Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Kalau ada presiden yang belajar politik sejak muda atau dikaderkan sebagai pemimpin bangsa, mentalitasnya pastilah negarawan. Tidak perlu mempertanyakan kesetiaan, kejujuran, kemandirian, amanah dan sifat serta sikap normatif yang sesungghnya dimiliki semua orang  yakni sebatas berstandar baik.
Jika kahabisan pikiran, seseorang yang jujur akan ingkar, seseorang yang setia akan tidak setia, seseorang yang amanah akan khianat dan sikap normatif lain tentu akan berkontra pada seseorang.
Selama ini dilingkungan kita selalu saja mengaitkan kejujuran sebagai faktor utama dalam menentukan kriteria pemimpin. Namun disisi lain pada masyarakat yang sudah lebih maju justru mereka ingin memahami dan mendengarkan visi dan misi pemimpin, misalnya visi dan misi calon presiden, visi dan misi calon gubernur atau bupati.
Karena visi dan misi itu akan menjadi pegangan utama masyarakat dalam melakukan evaluasi terhadap kredibilitas seorang pemimpin rakyat. Pada masyarakat yang sudah mencapai level tersebut, hal-hal normatif seperti jujur yang sangat relatif dalam politik tidak dapat menjadi pegangan pada seseorang. Karena jujur dapat diartikulasi sebagaimana masalah yang mereka hadapi dan kecerdasan mereka menghadapinya dengan srategy politik.
Apakah kita sebagai pemimpin boleh tidak jujur? Tentu saja bukan begitu, tapi jujurlah adalah kewajiban yang tidak perlu dipermasalahkan namun karena hal itu relatif maka sulit menjadi pegangan dan dalam ilmu politik hal yang relatif tersebut dapat dimasukkan sebagai sentimen politik yang setiap saat bisa dipersoalkan dan bisa dimaklumi ketika mereka mampu menjelaskannya secara baik.
Lalu, anda tentunya akan menemukan seseorang pengkritik yang justru sebatas menyoalkan kejujuran kepala pemerintahan atau pemimpin rakyat yang dipilih. Menurut penulis bahasan yang dapat diibaratkan seperti karet yang elastis dalam politik justru hanya menghabiskan energi dan waktu kepada setiap orang yang memperdebatkannya. Maka indikator kejujuran itu adalah dengan pembuktian terhadap konsep, program yang dijalankan secara konsisten, itulah jujur yang sesungguhnya dalam politik.
Sentimen politik seumpama kritik yang mengarah pada kredibilitas seseorang pemimpin atau pelaku janji kepada rakyat perlu di geser ke suatu janji yang bisa diukur secara realistik meski tidak bisa dibawa ke ukuran sebagaimana ilmu matematika.
Pengkritik setidaknya bisa membuktikan dengan fakta yang rasional jika tidak mampu membuktikan penyelewengan itu secara data atau angka-angka. Jika tidak demikian maka kritik itu lebih dapat digolongkan sebagai sentimen dan dapat menjadi fitnah dalam kehidupan masyarakat. Maka pengkritik itu tidak semudah yang kita pikirkan, mereka membutuhkan wawasan dan pengetahuan yang cukup untuk melakukannya.
Karena itulah maka pengkritik pada masyarakat yang lebih maju dihargai lebih sebagai pelaku pembangunan yang nyata.
Kritik itu hanya ada pada masyarakat yang sudah melek politik, sementara pada masyarakat tertinggal lebih banyak umpat dan hujat. Karena pada masyarakat yang pintar pembangunannya dengan adu otak sebaliknya pada masyarakat tertinggal sudah pasti adu otot atau adu senjata. Itu perbedaan yang pasti pada masyarakat baik daerah maupun negara yang maju dan tertinggal perbedaannya signifikan.
Lalu, bagaimana sesungguhnya obyek yang dikritik, bisa jadi orang dengan sikap dan prilakunya dalam kebijakan publik atau konsep dan metodenya dalam menjalankan pembangunan rakyat.
Apabila kritik terhadap orang maka orang atau pejabat yang dikritik perlu berterimakasih kepada pengkritiknya yang benar. Lalu bagaimana sesungguhnya sikap pejabat? Tentunya mereka melakukan evaluasi dan berkesadaran tinggi serta sabar dalam setiap kritikan yang dialamatkan kepadanya. Karena masyarakat yang paham sudah pasti tidak tinggal diam dalam menghadapi problema, dan mereka akan mengkritiknya dengan berbagai cara agar penyelewengan oleh pemerintah tidak menjadi beban rakyat.
Kemudian bagaimana rakyat melihat kritikan dan pengkritik? Sebenarnya yang namanya pejabat perlu terus dikritik agar mereka tidak larut dalam kubang korup karena kekuasaan cenderung korup. Jika ada yang menyoalkan kenapa harus dikritik? Maka warga negara itu adalah pribadi-pribadi yang membawa rakyat ke jurang dan masuk ke dalamnya untuk menikmati pembangunan dirinya yang tanpa kritik.
Beberapa dalih yang biasanya berlaku dalam masyarakat dimana  kemudian mereka melakukan kritik terhadap pemerintahnya, sebagian alasan-alasan melakukan itu sebagai berikut :
Pertama, mereka memahami masalahnya dan masalah sosial dan lingkungannya. Sehingga kebijakan pemerintah yang tidak tepat akan menuai kritikan masyarakat umum.
Kedua, egoisme kelompok, maksudnya ada misi menggaungkan pengaruh kelompok politik tidak mesti partai  politik, mereka membangun posisi tawar dengan pemerintah terhadap tawaran solusi karena kelemahan mekanisme pemerintah dalam penanganan pembangunan rakyat.
Ketiga, kelompok politik dalam masyarakat mengetahui keborokan sebahagian pekerjaan pemerintah kemudian mereka mengangkat dan menyoalkannya, minimal mereka dapat berpartisipasi dalam pembangunan rakyat yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Keempat, misi alami para pengkritik yang ingin menunjukkan pengetahuan dan wawasannya pada masyarakat umum sehingga diperhitungkan sebagai tokoh yang cukup kapasitasnya.
Kelima, ada tokoh masyarakat dengan tujuan melakukan perubahan sosial, kemudian mereka ingin merubah cara pikir rata-rata masyarakat sehingga konsep politiknya dalam perubahan itu di ikuti oleh orang-orang yang peduli perubahan dalam hidupnya. Mereka melakukan secara ikhlas tanpa kompensasi atau tawar menawar kepentingan dengan penguasa.
Keenam, ada juga warga masyarakat sebatas belajar dan mencari pegangan, kemudian mereka melakukan kritik untuk mengangkat popularitasnya. Mengingat dengan mengkritik maka mata publik akan tertuju kepadanya.
Demikianlah enam dalih warga masyarakat dalam melakukan kritik kepada pemimpin rakyat atau pemerintah.
Sedangkan mereka yang menghujat tidak kita golongkan dalam kriteria ini, karena hujat adalah sentimen yang mempertaruhkan sikap suka atau tidak suka. Meskipun masyarakat kita masih dominan mengenal hujat dan membanggakan terhadap pelakunya tetapi kita harus bisa melihat perbedaannya. Karena apa? Tentu karena perbedaan masyarakat pintar dan tertinggal ada disana.
Sementara kritik jauh berbeda dengan hujat dan umpat meskipun kita masih saja menemukan itu di negara kita dalam urusan hidup berbangsa dan bernegara.
Anggap saja sebagai dinamika belajar mengajar bernegara demokrasi apalagi sistem penyelenggaraan negara semacam ini adalah budaya lumayan baru bagi masyarakat Indonesia. Perlu kemakluman dan kesabaran serta kematangan dalam menjalaninya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H