Oleh : Goodfathers
Kehidupan suatu masyarakat atau cara hidup sebahagian besar dipengaruhi oleh budaya masyarakat secara turun temurun, maka kita banyak mendapatkan bahasa-bahasa baku dalam masyarakat yang menjadi terminology untuk pegangan hidupnya.
Pernyataan penulis diatas dapat dijadikan sebuah teori sosial, karena hal ini terjadi berulang-ulang (pola) sehingga membentuk karakter pada suatu masyarakat.
Namun karena masyarakat kita masih lemah dalam membudayakan pengkajian dan menulis, sehingga bicara teori menjadi musuh bagi sebahagian besar masyarakat  kita, mereka cenderung menjalani hidup secara alamiah seperti menantang alam raya, ilustrasinya dapat kita lihat sebagaimana pemburu, petualang dan preman dalam berbagai sisi hidupnya.
Maka keturunan bangsa yang memahami cara hidup dengan metode yang baik sudah pasti lebih unggul dari masyarakat lainnya.
Bila masih kurang yakin dengan narasi diatas maka coba perhatikan bila ada warga bangsa yang sudah maju tinggal disuatu tempat di daerah kita, pasti mereka bisa hidup dengan lebih berhasil menghadapi dunia daripada sebahagian besar masyarakat pribumi.
Kemudian mari kita perhatikan, apakah dengan mentalitasnya mereka terposisi sebagai pemberi atau peminta?
Penulis yakin mereka terposisikan sebagai pemberi sejauh kemampuannya atau minimal mereka nyaris tidak akan meminta sebagaimana kebanyakan mentalitas pada sebahagian masyarakat kita, itu adalah suatu indikator mereka sudah terbentuk jiwanya sebagai pemimpin atau sebagai manusia yang utuh dimanapun mereka menjadi warga negara atau mereka lebih siap menghadapi hidup dimanapun mereka berada.
Sebagai contoh lainnya maka lihatlah mereka yang keturunan bangsa tertentu yang lebih maju dimana dari semenjak kecil sudah diberi pemahaman dan diajari oleh orang tuanya tentang mempersiapkan hidupnya untuk masa depan dengan budaya menabung dan berinvestasi, bahkan orang tuanya yang ingin melahirkan anak mereka sudah membuat perencanaan tentang pembiayaan hidup hingga mencapai kedewasaan dan mandiri.
Oleh karena itulah maka ajaran Islam menyampaikan pada ummatnya belajarlah sampai ke negeri China. Pernyataan tersebut ada dasarnya karena peradaban hidup sebelum masa kejayaan Islam itu sendiri.
Lantas sebenarnya, apa yang dipetik dari seorang pemimpin? Jawabannya adalah perkataan dan prilakunya. Yang menjadi kajian dari sebahagian besar ummat Islam adalah perkataan dan perbuatan semasa hidup atau prilaku nabi (pemimpin suci).
Nabi itu adalah pemimpin yang berasal dari manusia biasa dengan usia rata-rata manusia biasa, makanannya juga yang dimakan manusia biasa, istri-istrinya juga dari manusia perempuan dan semua yang ada padanya ada pada manusia biasa. Karena prilakunya saja diluar kebiasaan manusia biasa.
Menurut pandangan saya nabi berprilaku dalam kesabaran dan ketabahannya karena faktor kepintarannya dalam memahami kehidupan sebagai makhluk ciptaan tuhan yang Maha Esa.
Pemahaman mendasar (fundamental) dalam hidup inilah yang menentukan orang atau suatu masyarakat dan atau suatu komunitas menjadi pintar ataupun bodoh (tertinggal) dalam kehidupannya.
Maka selalu saja orang berpikir sempit yang mempersepsikan pengkhianat, pembohong, pembual dan penjahat dari keturunan bangsanya, sehingga muncullah persepsi masyarakat terhadap suatu bangsa yang general. Misal yahudi sudah pasti dipersepsikan pada masyarakat kita untuk menyatakan pada orang yang berprilaku buruk, demikian juga terhadap China yang dipersepsikan hampir sama. Padahal banyak dari mereka lebih baik dari mereka yang mengatakan kalimat tersebut.
Perlu diingat tidak sedikit dari kalangan bangsa orang yang mengatakan kalimat itu lebih buruk dan sangat amat buruk perangainya dimasyarakat kita. Itulah yang dinamakan sentimen dan emosi yang menimbulkan ego, bahwa bangsa saya lebih baik dari bangsa mereka. Karena itu dasar mereka berpikir dari kalangan seperti ini tidak rasional dan tidak punya alat ukur.
Maka tidak pernah ada teori sosial yang dilahirkan untuk mengukur suatu bangsa lebih baik dan buruk dibanding bangsa lain karena dapat menimbulkan perpecahan dan ego sosial yang melemahkan mentalitas bangsa lain. Lalu kemajuan suatu bangsa hanya dapat diukur dengan kemajuan teknology yang dikaitkan dengan tata cara hidup (budaya) yang teratur kemudian disebut sebagai suatu peradaban.
Nah, cara-cara hidup yang tidak terkonsep, tidak bermuara pada etika (tidak berbudaya) adalah cara hidup manusia tidak terdidik tergolong manusia amburadul (preman) yang menghalalkan segala cara, inilah yang disebut manusia kera kalau sudah karakter mereka rata-rata dan berada dalam suatu bangsa maka dapat dipersepsikan sebagai bangsa kera.
Lantas alat ukurnya apa? Tentu hanya berdasarkan status sosialnya, yakni jabatan dalam pemerintahan yang sebenarnya mereka adalah pelayan masyarakat dan uang yang diperoleh dengan dasar jabatan tersebut, bukan karena keahlian dan produktifitas mereka. Nah bila terhadap mereka dipersepsikan sebagai kaya maka itulah yang disebut salah kaprah.
Pejabat sebenarnya adalah pekerjaan melayani yang tatarannya masih menerima gaji atas jasa pelayanan mereka. Hak mereka hanya sebatas gaji dan fasilitas kerjanya.
Kalau mereka sudah dipersepsikan sebagai orang kaya maka masyarakat kita sudah tidak berada pada asumsi yang normatif dalam melihat pemerintahan untuk rakyat.
Kenapa? Tentu saja karena mereka menempatkan pemerintah sebagai tuannya, karena itu rakyat kita sudah mengalami kebangkrutan mental dan moralitas sosialnya.
Oleh sebab itu seorang kepala daerah bila ada yang serius ingin melakukan perubahan maka mereka harus menguasai ilmu yang fundamental dalam konsep hidup (ideologi) untuk rakyat disuatu daerah.
Tetapi kalau hanya pada tataran administratif dan membawa kata perubahan simbolik sama dengan omong kosong (talk nonsense) dan dengan mudah dapat digolongkan sebagai propaganda politik atau pembohongan sosial yang masif.
Sebagaimana penulis sampaikan diatas bahwa Nabi sebagai pemimpin dipegang oleh ummatnya karena pernyataan dan perbuatan serta prilakunya yang menjadi ketauladanan. Karena itu tanpa ajaran (ideologi) konsep hidup maka tidak mungkin seseorang layak memimpin walaupun dicalonkan oleh semua partai politik.
Atas dasar itu seseorang yang berbicara salah dan sering salah bicara atau bicara tidak mumpuni sesungguhnya tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin. Maka pemimpin disuatu negara atau daerah perlu belajar dan menjaga prilaku yang normatif. Karena semua yang ada pada mereka adalah alat komunikasi dan menjadi kebijakan publik.
Pemimpin adalah alat komunikasi publik, misalnya dalam berpakaian saja menjadi begitu penting untuk memberi ketauladanan, apalagi sikap idealis, berbicara yang baik, berpidato, menyampaikan konsep, menyampaikan pendapat, dan mengajari hidup rakyat adalah alat utama bagi pemimpin, apalagi mereka berada di negara yang menganut sistem demokrasi.
Seterusnya sikap idealisme menjadi keharusan pada calon pemimpin dan ketika berada pada ranah politik dan sosial yang tidak menghargai hal itu sebagai standar, yang perlu dipertanyakan justru "ada apa dengan masyarakatnya"?
Lantas bagaimana hukumnya jika mereka dengan kata-katanya pernah berbohong, atau dengan prilakunya misalnya yang membohongi publik?
Jawabannya adalah jangankan membohongi publik, membohongi seseorang saja adalah aib bagi calon pemimpin maka partai politik harus membuka kesempatan kepada semua warga untuk rekrutmen dan seleksi sebagai calon pemimpin rakyat.
Sekarang, mari tanya pada google, bagaimana datangnya seorang pemimpin sebagaimana Mahatma Gandhi, Soekarno, Nelson Mandela, apakah mereka dari preman, atau pekerja administrasi atau dari manusia yang memiliki ideologi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H