Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Pimpinan politik atau pemimpin partai politik pada akhirnya akan menjadi pembohong ketika dibedah peran dan fungsinya secara terbuka. Biasanya hal ini menimpa pemimpin kharismatik yang kekuasaannya melebihi kewenangan bahkan cenderung menjadi istimewa.
Jika ia pemimpin partai politik maka pada saat masih menjabat dan berkuasa sulit diungkapkan kebobrokan itu, tetapi ketika kekuasaannya berkurang semua sisi negatifnya dalam politik akan terungkap, bahkan mereka yang kharismatik akan lebih mudah diungkapkan karena pengikutnya semasih berkuasa menganggapnya dewa yang suci tidak bisa disentuh.
Pada dasarnya kekuasaan memberikan para pemimpin kewenangan menentukan masa depan orang lain, tetapi setelah digantikan peran tersebut telah beralih ketangan pihak lain dan pemimpin itu menjadi mantan dan biasanya mereka merasa masih melekat dengan kewenangannya semasa berkuasa atau memimpin.
Karena itulah maka terjadi pos power sindrom pada mereka yang pernah berkuasa, apalagi mereka arogan dan sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya. Dampak paska kekuasaan seringkali mereka menjadi drop down dan makan hati karena mantan anak buahnya sudah tidak sepatuh ketika ia berkuasa. Alhasil ia sakit dan meninggal karena kekuasaan dan kehormatan dalam hidupnya telah hilang yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan.
Oleh karena itu dalam kehidupan para pekerja profesional dan pada perusahaan-perusahaan besar para karyawannya disiapkan pendidikan dan pelatihan menghadapi masa pensiunan dengan berbagai metode meskipun mereka sebatas karyawan. Tetapi hidupnya sudah tergolong aman dan mereka tidak menghadapi masalah-masalah peliknya kehidupan sebagaimana masyarakat biasa yang tidak terikat dengan manajemen perusahaan profesional.
Demikian pula halnya pimpinan politik yang seumur hidupnya terjebak dengan dilema kekuasaan akan terjerumus dalam dinamika politik kecil-kecil hingga dalam pengaturan posisi jabatan di partai politik. Padahal disitu dituntut kesabaran yang maha luar biasa jika mereka inginkan keberadaannya sebagai negarawan atau bapak bangsa.
Pilihan inilah yang sering menjebak para pemimpin, yang jika mereka salah langkah akan membawa posisi mereka terdegradasi yang semula sebagai pemimpin dan jatuh sebagai pembohong kelas tinggi. Akan halnya seorang bintang film (aktris) yang popularitasnya tinggi dan hidup dalam kemewahan, namun karena tidak berorientasi pada profesinya dan mengandalkan kuasa popularitasnya sehingga mereka larut dalam pergaulan dan upaya mempertahankan popularitasnya. Â Pada akhirnya justru terjebak dengan pola-pola prilaku yang tidak wajar dan masyarakat menganggapnya sebagai wanita murahan.
Kembali kepada politik, dimana dunianya yang penuh dengan siasat yang tidak berhenti dalam aktivitas propaganda, bedanya politik landasannya banyak diwarnai kehidupan orang banyak, negara, elemen rakyat, konstitusi, aturan hukum dan lain-lain. Sementara propaganda hanya berorientasi pada kepentingan pemenangan politik seseorang atau sekelompok kecil orang yang bisa saja dengan menggunakan segala cara bahkan dengan  membohongi publik dan menipu sekalipun.
Masalahnya apa?
Ditengah kehidupan masyarakat yang lemah memahami politik demokrasi maka perbedaan itu sangat tipis, masyarakat tidak akan mengenal yang mana propaganda dan yang mana politik, apalagi yang mengartikulasikan politik sebagai siasat tanpa etika dan fatsunnya.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan kebohongan yang diorganisir menjadi kebenaran, sementara mereka yang berpolitik secara sungguh-sungguh selalu saja kalah ditengah masyarakat di negara ketiga. Kecenderungan sosial seperti ini akan terus terjadi sampai negara mengalami stagnasi dan kebangkrutan akibat disfungsi elemen-elemennya secara baik.