Secara konstitusi negara kita memang ideal dengan kebijakannya menempatkan 20 persen anggarannya untuk pendidikan.
Maka pendidikan adalah prioritas pembangunan yang seharusnya juga setiap provinsi fokus untuk itu disamping memperkuat ekonomi masyarakatnya.
Pertanyaannya pada masyarakat yang kritis adalah, apakah uang sebesar itu mampu mengangkat pendidik kita sebagai pemimpin dan ujung tombak pendidikan disetiap daerah?
Atau pertanyaan sederhananya, apakah mentalitas kepala sekolah yang bertugas mengelola sekolah-sekolah generasi masa depan kita sudah cukup mandiri dan boleh disebut mereka sebagai pemimpin dan pencipta kader-kader masyarakat Aceh masa depan?
Saya tidak bisa menjawab dan mengambil kesimpulan sendiri, tetapi anda sebagai warga masyarakat Aceh bisa menilai dan memantau itu.
Caranya begini:
Pertama, yang perlu dipantau adalah anggaran untuk pengelolaan sekolah, apakah banyak yang digunakan untuk hal lain diluar keperluan sekolah?
Kedua, adakah anggaran sekolah dari apbk, apba dan apbn sampai ke sekolah tanpa pemotongan oleh dinas pendidikan atau oknum mereka?
Ketiga, apakah dinas melakukan intervensi terhadap kemandirian sekolah dengan prilaku tanpa membuat aturan intervensi? Kenapa ada pertanyaan ini? Karena intervensi yang benar itu adalah membuat aturan yang terbuka tentang pola hubungan dinas dengan sekolah-sekolah. Jika intervensi diluar itu maka namanya adalah arogansi kekuasaan dinas.
Keempat, bagaimana psikology seorang pimpinan sekolah terhadap pejabat dinas, kalau mereka bisa dikendalikan atau ketakutan dengan aparatur dinas pendidikan maka dinas jelas mengatur mereka dengan intervensi arogansi kekuasaan
Kelima, apakah anda menemukan mentalitas seorang kepala sekolah disuatu daerah ketakutan dengan pemeriksaan oleh aparatur penyidik sekolah? Kalau mereka ketakutan maka kepala sekolah berprilaku korup dalam pengelolaan sekolah.