Secara eksplisit diterangkan dalam KUHAP bahwa putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan tidak dapat diPKkan sesuai ketentuan Pasal 263 ayat (1). Anehnya putusan PK oleh MA pada nomor putusan 12 PK/Pid.sus/2009 mengabulkan permohonan PK Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Putusan MA
Menyoal tentang diterima dan dapat diperiksanya permintaan PK ada beberapa ketentuan yang harus diterapkan. Dalam hal MA membatalkan putusan yang dimintakan PK hanya dapat menjatuhkan hukuman berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan tidak dapat menerima tuntutan Penuntut Umum dan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 266 ayat (2) huruf b.Â
Dalam putusan MA yang dibacakan pada tanggal 11 Juni 2009 tepatnya pada butir 2 (dua) amar putusan menyebutkan "menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun". Dalam kasus ini, putusan yang dimintakan PK adalah putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Bagaimana mungkin MA menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun terhadap terpidana yang sebelumnya sudah dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum? Yang dengan kata lain putusan PK tersebut lebih berat dari putusan yang diPKkan.
Masih seputar putusan MA, namun kali ini penulis akan membahas ketidak cermatan pihak MA dalam menuangkan sebuah putusan ditinjau dari syarat formil sesuai ketentuan KUHAP.Â
Dalam putusan hasil PK kasus Djoko Tjandra pada butir ke 2 (dua) jelas menyebutkan penjatuhan pidana penjara selama dua tahun kepada pria 71 tahun itu. Namun jika dicermati, dalam putusan tersebut tidak ada perintah supaya ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan layaknya putusan pada umunya.Â
Sesuai ketentuan pasal 197 ayat (1) KUHAP surat putusan harus memuat beberapa hal yang salah satunya dijelaskan pada huruf k yang menyebutkan perintah supaya ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Selanjutnya pada ayat (2) pasal 197 KUHAP a quo menjelaskan jika tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,h,j,k dan l mengakibatkan putusan batal demi hukum.Â
Dalam hal ini jika merujuk pada ketentuan KUHAP, putusan MA tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum karena tidak memuat syarat yang diperintahkan oleh Undang-undang. Seperti lirik lagu Tommy J Pisa, ini salah siapa ini dosa siapa sampai ada kelalaian dalam penulisan surat putusan.Â
Apakah salah notulisnya atau salah hakim yang kurang cermat pada saat membaca putusannya? Entahlah. Untuk diketahui, dalam tataran teori dan asas hukum ada adagium latin berbunyi Resjudicata Pro Veritate Habetur yang menyatakan bahwa putusan hakim harus dianggap benar. Tapi beda soal dalam kasus ini.
Lanjut. Mungkin setelah membaca uraian di atas akan terbesit dingatan kalau Pasal 197 ayat (2) KUHAP yang dimaksud sudah dibatalkan oleh MK melalui putusan nomor 69/PUU-X/2012 dimana Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 197 ayat (2) huruf k inkonstitusional bersyarat bertentangan dengan UUD 1945 apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomo 8 Tahun 1981 (KUHAP) mengakibatkan putusan batal demi hukum.Â
Oleh karena pembatalan Pasal 197 ayat (2) KUHAP oleh MK terjadi pada tahun 2012, maka serta merta putusan MK tersebut tidak dapat diterapkan pada putusan PK oleh MA terhadap Djoko Tjandra karena putusan PK oleh MA terhadapnya terjadi pada tahun 2009 sehingga berlaku prinsip non-retroaktif bahwa hukum tidak boleh berlaku surut.