Maka dalam pengelolaan politik juga dikenal ada Peg Politik (patok) politik dalam masyarakat yang sewajarnya perlu di pikirkan oleh pimpinan partai politik supaya mereka dapat merebut hal itu.
Jika pernah anda membaca tentang perkembangan awal partai politik dalam sistem demokrasi maka dalam pengembangan partai mengajak masyarakat ikut serta memberi suara menentukan pemilihan calon presiden di dalam partai politik.
Begitu juga suatu grub kesenian opera memberi hak masyarakat menentukan pimpinan grub opera dimaksud karena penonton memberi kontribusi yang sangat berpengaruh dalam perjalanan grub itu.
Nah, bila ada contoh dalam pengelolaan partai politik maka tentunya akan lahir etika dan fatsun dalam politik partai, tapi kalau ini saja nihil maka terjadilah pengelolaan partai politik yang salah kaprah sehingga menyebabkan tujuan politik partai menjadi abal-abal sebagaimana saat ini.
Dampak yang timbul tentu saja berpolitik untuk kepentingan diri sendiri, maka apapun yang dikehendaki oleh pemerintah pusat harus di aminkan oleh partai politik, apalagi jika mereka mendapat bayaran untuk menyetujui sesuatu tujuan yang di golkan oleh eksekutif meski bertentangan dengan harapan masa depan rakyat.
Jika begini terus kondisi pengelolaan partai politik maka kedaulatan rakyat mustahil bisa dicapai karena semua indikator penentuan pejabat pemerintah dari masyarakat ditentukan dengan kemampuan finansialnya.
Lihatlah dimusim pemilu betapa banyaknya rakyat yang mendaftar sebagai caleg dengan syarat bahwa mereka memiliki kemampuan dari sisi finansial bukan dari sisi keilmuan dan kepantasan sebagai hasil seleksi partai politik dan pemilihan oleh rakyat secara benar. Maka sampai pada jabatan tersebut rata-rata mereka hanya menguasai bagaimana cara supaya dipilih lagi periode berikutnya dan praktis mereka tidak memahami cara menduduki jabatan dengan segala fungsi dan kewajibannya yang harus mereka lakukan.
Kemudian kita bisa menyaksikan bertaburan gambar caleg dari berbagai partai politik, ada juga partai baru, partai lama dan partai politik lama sekali atau yang sudah melalui hidup dalam berbagai rezim pemilu. Bayangkanlah berapa banyak uang yang dihabiskan untuk alat peraga kampanye kala pemilu.
Ini bermakna bahwa masyarakat menyumbangkan hartanya untuk negara, karena semua alat kampanye partai politik berasal dari personal caleg bukan ada pembiayaan oleh partai politik bahkan mereka mendapat nomor urut caleg saja ada yang harus membeli dengan uang yang tidak sedikit.
Dimana indikasi tersebut? Mudah sekali kita mendapatkan ada caleg yang instan dalam partai politik, mungkin sebelumnya tidak pernah menjadi kader partai tapi tiba-tiba waktu pemilu menjadi caleg dan di tempatkan oleh pimpinan partai politik pada nomor urut satu atau paling lemah diposisi kedua.
Coba bayangkan bila ada seorang toke narkoba sementara dia tidak pernah menjadi kader dalam partai politik manapun, tiba-tiba jadi caleg urutan satu atau dua, lantas anda bertanya karena apa berlaku demikian?