KETIKA tiba di perpustakaan kulihat mata Yeni sembab setelah menangis. Aku datang pada waktu menjelang sore karena paginya aku mengunjungi mama yang tengah hamil muda.
Aku tertawa saat mendengar kabar kehamilan mama, tak dapat membayangkan aku akan memperoleh seorang adik kecil. Mama kelihatan khawatir dengan kehamilannya, mengingat usianya yang hampir menginjak lima puluh tahun.
"Tidak apa-apa, Ma. Tidak perlu khawatir. Kehamilan ini kehendak Tuhan, kita harus menerima dan menjaganya," kataku menasihati. "Mama tidak boleh terlalu lelah, harus makan banyak yang bergizi dan tidak boleh stres. Lebih baik serahkan pekerjaan pada Riki dan Rani, Mama cukup memantau dari rumah."
Mama mengangguk, menyetujui perkataanku. Namun ia mengakhiri pertemuan kami dengan nasihat yang terdengar menyebalkan di telingaku.
"Cepatlah menikah, Tiara. Jangan sampai kamu baru menikah pada usia tua seperti mama. Tidak baik hamil pada usia di atas tiga puluh."
Aku hanya tertawa dipaksakan, merespon ucapannya. Aku juga tak pernah berniat menikah di usia hampir menginjak lima puluh tahun sepertinya. Namun saat ini, di usia hampir tiga puluh tahun aku memang belum berniat menikah. Aku merasa sudah cukup puas mencintai dan dicintai serta memiliki anak. Bukankah itu yang dicari dari sebuah pernikahan?
Aku tak mampu membaca langkahku ke arah itu. Kubiarkan waktu menjawabnya.
Kudekati Yeni dan kutanyakan apa yang terjadi. Ia mengatakan bahwa Nadia, salah satu relawan muda yang membantunya mengelola perpustakaan harus berhenti. Ayah tirinya baru saja datang dan melabrak Yeni dan menarik paksa Nadia keluar. Lelaki berbadan besar dan bertato itu melarang anaknya datang lagi ke perpustakaan dan menghabiskan waktu di tempat itu. Ia dianggap telah membuang waktu dan kesempatan untuk mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
"Aku khawatir sekali Nadia akan dijadikan pelacur oleh bapak tirinya itu," ucap Yeni lirih. Ia katakan bahwa ayah tiri Nadia adalah preman pengamananan lokasi prostitusi yang mendapatkan jatah dari para pengelola rumah bordil dan warung-warung penjual minuman keras. Yang terparah adalah lelaki itu mempekerjakan istrinya di sana sebagai penjaja seks. Kini ia memaksa anaknya pulang untuk bekerja menggantikan ibu Nadia yang tengah sakit-sakitan.
Aku bergidik ngilu mendengarnya. Realitas yang lebih parah dari bayanganku semula di tempat ini. Kuharap aku tak akan mendengar hal yang lebih buruk dari ini.
"Nadia anak yang baik dan pintar. Dua tahun lagi dia lulus SMU. Mengapa bapaknya tidak sabar menunggu dua tahun lagi agar Nadia bisa bekerja yang lebih pantas," ucap Yeni parau, tangisnya terdengar.