan kepentinganku daripada yang dirinya dan yang lain, semua terlihat jelas tanpa ada yang tersenyembunyi.

Semakin sering melihatnya, maka semakin merasa cemburu Mirna padaku. Tatapannya yang terkadang menusuk jantungku dan cara bicaranya yang tajam membuatku salah tingkah. Semakin lama kutahu ada yang tak beres dan harus dibenahi.

“Kamu marah padaku, Mirna?” tanyaku.

Mirna menggeleng.

“Tidak ada gunanya berusaha menyembunyikan kemarahanmu, karena kamu tak mampu. Aku bisa lihat kamu cemburu padaku.”

Mirna terkesiap dengan perkataanku, wajahnya memerah.

“Aku dan Rama hanya teman, kuharap itu bisa membuatmu lebih lega. Jika kamu menyukainya, kamu harus tunjukkan kepadanya bahwa kamu memang layak mendapatkan cintanya,”

Kukatakan padanya, bahwa jangan pernah berpikir untuk memaksakan cinta, karena terkadang cinta yang mengendalikan kita, bukan sebaliknya. Terkadang cinta juga harus diperjuangkan, namun sebenarnya dia lebih tahu menempatkan diri.

“Aku suka pada kak Rama,” ucap Mirna mengaku.

”Siapa yang tidak tahu..Kamu menunjukkannya terlalu jelas.”

Ia tertawa. ”Aku hanya ingin dia tahu perasaanku.”

”Dan kamu ingin dia membalasnya?”

Mirna tersenyum malu-malu dan mengangguk.

“Itu wajar saja dan mungkin terjadi,” kataku lagi, “tapi kamu juga harus siap bila hasilnya sebaliknya. Jika dia laki-laki yang senang bermain-main dengan perempuan, dia langsung saja pura-pura menerima cintamu dan mendapatkan tubuhmu. Tapi apa yang dia lakukan selama ini? Menjagamu dan tidak menyentuh sedikit pun, meskipun dalam hati kecil kamu, sebenarnya kamu ingin dia melakukan sebaliknya bukan?”

”Apa yang harus kulakukan, Kak?”

”Kamu boleh tunjukkan perhatian dan cintamu, tapi tak usah berlebihan. Kamu juga tak perlu tunjukkan pada semua orang bahwa kamu menyukainya, cukup hanya dia dan aku yang tahu. Artinya kamu harus menjaga sikap. Rama sudah cukup dewasa menanggapinya. Tenanglah, kalau jodoh tak akan ke mana. Itu pepatah kuno, tapi terbukti benar.”

”Aku selalu memikirkannya setiap detik.”

”Alihkan pikiran itu dengan membuat diri kamu lebih sibuk, jadi tidak sempat memikirkannya.”

Mirna mengangguk-angguk.

Aku hanya tersenyum memandangi wajah polos itu. Aku hanya dapat memberikan nasihat, sebenarnya tidak mudah melaksanakannya saat kita sedang dirundung cinta mendalam. Aku teringat bagaimana aku mencintai Ariyo sedemikian rupa dan berusaha menahan diri untuk menunjukkannya selain sebagai sahabat kecilnya.

Namun waktu adalah penolong terbaik, hingga akhirnya aku mampu menerima kenyataan bahwa mencintainya cukup dengan hati dan cinta kami memang abadi hingga kini, saat kami telah hidup di dua dunia berbeda.

***

SABTU malam yang cerah. Aku tengah berada di pinggir pantai, masih di kawasan apartemen tempatku tinggal, menikmati semilir angin laut dan memandangi pendar bintang di langit yang ramah.

Aku sengaja menyendiri malam ini. Kubiarkan Rama menemani Mirna yang ingin menonton film dan makan malam bersama lelaki itu, hal yang tak sering lagi dilakukan karena kami selalu pergi bertiga setelah Mirna memutuskan berhenti melacur.

Aku berkutat dengan laptop miniku yang selalu menemaniku ke mana pun aku pergi. Kucurahkan semua rasa dalam tulisan-tulisanku. Aku tengah menggarap novel terbaruku mengenai perjalananku di Rawamalang. Aku ingin menggugah hati orang-orang yang membaca bukuku bahwa ada kehidupan lain yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh mereka. Bahwa betapa batas antara moral dan kebutuhan perut hanya setipis kelambu. Bahwa penjualan alat kelamin terjadi hanya beberapa meter dari tempat bermain anak-anak. Bahwa pendidikan hanya dijadikan opsi kedua setelah mereka mendapat cukup pasokan sembako setiap harinya. Bahwa sekolah tidak penting bagi remaja perempuan karena cepat atau lambat remaja perempuan akan meneruskan pekerjaan ibu mereka sebagai pelacur.

Novel ini akan membuka mata publik bahwa perjuangan menuntaskan kebodohan dan kemiskinan bukan hanya tugas pemerintah atau relawan dan aktivis pendidikan, namun juga membutuhkan peran serta mereka.

Setidaknya di balik petualangan dan pengobananku di kampung itu, ada yang patut kusyukuri, bahwa aku mendapatkan begitu banyak inspirasi untuk menulis.

Tiba-tiba telepon selularku berdering memperdengarkan lagu ”This One for The Children” melalui suara New Kids on The Block, boyband masa lampau yang kugemari saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar.

Suara Rama terdengar resah. Ia ingin menemuiku secepatnya. Kuminta ia segera datang ke tempatku kini berada.

”Ada apa, Ram? Kamu seperti baru melihat hantu,” tanyaku pada Rama yang berdiri mematung.

Ia berdecak menyuarakan kekesalannya. ”Aku pergi dengan Mirna tadi, nonton dan makan malam.”

”Aku tahu. Bagaimana kencanmu?”

”Bercanda kamu. Ini yang membuatku jengkel. Tadi saat kami makan malam, dia menyatakan cintanya padaku.”

Aku tertawa keras. Aku tak percaya seorang perempuan melakukan itu. Tapi itu hal yang wajar bila Mirna yang melakukannya.

”Apa jawaban kamu padanya?” tanyaku penasaran.

”Jelas aku menolaknya. Ayolah, mana mungkin aku berpacaran dengan anak bau kencur. Kukatakan aku hanya menganggapnya sebagai adik. Tapi kamu tahu apa yang dikatakannya?”

”Apa?”

”Sambil menangis dia mengancamku akan kembali jadi pelacur bila aku tidak mau jadi kekasihnya.”

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Ada-ada saja tingkah gadis itu.

”Cobalah kamu bicara padanya. Aku capek terus bersandiwara di depannya, berpura-pura menyayanginya.”

”Kita memang sayang padanya, Ram.”

”Ya, tentu saja sayang, seperti aku menyayangi anak-anak lain.”

Kukatakan aku akan mencoba bicara pada Mirna agar gadis itu mengerti. Kuraih telepon selularku dan mulai mengajak gadis itu bicara.

”Pasti Kak Rama datang ke tempat Kak Tiara dan cerita tentang apa yang terjadi tadi,” ucapnya ketus.

”Ya. Sekarang Kak Tiara ingin tanya bagaimana perasaanmu.”

”Sedih.”

”Jika Rama tidak ingin menjadi kekasihmu, itu bukan karena dia tidak mencintai kamu. Tapi dia lebih mencintaimu sebagai seorang kakak kepada adiknya. Bahkan melebihi dari cintanya pada anak-anak Rawamalang lain”

”Tapi tidak seperti cintanya pada Kak Tiara.”

Aku terkesiap, menerka apa yang dibacanya dari hubunganku dengan Rama. ”Kamu salah mengira. Cintanya pada kamu sama dengan cintanya pada Kak Tiara. Cinta seorang sahabat.”

”Bohong. Kak Tiara hanya ingin menghiburku.”

”Ayolah, jangan cengeng seperti itu. Kamu bisa dapatkan kekasih yang lebih ganteng dari Rama. Kamu cantik dan pintar. Kamu akan ditertawakan oleh teman-teman kamu bila berpacaran dengan Rama. Dia tampak seperti om-om bila berjalan denganmu.”

Kami tergelak.

”Nanti kamu dikira jalan dengan om senang loh,” kataku menggodanya.

”Itu tidak penting, Kak. Mereka berpikir lebih buruk dari itu. Mereka tahu bahwa aku pernah melacur.”

Aku mendesah. Entah kata-kata apa yang mujarab mengubah perasaan dan harapannya pada Rama.

”Jadi apa yang kamu mau?”

”Aku ingin kak Rama jadi kekasihku.”

”Bila dia tidak mau?”

”Lebih baik aku tidak bertemu dengannya lagi. Aku akan kembali bekerja di tempat tante Janet. Memang tidak ada yang mencintaiku. Semua laki-laki sama saja, tidak mengerti perasaan perempuan. Aku sangat mencintai kak Rama, tapi mengapa ini seperti sebuah kejahatan.”

Isak tangis terdengar pelan di telingaku. Aku tak tega menyaksikan seseorang menangis dan menderita karena cinta. Bagaimanapun aku pernah mengalaminya, yang kuyakin juga dialami oleh sebagian besar wanita. Mencintai seorang lelaki, namun cintanya terkesan sebagai dosa yang harus disembunyikan.

”Kamu yakin benar-benar mencintai Rama?”

”Iya. Kak Tiara tahu sebelum bertemu kak Rama, aku sedang patah hati karena Damar. Setelah bertemu kak Rama aku merasakan semangat dan harapanku bangkit lagi. Kak Rama adalah laki-laki yang pintar, baik dan sopan. Damar tidak ada apa-apanya dibandingkan dengannya.”

Kukatakan tentu saja mereka berbeda karena usia di antara mereka yang tepaut jauh. Rama telah belajar banyak hal tentang hidup, yang belum diketahui oleh Damar.

”Karena itulah, Kak. Aku suka dengan laki-laki dewasa. Aku merindukan sosok seorang bapak, dan aku temukan pada kak Rama.”

Aku menghela napas. Ucapan Mirna menyentuh hatiku. Gadis itu memang sejak kecil tak pernah merasakan kehangatan seorang ayah. Sama sepertiku, bedanya aku mendapatkan kasih sayang yang sama dari ayah Ariyo yang menganggapku sebagai anaknya sendiri, sementara papaku telah menikah lagi dan meninggalkanku dan mama sebelum aku genap berusia dua tahun.

”Baiklah, Mirna. Aku sangat mengerti perasaan kamu. Aku juga pernah merasakan hal yang sama, tapi saat itu aku memilih memendam perasaanku pada laki-laki itu dan membiarkannya mencintaiku hanya sebagai kakak kepada adiknya.”

”Tapi aku tidak bisa, Kak. Aku terlanjur mencintainya.”

Bibirku kelu, tak mampu lagi bicara membalas kata-kata seorang remaja perempuan yang tengah kasmaran. Tetap saja omonganku salah di matanya dan dianggap tak mampu memahami perasaannya.

Kuakhiri pembicaraanku dengan Mirna dan kuminta ia untuk beristirahat sejenak. Kukatakan aku ingin bertemu dengannya besok di taman baca.

Aku beralih pada Rama dan membentangkan kedua tanganku mengharapkan jawaban darinya. Lelaki itu menggeleng keras.

”Tidak mau melakukannya untukku?” tanyaku memancing.

”Kumohon jangan paksa aku.”

”Aku tidak memaksamu, Ram. Aku memohon padamu.”

”Bagaimana aku bisa menolak permintaanmu, Tiara?

”Kalau begitu, jangan menolaknya.”

Rama menggeram, mengepalkan tangan kanannya dan mengadunya dengan telapak tangan kirinya.

”Jangan lakukan bila kamu tidak mau. Aku tidak ingin kamu terpaksa lakukan ini karena aku.”

”Bagaimana mungkin aku lakukan jika bukan karena kamu? Aku tidak punya pilihan lain untuk menolaknya bukan?”

Aku tersenyum ke arah lelaki itu. Menatap matanya dan mencoba menaklukkan hatinya sedikit agar mampu meredam egonya.

”Baiklah,” ucap Rama akhirnya, ”tapi aku harus pergi saat penelitianku selesai. Aku bisa gila menghadapi gadis itu.”

”Ya, ya. Kamu boleh pergi setelah itu kalau kamu memang tidak peduli pada anak-anak taman baca. Aku sudah terbiasa ditinggal oleh relawan-relawan lain dan akhirnya harus mengurus anak-anak sendiri.”

Saat aku membantu di sebuah rumah singgah di Pasar Senen, di mana Arya ditemukan setelah menghilang pertama kali, aku juga akhirnya ditinggal pergi oleh relawan-relawan lain yang bekerja sebelum aku datang. Sepertinya rumah singgah itu hanya sebuah proyek sementara dan mereka berhak meninggalkan dan menelantarkannya.

”Aku sebenarnya tidak ingin meninggalkanmu, Tiara. Tapi aku takut hal ini akan berulang lagi dan lagi. Setelah aku jadi kekasihnya, nanti saat kita putus, dia bisa saja mengancam akan kembali melacur,” ucap Rama.

Aku menganggap kata-katanya benar juga.

Aku tertawa. ”Kurasa dia akan melakukan hal yang sama untuk memaksamu menikahinya,” kataku mencandainya.

Rama melotot ke arahku. Kemudian menghela napas. ”Itu akan terjadi, Tiara. Itu yang kutakutkan.”

Masih dengan tawaku aku berucap, ”sebelum kamu pergi kita harus cari lelaki baik lain untuk menggantikanmu. Syaratnya dia harus tampan dan pintar sepertimu.”

Rama menyambut tawaku. ”Terima kasih. Aku tahu sebenarnya kamu hanya ingin memujiku. Aku memang tampan dan pintar.”

Aku melempar saputanganku, benda terdekat yang kujangkau ke arah lelaki itu. Ia mengelak dengan tangannya menutupi wajah.

Kami sama-sama tertawa.

***

ESOKNYA aku dan Rama bertemu dengan Mirna dan kubiarkan lelaki itu menyampaikan kabar baik, bahwa Rama bersedia menerima cinta gadis itu.

Maka resmilah Rama menjadi kekasih Mirna. Kulihat kebahagiaan yang tak pernah tampak sebelumnya. Kini ia lebih bebas memanggil Rama dengan sebutan sayang dan menunjukkan rasa cintanya dengan bahasa tubuhnya. Saat ada aku pun gadis itu berani mengecup pipi Rama saat bertemu atau berpisah. Aku sangat mengerti konsep berpacaran yang ada dalam pikirannya yang tertanam sejak ia tumbuh di lingkungan prostitusi.

”Kuatkan imanmu, Ram,” candaku pada Rama, ”dia mungkin akan meminta hal yang lebih.”

”Jangan salahkan aku bila hal itu terjadi ya. Bagaimana pun aku laki-laki.”

”Siapa bilang kamu banci? Tidak ada alasan ya, Ram. Kamu tidak boleh menyentuhnya seujung rambut pun.”

”Kalau dia yang menyentuhku bagaimana, Tiara?”

Aku menggeram. ”No sex, ok?!Aku yakin kamu tahu batas.”

Rama mengelus-elus dadanya menunjukkan bahwa ia harus bersabar dan menambah keimanannnya.

***

HARI Minggu ini aku berencana mengajak Ridho dan teman-temannya ke Dunia Fantasi dan kami berjanji bertemu di taman baca pukul enam pagi.

Rumah itu masih sepi, kurasa Rama masih terlelap tidur. Saat kuketahui pintu tak terkunci, aku langsung membukanya dan memanggil nama Rama dengan suara pelan, takut mengganggu tidurnya.

Biasanya bila aku datang dan waktu telah bergeser ke hampir pukul sembilan, waktunya perpustakaan dibuka, aku akan berteriak dan membangunkannya dengan tiba-tiba.

Aku masih memanggil namanya sambil membuka pintu kamar di mana dia tidur. Aku tersentak melihat bahwa ia tidak tidur sendiri. Ada seorang gadis di sampingnya.

”Rama!!!” teriakku gusar, ”apa yang kamu lakukan?”

Rama terjaga, juga gadis di sampingnya. Mereka terkejut melihat kedatanganku.

”Mirna!!! Mengapa kamu tidur di sini? Kamu seharusnya ada di rumah bibimu,” ucapku pada gadis di samping Rama yang tubuhnya terlihat tak mengenakan pakaian, hanya tertutup selimut.

Aku menarik lengan Rama dan mengajaknya keluar.

”Apa maksud semua ini, Ram? Ini baru terjadi satu kali atau kamu membohongiku selama ini? Ini bukan yang pertama kan?” tanyaku.

”Aku bersumpah baru kali ini, Tiara. Dia membuatku mabuk semalam. Dia mengajakku ke warung minuman dan memaksaku minum. Aku tidak tahu apa yang diberikannya padaku. Aku tidak ingat apa-apa setelah itu. Aku tidak sadar melakukannya, Tiara,” kata Rama membela diri.

”Omong kosong!”

”Percaya aku, Tiara. Aku benar-benar tidak sadar semalam.”

Aku mendekat ke arah wajah dan tubuh Rama, masih tercium aroma minuman keras dari sekitar wajahnya.

”Aku tidak tahu harus berkata apa lagi, Rama. Jika dia hamil, aku tidak bisa berbuat apa-apa dan kamu harus menikahinya.”

Rama menggeram keras sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya kemudian memegangi kepalanya yang seperti hendak pecah.

”Ini salahmu, Tiara!” ucapnya keras.Kamu yang memaksaku berpacaran dengannya. Kamu tahu, aku lakukan ini untuk kamu. Karena aku mencintai kamu.”

Saat ucapan Rama terhenti, seketika itu pula Mirna keluar dari kamar setelah berpakaian.

”Jadi Kak Rama hanya berpura-pura mencintaiku? Kakak tidak pernah mencintaiku? Kakak berpacaran denganku karena terpaksa?” tanya Mirna berteriak-teriak.

Rama masih menyandar di dinding dan tidak memberikan jawaban apa pun. Aku tahu ia tak tega mengatakan yang sebenarnya.

Mirna terus berteriak-teriak sambil menggoncangkan tubuh Rama dan berusaha mengerahkan pukulannya pada lelaki itu. Rama hanya diam.

Aku merasa tak tega melihat Rama diperlakukan seperti itu. Aku menarik tubuh Mirna ke belakang dengan keras.

“Cukup! Kamu tidak pantas memukuli Rama seperti itu. Dia tidak bersalah sama sekali. Kamu yang membuatnya mabuk dan tidak sadar berhubungan badan dengan kamu,” kataku gusar, ”dia memang tidak pernah mencintai kamu, aku yang memaksanya menerima cinta kamu, karena kamu selalu mengancam untuk kembali melacur bila permintaan kamu tidak dipenuhi. Aku dan Rama bisa saja tidak peduli pada nasib kamu, tapi sebaliknya kami sangat peduli. Aku merasa sangat berdosa membiarkan seorang remaja melacurkan diri di saat aku bisa mencegahnya.”

Mirna menangis keras mendengar penjelasanku. Ia tak kuasa menahan rasa kesal dan malunya, tanpa berkata apa-apa lagi ia menjejakkan kakinya ke luar.

Aku hanya menatap sisa bayangan punggung Mirna yang kemudian menghilang. Kini kupandangi sosok lelaki di hadapanku yang wajah penuh tekanan. Ia tak kuasa menahan bobot tubuhnya dan menjatuhkan diri, terduduk di lantai. Ia menangisi apa yang telah terjadi. Seperti seorang perempuan muda yang baru kehilangan keperawanannya.

”Aku telah melakukan zina, ampuni aku, Tuhan,” ucapnya dengan suara parau. ”Aku tidak pernah ingin melakukan ini sebelum waktunya. Aku ingin lakukan dengan orang yang kucintai, bukan dengan seorang mantan pelacur...”

Ucapan Rama menusuk hatiku, sangat tajam. Aku mendekatkan diri ke arahnya. ”Jangan bicara seperti itu, Rama. Maafkan aku. Maafkan,” kataku seraya memberikan pelukan hangat padanya.

Kami saling berbagi tangis.

***

SEJAK itu kami tak pernah mendengar kabar mengenai Mirna. Ia seperti menghilang ditelan bumi. Aku dan Rama tak mencarinya, bahkan tak berusaha mencari tahu mengenai keberadaannya di lokasi prostitusi. Kami hanya tahu bahwa Mirna sudah tak tinggal bersama bibinya di Rawamalang.

Aku selalu mensyukuri siapa pun yang pergi dari kampung ini, terutama dari lokasi pelacuran, meskipun nasib mereka belum jelas di luar sana. Itulah mengapa aku tak berniat mencari Nadia atau Mirna yang telah pergi. Saat mereka tak ada di hadapanku, aku tak perlu melakukan pengorbanan apa pun untuk menyelamatkan mereka, seperti yang telah kulakukan saat mereka masih tinggal di sini.

Sebulan berlalu. Rama sudah mengumpulkan cukup data dari warga dan sedang menuangkannya dalam tulisan. Sebulan lagi ia sudah harus maju untuk mempertahankan thesisnya.

Di tengah kesibukannya ia merasa cemas jika tiba-tiba Mirna datang meminta pertanggungjawabannya bila gadis itu hamil. Ia seringkali melontarkan kekhawatiran itu yang kubalas dengan bercanda dengan berucap, “kita tunggu saja. Bila dalam minggu ini tidak ada kabar kehamilannya, mungkin sembilan bulan lagi bayi itu ditaruhnya di depan rumah ini.”

Candaku malah membuatnya semakin tertekan.

“Tenang saja, Ram. Aku yang akan merawat bayi itu bila itu benar-benar terjadi,” ucapku sambil tertawa.

Seiring waktu hubunganku dengan Rama semakin dekat. Sejak ia kehilangan kelajangannya karena Mirna, aku menaruh simpati padanya. Kuketahui bahwa ia adalah lelaki yang jujur dan bertanggung jawab, bukan lelaki hidung belang yang memanfaatkan kesempatan dalam keleluasaan apalagi kesempitan.

Namun simpati saja tak cukup untuk mendapatkan hatiku. Galih benar-benar merebut seluruh hatiku setelah ia mengorbankan keselamatannya demi mendapatkan apa yang kuinginkan. Ia harus kehilangan satu kakinya karena melakukan perjalanan berisiko untuk mencari anak angkatku. Entahlah apa yang akan terjadi pada hubunganku dengan Rama, apakah ada yang mampu diperbuatnya untuk membuatku jatuh cinta.

Belakangan ini ia merasa sedih, karena waktu terus berjalan dan setelah thesisnya selesai ia harus kembali bekerja di lembaga riset asing, di mana ia pernah bekerja sebelumnya, setelah lulus sarjana hingga ia melanjutkan kuliah tingkat pasca sarjana.

”Aku akan sangat merindukanmu, Tiara,” ucapnya terus terang.

Kukatakan kami masih akan bertemu lagi suatu saat nanti, dan masih ada waktu satu bulan dari sekarang untuk bersama.

”Apa rencanamu ke depan, Tiara?” tanyanya.

Aku tertawa. ”Aku tak pernah punya rencana, Ram. Aku menjalani hidup yang terbentang di hadapanku saja.”

”Asyik benar hidupmu. Karena kamu telah punya segalanya, jadi kamu tidak perlu buat rencana untuk melanjutkan hidup.”

”Kamu salah. Aku tidak merasa punya segalanya. Tentu saja aku punya mimpi, tapi mimpiku sangat universal dan bisa dilakukan di mana pun dan kapan pun.”

Rama menanyakan apa mimpiku.

”Aku ingin menulis banyak cerita yang memberi pesan moral pada semua orang, aku ingin anak-anak Indonesia menjadi generasi yang cerdas dan mulia, aku ingin membawa perubahan ke arah yang lebih baik pada masyarakat di mana pun aku berada, aku ingin kembali pada Sang Pemilik Hidup dalam keadaan melakukan kebaikan dan aku ingin hidup abadi di surga bersama orang-orang yang kucintai.”

Rama terpaku mendengar keinginan demi keinginan yang kuungkapkan padanya. Ia membisu, seperti ingin mendengarkan lebih banyak mimpi dari kepalaku.

”Itulah mimpi-mimpiku, Ram. Melekat erat di pikiranku, namun tidak pernah terlintas cara, apalagi rencana untuk mewujudkan semua. Aku membiarkan semua mengalir seperti air dan menikmatinya.”

”Aku boleh tanya sesuatu?” tanya Rama.

Aku mengangguk.

”Aku tidak mendengar pernikahan sebagai salah satu mimpimu.”

Aku tertawa. ”Kurasa itu memang bukan mimpiku. Itu mungkin salah satu cara untuk meraih salah satu mimpiku.”

”Oh, jadi pernikahan hanya cara bagi kamu. Padahal wanita-wanita lain menempatkannya sebagai mimpi mereka.”

”Iya, aku tahu. Kebanyakan perempuan memimpikan pernikahan, bahkan menjadikannya satu-satunya impian. Saat pernikahan tidak membuat mereka bahagia, mereka jatuh karena sudah tidak memiliki mimpi lain. Terkadang mereka mempertahankan pernikahan yang menghancurkan diri mereka karena takut tak mampu hidup tanpanya.”

Rama menyetujui pendapatku.

”Kuceritakan satu hal. Aku pernah menjadikan pernikahan cara untuk meraih salah satu mimpiku, membawa perubahan pada masyarakat. Aku pernah berhubungan dengan seorang anak pemilik perusahaan gas yang kini membuat menderita seluruh warga Sidoarjo dengan luapan lumpurnya. Aku hendak menikah dengannya agar aku bisa membuat ayahnya bertanggung jawab atas perbuatannya.”

”Ya, aku sudah baca novelmu. Kupikir itu hanya fiksi.”

“Tokoh dalam novel itu adalah aku dan itu berdasarkan kisah nyata yang kualami.”

“Kamu memang wanita yang sangat menarik luar dan dalam. Seorang anak pejabat saja mengejarmu, apalagi aku yang orang biasa.”

Aku tak mampu menahan tawaku.

”Untuk kasus anak pejabat itu, sebenarnya aku yang berusaha mendekatinya dan melakukan segala cara untuk membuatnya bertekuk lutut padaku.”

Rama menggeram dengan candanya. ”Seandainya aku anak pejabat, kamu tidak perlu lakukan segala cara untuk mendapatkan hatiku.”

”Kamu terlalu berlebihan, Ram. Kamu tidak perlu memujaku seperti itu. Sebenarnya aku wanita yang sangat kejam pada laki-laki.”

”Sebelum mereka merebut hatimu. Kurasa setelah kamu jatuh cinta pada seseorang, kamu akan lakukan apa pun untuk menunjukkan cintamu padanya.”

Aku mengakuinya.

”Bagaimana seseorang mampu membuatmu jatuh cinta, Tiara? Apa yang dilakukan laki-laki itu?” tanya Rama dengan wajah sangat serius.

Aku tertawa dan mengatakan aku tidak tahu.

”Aku serius. Katakan apa yang bisa membuatmu jatuh cinta?”

”Sungguh, aku tak tahu. Cinta itu sesuatu yang sangat tidak sopan. Masuk tanpa dipersilakan, pergi tanpa permisi.”

Rama tersenyum. ”Seperti jelangkung.”Kami sama-sama tertawa.

***

SAAT aku tengah membacakan dongeng untuk anak-anak siang itu, Fatia datang dan duduk ikut mendengarkan. Setelah selesai, aku menghampirinya.

Jika perempuan ini datang, aku tahu berarti jadwal evaluasi dan laporan beasiswa tengah dilakukan olehnya pada anak-anak asuh penerima beasiswa dariku. Aku selalu merasa was-was apakah ada berita buruk yang dibawanya, seperti berita tentang Mirna tiga bulan lalu.

Kali ini ia mengabarkan hal yang sama, berita yang paling kubenci. Ratih, remaja yang duduk di kelas dua SMP diminta berhenti sekolah oleh orang tuanya. Alasannya ia tak perlu sekolah tinggi karena nantinya seorang perempuan hanya akan menjadi istri dan ibu rumah tangga bagi yang bernasib baik, atau menjadi pelacur bagi yang bernasib buruk. Pola pikir seperti itu bukan hanya ada di benak orang tua Ratih, tapi sebagian besar orang tua di Rawamalang.

Kampung mereka yang terpencil dan hanya mampu dijangkau becak dan motor, membuat mereka berpikiran bahwa tak mungkin mencari pekerjaan di luar karena akan menghabiskan biaya besar untuk ongkos transportasi dan makan. Mata pencaharian yang tampak menjanjikan di depan mata hanya melacur, yang tak dianggap tabu karena sudah menjadi hal biasa bagi warga.

Perubahan pola pikir itu yang tak mampu Yeni, Fatia dan aku lakukan. Yeni dengan perpustakaannya, Fatia dengan beasiswanya dan aku dengan keduanya dan cara ekstrim lainnya tak juga dapat menggeser pemikiran warga mengenai peningkatan derajat mereka, atau setidaknya anak-anak mereka.

Sore harinya aku mengajak Fatia menemui Ratih dan kedua orang tuanya di rumah yang sekaligus digunakan sebagai warung minuman, yang selalu ramai dikunjungi para penjaja seks dan pelanggan mereka.

Saat tiba di tempat itu, kami sudah disambut wajah kesal ayah Ratih yang sama sekali tak menyahut saat kami memberi salam dan kata-kata pedas yang dilontarkan ibu gadis itu dengan bahasa Jawa yang cukup kumengerti. Perempuan yang tengah sibuk membereskan gelas-gelas yang telah dicuci Ratih itu mengatakan bahwa aku dan Fatia datang untuk mencampuri urusan keluarga mereka dan mengganggu pekerjaan Ratih.

Aku meminta izin untuk bicara pada kedua orang tua Ratih. Ibu Ratih masih mau menatapku dan menanyakan apa yang kuingin bicarakan.

”Ibu, saya dengar Ratih sudah tidak boleh sekolah lagi,” ucapku.

”Betul. Memangnya kenapa? Kalau dia masuk sekolah, malamnya dia akan mengantuk saat bekerja. Lagipula nilai-nilainya sudah jelek semua. Tahun ini dia pasti tidak naik kelas. Jadi untuk apa dia sekolah? Cuma buang-buang waktu saja,” ujar ibu Ratih dengan ketus.

Kali ini ayah Ratih mendekat dan menambahkan ucapan istrinya. ”Betul. Lagipula dia cuma perempuan. Tidak perlu sekolah tinggi, dia akan tinggal di rumah juga nantinya kalau sudah menikah. Kalaupun harus bekerja, dengan berjualan minuman di warung sepeerti ini sudah cukup untuk perempuan, seperti ibunya. Memangnya kalau lulus SMU dia mau kerja apa? Paling-paling penjaga toko, sama saja dengan jaga warung.”

”Apakah Bapak dan Ibu juga meminta pendapat Ratih? Apa dia memang tidak ingin sekolah dan hanya ingin bekerja?” tanyaku kepada keduanya.

”Untuk apa? Kami yang lebih tahu apa yang paling baik untuknya. Dia hanya anak yang tidak tahu apa-apa soal hidup. Kami yang lebih banyak makan asam garam,” jawab ayah Ratih.

”Jika sebenarnya Ratih ingin bersekolah dan jika dia punya waktu belajar, nilai-nilainya bagus, apakah Bapak dan Ibu mengizinkannya?” tanyaku lagi.

”Lalu siapa yang akan bantu kami? Kalau paginya bersekolah, dia akan kelelahan saat bekerja. Di sekolah dia juga mengantuk. Di warung kerjanya jadi lambat,” ucap ibu Ratih.

”Saya akan bantu Ratih di warung ini,” tantangku. ”Saya akan ikut melayani pembeli agar Ratih bisa belajar di sini dan tidur lebih cepat.”

Ibu Ratih mengatakan bahwa mereka tak mampu membayarku. Kukatakan bahwa mereka tak perlu melakukannya, mereka hanya perlu mengizinkan Ratih bersekolah dan belajar di warung.

Ayah Ratih menanyakan pada Ratih apakah ia setuju dengan tawaran dariku. Gadis itu dengan mantap mengatakan sangat ingin kembali ke sekolah dan akan membuktikan bahwa ia akan mendapatkan nilai yang lebih bagus jika ia punya waktu belajar.

”Baiklah,” kata ayah Ratih mengalah, ”saya beri kesempatan pada anak ini. Tapi kalau penghasilan warung ini turun dan nilai sekolah Ratih masih jelek, dia harus berhenti sekolah.”

Aku dan Ratih bersorak dan berpelukan. Ia mengucapkan terima kasih berulang-ulang kepadaku.

Perjuangan pun dimulai kembali. Kali ini aku turun langsung membantu Ratih dan ibunya di warung. Menyambut pelanggan dan melayani mereka yang meminta disediakan minuman ringan maupun keras. Aku berusaha bersikap ramah pada pembeli, namun tetap menjaga jarak agar tidak memancing kenakalan mereka.

Aku pura-pura bersikap tenang, meskipun aku sebenarnya cemas bila ada pelanggan yang melakukan pelecehan seksual padaku. Namun untungnya, sebagian besar lelaki datang ditemani oleh perempuan pasangan mereka malam itu, maka kesempatan pelecehan seksual terjadi sangat kecil.

Rama yang mengetahui tindakanku menyatakan ketidaksetujuannya padaku.

”Kamu mencari masalah untuk diri kamu sendiri, Tiara. Tempat itu sangat berisiko bagi perempuan seperti kamu,” katanya.

”Kamu tenang saja, Ram. Aku punya malaikat pelindung,” jawabku sambil tersenyum kecil. Kuharap Jessica mendengarnya. Ia bisa tiba-tiba hadir di mana pun aku berada, saat aku membutuhkannya.

Rama mendesah keras. ”Baiklah, aku akan menjaga kamu di sana setiap malam. Aku mungkin juga bisa mendapatkan tambahan data untuk penelitianku.”

”Tidak perlu, Rama. Kamu terlalu mengkhawatirkanku.”

”Aku memang tidak punya hak mencegahmu untuk lakukan apa pun, termasuk yang membahayakan diri kamu. Tapi izinkan aku lakukan sesuatu untuk kamu. Aku ingin melindungimu,” ucapnya dengan keyakinan penuh.

Aku mengangkat bahu dan mengatakan semua terserah padanya.

Dua minggu lewat sejak aku ”magang” di warung milik orang tua Ratih. Kerjaku cukup memuaskan dengan pelayananku yang baik dan ramah pada pelanggan. Rama hampir setiap malam datang menemaniku mengobrol dengan pengunjung yang tak punya teman. Ia pintar mencari celah pembicaraan yang menarik bagi mereka. Suasana warung menjadi tidak terlalu menakutkan karena kami melibatkan para lelaki yang datang dalam pembicaraan yang menarik dan bermutu seperti soal sepakbola dan politik.

Di sudut warung, Ratih sibuk mengerjakan pekerjaan rumahnya. Jika ia harus belajar yang memerlukan konsentrasi, kuminta ia pergi ke perpustakaan. Aku dan gadis itu telah menunjukkan pada kedua orang tuanya bahwa sekolah dan pekerjaannya berjalan dengan baik. Nilai-nilai ulangannya juga sudah mulai membaik, karena ia punya banyak waktu belajar sebelumnya.

Pertanyaan yang selalu dilontarkan Rama adalah sampai kapan aku melakukan ini. Kukatakan bahwa aku sendiri tidak tahu jawabannya. Saat ini aku hanya ingin melakukan ini dan belum tahu apa yang sebaiknya kulakukan pada waktu ke depan.

”Kamu perempuan teraneh yang pernah kukenal,” ucap Rama tentangku. Kami sedang berjalan pulang dari warung milik orang tua Ratih, ia mengantarku menuju mobilku yang terparkir di seberang kali.

”Dan kamu lelaki terbodoh yang mencintai perempuan teraneh,” balasku.

”Kamu aneh.”

”Kamu bodoh.”

”Aku senang dengan kebodohan dan keanehan ini. Aku sungguh menikmatinya,” ucapnya lagi saat kami tiba di depan mobil yang akan kunaiki.

Langkah kami terhenti. Aku menyandarkan tubuhku ke mobil dan Rama tepat berada di hadapanku. Entah mengapa kubiarkan kesempatan itu terjadi, ia menatap dalam mataku dan aku tak tega menolak tatapannya.

Ia memberanikan diri menyentuh jemariku. Setelah beberapa detik kubiarkan ia melakukannya, ia menggenggam tanganku.

”Aku semakin mencintaimu, Tiara,” ucapnya lembut.

Aku tak membalas ucapannya. Jantungku berdegup kencang. Entah mengapa aku tak kuasa membuyarkan suasana romansa itu. Aku tahu Rama sangat menikmatinya dan aku tak ingin menyakitinya dengan mengalihkan saat-saat mendebarkan itu.

”Aku tak tahu bagaimana membuatmu jatuh cinta. Tapi aku tak peduli dan itu tidak penting lagi bagiku. Aku hanya ingin menikmati kesempatan untuk bersama kamu. Menjadi seseorang yang berarti bagi kamu, sebagai apa pun yang kamu inginkan. Aku takut tak bisa mendapatkan kesempatan itu lagi nanti, bulan depan atau selanjutnya. Aku tak ingin menyia-nyiakan kebersamaan ini. Izinkan aku menunjukkan betapa aku mencintaimu, Tiara. Aku hanya ingin kamu melihatnya. Itu saja.”

Aku dapat mendengar gemuruh di dada lelaki itu. Ia mencoba menahan hasratnya dan ia memang tak melakukan apa pun selain menggenggam tanganku, meskipun aku tak bereaksi apa pun untuk mencegahnya melakukan yang lebih dari itu.

Ia melepaskan genggamannya pada tanganku. Ia mundur menjauhi tubuhku dan mengucapkan sesuatu, memintaku untuk berhati-hati di jalan.

Menyadari adegan romansa telah selesai, aku bergerak menuju pintu mobil di sisi lain dari tempat kami berdiri.

Aku melambaikan tangan ke arahnya dengan wajah hampir tak berekspresi. Ia membalas lambaian, juga tanpa ekspresi. Kurasa kami telah memainkan adegan yang menggantung beberapa saat lalu.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun