Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Politik itu boleh dikatagorikan dalam perspektif perjuangan suatu kelompok, komunitas, masyarakat dan rakyat dalam suatu negara. Tentu ada perjuangan yang mudah diakukan dan cenderung menjadi cara berpikir semua warga masyarakat yang sering disebut sebagai opini sosial.Â
Kecenderungan sosial ini akan sulit dilawan dalam politik meskipun panguasa mampu menjalankan misi kekuasaannya dalam masyarakat, tetapi hati kecil masyarakat secara kolektif tetap saja bertentangan dengan nurani rakyat meskipun mereka harus menerima dan tidak mampu menolak kebijakan pemerintah tersebut.
Dalam politik seperti ini yang terjadi adalah pengumpulan akumulasi berbagai kekecewaan yang tidak pernah bisa diungkapkan rakyat dan hanya mengkristal dalam batin masyarakat yang memang mereka memiliki pemahaman dalam hidup bermasyarakat berdaerah, berbangsa dan bernegara.
Dalam teori politik hal inilah yang didefinisikan sebagai metode kebisuan spiral, dimana spiral yang melingkari itu semakin besar meski hanya diam namun akumulasi sikap tersebut akan mengurung pembuat kebijakan publik yang bertentangan dengan opini publik yang normal. Begitu model prilaku politik yang membentuk kekuatan rakyat dalam sistem demokrasi. Semakin cerdas rakyat maka akan semakin resiko yang akan dihadapi pemerintah yang salah kaprah dalam membuat kebijakan publiknya.
Demikian pula hukum sosial terhadap partai politik yang mengingkari dan salah janji atau janji berlebihan kepada rakyat meski mereka tidak cukup memahaminya dalam membuat janji politik tersebut.
Lalu, apakah partai politik tidak boleh berjanji? Berjanji konsisten dengan sikap-sikap politiknya, bukan berjanji sebagaimana janji perorangan memberi fasilitas dan kekayaan kepada warga yang tidak masuk akal mereka wujudkan. Padahal rakyat paham bahwa mereka sendiri para politisi mencari jabatan dan penghormatan masih dalam tahap  mencari dan memperlihatkan kemapanan penghidupannya yang lebih establis dalam bernegara. Oleh karena itu jika rakyat tidak memiliki standar atau filter dalam pikirannya maka saban waktu akan tertipu dalam politik.
Supaya dinamika seperti ini tidak terjadi maka rakyat seharusnya sudah melek politik dalam suatu negara merdeka. Maka sudah sewajarnya masyarakat berkesadaran agar menerima politik dengan sepenuh hati bukan dipaksakan atau hanya dianggap sebagai jembatan yang bisa menghubungkannya ke arah karirnya dan sekaligus sekedar pergaulan dalam pekerjaan pribadinya.
Jika rakyat suatu negara merdeka tidak melek dalam politik maka peluang dijajah masih terbuka dalam berbagai sisi hidupnya. Sehingga anda bisa membayangkan betapa mentalitas rakyat dinegera-negara yang benar-benar merdeka dengan negara yang merdeka sementara rakyatnya dalam keterbelengguannya atau berstatus merdeka sementara rakyatnya justru terjajah, mentalitas mereka sudah pasti sangat berbeda dalam menjalani hidup dan beraktifitas serta produktifitasnya.
Lalu, sesungguhnya apa yang dikejar dalam pekerjaan politik suatu bangsa dan negara?
Pertama, Kekuasaan yang diperoleh dengan kualitas politik yang menempatkan kelompok dan pemimpin politik yang kualifikasinya bisa menempatkan rakyat sebagai pelaku dan penerima manfaat pembangunan secara optimal sehingga kekuasaan rakyat dan pelaku politik tidak bertentangan atau terjadi kesenjangan dimana rakyat dan pemerintah berjalan masing-masing yang berbeda haluan dan arah.