Teruntuk kau yang di atas…
Yang tak pernah lupa melirik kami yang di bawah
Yang tak pernah bosan mendengar jeritan yang mungkin tak penting
Dari kami yang tak engkau kenal
Namun tetap mengagumimu…
Â
Kami awam,
Termasuk orang kampung walau hidup di tengah kota
Masih gaptek di era digital
Melihat kota kami yang masih dikelilingi gunung tinggi menjulang
Terkejut dengan gedung tinggi berjajar tanpa polesan gunung
Â
Kota kami terkenal dengan kekasaran intonasi sapaannya
Terkenal dengan galaunya pisikologi karakter
Namun indah dengan lukisan alam
Indah dengan potensi alamnya
Ramah dan masih menjunjung tinggi gotong royong dan toleransi
Walau dipoles dengan era dinasti
Â
Kota kami masih asri dari polusi
Kaya dengan beribu suku dan ras unik
Kenapa yang kau pandang hanya segelintir di antara kami?
Banyak aroma pala dan cengkeh bertaburan memanggil
Kenapa yang kau lihat hanya padinya?
Â
Pak presiden yang terhormat
Kami yang rendah di tanah timur tak meminta
Suara kami mungkin tak terdengar karena hilang dibawa deburan ombak di pantai
Tapi kota kami tak pernah menangis karena kelaparan
Â
Engkau yang duduk di kursi empuk di sana..
Pernakah kau mendengar satu suara berbeda di antara ribuan suara yang sama?
Kami kecil, kami minoritas..
Hanya melihatmu berusaha sudah cukup memuaskan
Kota kami yang indah dari segala aspek hanya butuh kebebasan
Kebebasan dari sang kaisar pemegang tahta dinasti dan kebebasan bersuara..
Â
Ambon 18 Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H