Nabi itu adalah pemimpin yang berasal dari manusia biasa dengan usia rata-rata manusia biasa, makanannya juga yang dimakan manusia biasa, istri-istrinya juga dari manusia perempuan dan semua yang ada padanya ada pada manusia biasa. Karena prilakunya saja diluar kebiasaan manusia biasa.
Menurut pandangan saya nabi berprilaku dalam kesabaran dan ketabahannya karena faktor kepintarannya dalam memahami kehidupan sebagai makhluk ciptaan tuhan yang Maha Esa.
Pemahaman mendasar (fundamental) dalam hidup inilah yang menentukan orang atau suatu masyarakat dan atau suatu komunitas menjadi pintar ataupun bodoh (tertinggal) dalam kehidupannya.
Maka selalu saja orang berpikir sempit yang mempersepsikan pengkhianat, pembohong, pembual dan penjahat dari keturunan bangsanya, sehingga muncullah persepsi masyarakat terhadap suatu bangsa yang general. Misal yahudi sudah pasti dipersepsikan pada masyarakat kita untuk menyatakan pada orang yang berprilaku buruk, demikian juga terhadap China yang dipersepsikan hampir sama. Padahal banyak dari mereka lebih baik dari mereka yang mengatakan kalimat tersebut.
Perlu diingat tidak sedikit dari kalangan bangsa orang yang mengatakan kalimat itu lebih buruk dan sangat amat buruk perangainya dimasyarakat kita. Itulah yang dinamakan sentimen dan emosi yang menimbulkan ego, bahwa bangsa saya lebih baik dari bangsa mereka. Karena itu dasar mereka berpikir dari kalangan seperti ini tidak rasional dan tidak punya alat ukur.
Maka tidak pernah ada teori sosial yang dilahirkan untuk mengukur suatu bangsa lebih baik dan buruk dibanding bangsa lain karena dapat menimbulkan perpecahan dan ego sosial yang melemahkan mentalitas bangsa lain. Lalu kemajuan suatu bangsa hanya dapat diukur dengan kemajuan teknology yang dikaitkan dengan tata cara hidup (budaya) yang teratur kemudian disebut sebagai suatu peradaban.
Nah, cara-cara hidup yang tidak terkonsep, tidak bermuara pada etika (tidak berbudaya) adalah cara hidup manusia tidak terdidik tergolong manusia amburadul (preman) yang menghalalkan segala cara, inilah yang disebut manusia kera kalau sudah karakter mereka rata-rata dan berada dalam suatu bangsa maka dapat dipersepsikan sebagai bangsa kera.
Lantas alat ukurnya apa? Tentu hanya berdasarkan status sosialnya, yakni jabatan dalam pemerintahan yang sebenarnya mereka adalah pelayan masyarakat dan uang yang diperoleh dengan dasar jabatan tersebut, bukan karena keahlian dan produktifitas mereka. Nah bila terhadap mereka dipersepsikan sebagai kaya maka itulah yang disebut salah kaprah.
Pejabat sebenarnya adalah pekerjaan melayani yang tatarannya masih menerima gaji atas jasa pelayanan mereka. Hak mereka hanya sebatas gaji dan fasilitas kerjanya.
Kalau mereka sudah dipersepsikan sebagai orang kaya maka masyarakat kita sudah tidak berada pada asumsi yang normatif dalam melihat pemerintahan untuk rakyat.
Kenapa? Tentu saja karena mereka menempatkan pemerintah sebagai tuannya, karena itu rakyat kita sudah mengalami kebangkrutan mental dan moralitas sosialnya.