Kemudian pejabat yang lebih tinggi juga tidak siap dengan ketegasannya untuk memerintahkan pergantian. Jika ketegasan ini berjalan, tentu saja pengangkatan pejabat itu tidak akan sembrono, karena bersanksi tegas dari pejabat yang lebih tinggi apalagi melanggar standar nama baik daerah, negara dan UU ASN. Hal-hal semacam inilah yang selalu dihadapi dalam kepemimpinan negara.
Lalu, bagaimana mereka para pejabat tinggi itu menempatkan keluarganya?
Pertama, Keluarga adalah yang paling utama dalam kehidupan semua warga negara. Bahkan keberadaan negara adalah akumulasi dari kepentingan keluarga. Dengan dasar itu maka rakyat akan memberi ruang yang maklum dalam hal kekeluargaannya. Bila ada yang mempersoalkannya maka termasuk pemikiran tidak sehat dari warga negara.
Kedua, Hubungannya apakah boleh berkaitan dengan tugas-tugas dan perannya sebagai pejabat tinggi negara? Tentu saja berkait, jika tidak maka keluarga akan menjadi gangguan psikologys pejabat bersangkutan. Maka keluarga harus menjadi pendorong kesuksesan tugas-tugasnya.
Ketiga, Sejauhmana boleh melibatkan anggota keluarganya? Tentu saja butuh manajemen yang mengelola harapan keluarganya, mengatur pada tingkatan mana intervensinya.Â
Kemudian pejabat bersangkutan juga harus memandang penting ide dan gagasan anggota keluarganya yang dianggap mampu dalam meningkatkan kualitas tugas-tugasnya. Maka mereka harus mampu mengkualifikasi mereka (anggota keluarganya) yang memahami tugas-tugasnya.Â
Dengan manajemen keluarga dan filter kecerdasan pejabat negara itu tentunya akan melahirkan keseimbangan antara keberadaan dirinya sebagai pejabat negara dan keberadaannya sebagai anggota keluarganya. Jangan sampai terjadi miskomunikasi, lalu bagaimana kita anggap dia berhasil dalam kepemimpinan negara dan kepemimpinan rakyat, sementara keluarganyapun kecewa.
Keempat, Pejabat negara perlu mengakomodir semua potensi yang dapat meningkatkan kualitas peran, fungsi dan menjalankan tugas-tugasnya dalam melaksanakan tugas negara terutama dalam pelayanan publik. Jika ada anggota keluarganya yang bisa mendorong itu maka wajar saja digunakan sehingga lebih dipercaya untuk membantunya.
Kelima, Para pejabat tinggi hanya saja wajib memahami dan melaksanakan kepatuhan untuk menempatkan posisi anggota keluarganya agar tidak masuk dalam kualifikasi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang sebenarnya sama peluang terjadinya meski dengan warga ataupun keluarga lainnya.
Logikanya begini, jangan sampai terjadi suatu keluarga yang anggota keluarganya menjadi pejabat tinggi negara lantas hak--hak anggota keluarganya sebagai warga negara dibelenggu. Hal ini juga menjadi antitesis dari sistem kehidupan demokrasi dan melanggar hak azasi manusia (HAM).
Lalu, bagaimanana dengan pandangan akan menimbulkan tuduhan bahwa mereka mementingkan keluarga? Hal itu merupakan sentimen bukan hal yang mempengaruhi politik dan hukum, justru karena terjebak dalam kubang sentimen-sentimen inilah yang lebih menjadi faktor penghambat pembangunan rakyat itu sendiri.