Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Dalam dua bulan terakhir kata kudeta begitu akrab dituliskan oleh para penulis di sejumlah media kita, terutama rencana kudeta Ketua Umum Partai Demokrat.
Saya justru melihat issu itu telah memunculkan pengingat kata Partai Demokrat berulangkali dalam otak setiap orang. Dalam politik memunculkan berita, memunculkan opini adalah pekerjaan politik utama apalagi dijaman ini. Terlepas plus dan negatif. Karena berita negatif tinggal diubah menjadi positif, partai terpojok tinggal diubah supaya lepas dari pojokan dan yang utama adalah opini tersebut menjadi besar.
Setelah issu politik cukup dengan viewernya jadilah opini politik dan opini sosial sebelum menjadi kecenderungan sosial rakyat disuatu negara. Namun menurut analisa saya issu kudeta dalam partai ini sangat tidak cukup syarat untuk membangun kecenderungan sosial. Ia hanya akan dibatasi sebatas memperkuat kepemimpinan di partai itu dan daya jelajahnya terbatas pada sentimen politik baik para pimpinan partai politik dan buruknya oposisi sehingga perlu mendapat sanksi sosial.
Nah...karena issu tersebut eksklusif maka daya jelajahnya pun tidak akan mampu menembus kecenderungan politik sosial dalam masyarakat.
Sebenarnya rada aneh mendengar kata kudeta dalam partai politik, karena mekanisme penentuan Ketua Umumnya melibatkan kader ditingkat provinsi dan Kabupaten/Kota.
Kalau merebut Ketua Umum secara paksa juga hanya bisa dilakukan dengan Kongres Luar Biasa (KLB) yang juga melibatkan kader pimpinan tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota, kemudian setengah ada pembelahan sikap dalam kepengurusan DPPnya.
Jika issu ini adalah mainan politik maka seharusnya para penyebar issu ini juga tidak perlu terlalu berlebihan (lebay) dalam menggorengnya yang membuat kita sampai terpingkal.
Persoalan pemecatan kader Partai salah satu fakta yang menunjukkan issu kudeta Ketua Umum Partai Demokrat adalah issu kaki lima, apabila hal ini terjadipun maka ada skenario sandiwara politik yang bertarget politik lainnya.
Namunpun demikian saya masih melihat hal ini secara positif sebagai kreatifitas dalam pekerjaan dan pembelajaran politik partai daripada partai lainnya yang mirip prilaku ular piton yang diam kala kenyang dan lincah kala lapar, dekat pemilu biasanya sudah kahausan dan kelaparan sehabis pemilu mencari tempat tidur akibat kekenyangan, sembari menunggu makanan yang lewat saja kalau didapatpun untuk sebatas simpanannya.
Kenapa penulis menyebut issu kudeta ini sebagai issu kaki lima?