Sebenarnya sistem feodal juga manusia menjadi pemuja harta dan kemewahan, anda tidak dapat berjalan dengan miskin harta dan anda mengandalkan ilmu sebagaimana pemimpin yang pernah hadir dimasa lalu yang membawa sekedar tongkat dan kesaktiannya sebagaimana dalam ketokohan ilmu silat dan karate dimasa lalu.
Namun yang perlu dipikirkan adalah, jika ingin mengubah prilaku sosial maka ubahlah pemikirannya, misalnya pemimpin standarnya menggunakan kenderaan mewah maka diubah dengan hanya menggunakan mobil sederhana sebagaimana mantan presiden Uruguai yang tetap saja menggunakan mobil VW tuanya selama menjadi presiden.
Nah, apa yang menjadi target kita merubah pemimpin menggunakan sepeda motor atau sepeda?
Tentu saja ukuran seorang pemimpin bukan pada simbol harta yang digunakan seperti mobil mercedes dan merk-merk mewah lainnya. Tetapi seorang pemimpin diukur pada tingkat kemampuan ilmunya, sikap dan prilakunya yang berbasis otak dan hati yang mendekati kesempurnaan.
Untuk apa?
Supaya semua orang memelihara otak dan hatinya dengan baik serta mereka berlomba-lomba ka arah itu sehingga yang paling mampu maka dia sudah pasti dapat menjadi pemimpin rakyat.
Kalau mentalitas rakyat masih dipenuhi dengan pemikiran feodal maka kampanye politik juga tidak pernah berhasil melahirkan seorangpun anggota legislatif yang ideal.
Tentu saja pemikiran sosial yang sudah dirasuki setan kebodohan, misalnya yang hebat yang paling besar dan paling banyak balihonya, karena itu menandakan dia banyak uang jadi tempat rakyat meminta bantuan. Begitulah kebodohan merasuki otak setiap warga negara ini dalam melahirkan pemimpin sebagai Tuan yang adil. Maka orang politik sebagian besar terjerat dengan korupsi besar-besar untuk mengawal posisinya sebagai tuan rakyat.
Kenapa hal ini terjadi?
Jawabnya karena tidak cukup pemikiran stakeholders dalam merubah sistem demokratis. Karena mereka juga ada dijabatan itu karena melobbi atau kedekatan atau menyogok bukan karena kemampuan otaknya.
Karena itulah maka tingkat caleg saja masih berlomba menjadi raja, raja kampanye, raja baliho, raja paling besar fotonya, lomba paling banyak fotonya, dimana pada rakyat menjadi ukuran kemampuan politik seseorang dan dialah yang pantas dipilih.
Pada level calon presiden juga kan begitu, siapa yang kampanye lebih banyak gambar, banyak memberi fasilitas, banyak mengunjungi daerah, lebih banyak kasamaan dengan masyarakat, sudah tentu mereka yang dipilih. Karena ukuran-ukuran seorang pemimpin masih saja diputuskan dengan ruh dan semangat feodalisme meskipun negara sudah dalam aturan politik demokrasi.
Tetapi bangsa kita sulit merubah kebiasaan yang sudah mendarah daging, tentu saja karena belum punya pemimpin sebagaimana Mahatma Gandhi di India.