Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Beredar issu Tiga periode Jokowi sebagai presiden, telah menimbukan riak dalam politik dalam negeri terutama dikalangan organisasi politik, Â organisasi masyarakat, organisasi kepemudaan dan lain-lain yang berdampak secara umum kepada politik masyarakat. Saya ingin mengatakan bahwa salut dengan opini yang dikembangkan buzzer yang dapat membius setengah dari organisasi masyarakat Indonesia, terutama kalangan yang hidupnya menkomsumsi berita politik. Setidaknya para buzzer telah sukses memprokasi masyarakat dan setidaknya dampak politik sudah lebih baik bagi rezim Jokowi untuk mempertahankan kekuasaan hingga akhir periode.
Di keluarkan satu Issu politik yang hangat justru bertentangan dengan opini dan imge pada masyarakat itu ibarat dalam perminan sepakbola ada yang namanya strategi bahwa pertahanan yang baik itu adalah dengan melakukan intensitas menyerang. Jadi dengan menyerang otomatis sekaligus menjadi pertahanan.
Kalau anda boleh membuka informasi sebelum issu Tiga periode tersebut maka anda pasti akan menemukan kontradiksi, misalnya banyak tokoh yang menggagas impeachment kepada presiden. Atau sudah pasti setidaknya statement yang menyatakan presiden Jokowi minus dalam kepemimpinan negara bahkan ada yang menyatakan bahwa Jokowi tidak layak sebagai presiden, Â kemudian ada juga tokoh yang menyatakan Jokowi dengan tamsilan terlalu besar jabatan dibandingkan kemampuannya. Karena mereka tidak secara langsung mengatakan presiden bodoh dalam kebijakan yang terlihat bertentangan dengan kepentingan rakyat yang diilustrasikan dengan pribumi atau masyarakat agama paling dominan Indonesia yakni Islam.
Ketika issu Tiga periode tersebut menggelinding di masyarakat, maka hal ini akan menjadi pembicaraan publik, ditambah media-media yang pro pemerintah atau dibayar pemerintah bahkan mengadakan diskusi dan kajian tentang tema tersebut.
Lalu, apa yang terjadi? Pembunuhan karakter terhadap presiden Jokowi mulai terbantah, terhandle dalam politik masyarakat, karena secara umum tema sudah berubah dari evaluasi kedudukan terhadap Jokowi dan mendongkel dari kedudukannya justru diilustrasikan sebagai presiden berhasil memimpin dan bijak dalam bersikap untuk kepentingan rakyat secara umum. Rakyat menegah sudah duluan berkembang issu bantuan langsung dengan berbagai skema bantuan langsung masyarakat dan juga usahanya dengan issu skema kredit kelompok dan sebagainya yang bisa digolongkan sebagai program stimulus ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil.
Fakta-fakta ini menjadi alat penguat argumen untuk mempengaruhi rakyat menengah bawah yang akan menghandle masyarakat golongan tokoh ketika mereka menyeret tentang issu pembangunan kebangsaan dan pembangunan rakyat dan negara secara normatif.
Timbul pertanyaan pengaruh mana yang lebih besar? Jawabannya tentu saja ya issu tentang Jokowi Tiga periode dengan fakta-fakta yang dianggap holistik pada masyarakat kelas menengah bawah. Lho, kenapa demikian? Bukankah orang pintar atau tokoh besar kebangsaan lebih mampu mempengaruhi rakyat dengan wawasannya?
Jadi begini di negara kita ini pemikiran yang cerdas yang melahirkan kebijakan terbaik bagi rakyat, bangsa dan negara menjadi kurang berarti ketika ilustrasi bantuan ekonomi rakyat dihembuskan oleh politisi maupun pemerintah. Masyarakat secara umum akan berpihak kepada realita ekonomi rakyat daripada issu kebangsaan. Bahkan masyarakat menengah bawah kurang care pada issu penanganan korupsi karena diyakini tidak berkait dengannya.
Baik, sekarang mari kita lihat dengan data (lihat google statistik warga negara) atau dengan fakta sajalah yang terilustrasi kepada tokoh politik atau politisi yang umum, Â tidak perlu cerdas untuk melihat fakta tersebut, yaitu :
"Siapa lebih banyak jumlah masyarakat dengan pengetahuan politik yang mumpuni atau menengah atas dengan masyarakat awam yang apolitis bahkan buta politik atau pengetahuan menengah bawah dinegara kita?"