Feminisme merupakan sebuah gerakan sosial yang mempunyai tujuan untuk mencapai kesetaraan gender. Gender merupakan salah satu alat yang digunakan untuk melihat posisi struktur sosial di masyarakat. Gender disini berkaitan dengan ekspresi, identitas, dan peran seseorang di masyarakat. Gender menjadi penting karena untuk menentukan peran seseorang dimasyarakat sehingga tercipta struktur kekuasaan. Adanya feminisme untuk mengubah dan melawan patriarki. Yang menjadi tujuan feminisme adalah perempuan, laki-laki, dan gender lainnya hidup berdampingan dengan adil dan setara.
      Organisasi feminisme di Indonesia sejak zaman dahulu sudah ada dan beragam mulai dari gerakan perempuan Islam Aisyiyah dari Muhammadiyah, Perhimpunan Istri Sedar, Wanita Katolik, Wanita Taman Siswa dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan zaman dan arus globalisasi membuat organisasi perempuan menjadi satu kekuatan yang baru untuk ikut serta dalam menyuarakan segala isu perempuan yang terjadi lewat dunia virtual. Banyak isu-isu perempuan yang harus disuarakan seperti pemenuhan hak perempuan dalam pendidikan dan pelatihan, kekerasan seksual, hak pekerja perempuan dan masih banyak lagi.
      Hak pekerja perempuan meliputi perlindungan terkait keselamatan, kesehatan kerja (K3) bagi pekerja/buruh harus mendapat perhatian khusus oleh pemerintah. Buruh dan pekerja perempuan menjadi rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan. Berdasarkan data JALA PRT , pada tahun 2018-2023 terdapat 2.641 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada pekerja rumah tangga. Kasus yang dialami berupa psikis, fisik, dan ekonomi yang sedang dialami saat kondisi kerja. Sejumlah PRT mengalami upah tidak dibayar selama 2-11 bulan, dipercat, atau dipotong gaji oleh majikan ketika sakit dan tidak dapat bekerja. Ketika PRT sakit mereka tidak dapat mengklaim jaminan kesehatan, tidak mendapatkan kenaikan upah meskipun sudah bekerja selama bertahun-tahun, dan tidak mendapatkan pesangon saat mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Berdasarkan data pengaduan, Komnas Perempuan mencatat tahun 2022 ada 112 kasus kekerasan gender terhadap perempuan. Sebanyak 58 kasus dilakukan oleh majikan, di mana 4 kasus dialami perempuan PRT. Kemudian ada 11 kasus kekerasan berbasis gender dilakukan perusahaan dan 43 kasus oleh rekan kerja. Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan ada 93 kasus kekerasan gender terhadap perempuan di tempat kerja yang dilaporkan ke berbagai lembaga layanan dan 859 kasus terkait Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).
      Kasus-kasus seperti itu dapat menyebabkan terganggunya kesehatan mental dan fisik pekerja perempuan sehingga menyebabkan keterbatasan pekerjaan hingga kehilangan pekerjaan. Sebagai upaya untuk mengurangi atau mencegah terjadinya kasus-kasus serupa maka perlu adanya undang-undang hukum yang mengatur mengenai hak perlindungan terhadap PRT perempuan. Undang-undang hukum yang ada saat ini belum ada yang bisa menjangkau hingga sektor PRT yang mayoritasnya adalah perempuan. Seperti UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya memuat sektor formal, UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan di Dalam Rumah Tangga hanya mencakup sebagian pengalaman PRT ketika tinggal satu atap dengan majikannya, UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tidak memberikan perlindungan terhadap pekerja buruh.
      Berdasarkan hal tersebut, Rancangan Undang- Undang Perlindungan PRT diajukan sejak tahun 2004 namun hingga saat ini tahun 2024 belum disahkan padahal memiliki urgensi besar karena banyaknya kasus perlindungan PRT yang tidak terselesaikan. Di dalam draft RUU PRT sejumlah hak dan kewajiban telah diatur secara spesifik dalam Pasal 11, PRT berhak :
- menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
- bekerja pada jam kerja yang manusiawi
- Â mendapatkan cuti sesuai dengan kesepakatan PRT dan Pemberi Kerja
- mendapatkan upah dan tunjangan hari raya sesuai kesepakatan dengan Pemberi Kerja
- Â mendapatkan jaminan sosial kesehatan sebagai penerima bantuan iuran
- Â mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja
- Â mengakhiri Hubungan Kerja apabila terjadi pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja.
Pasal 13 PRT berkewajiban:
- menaati dan melaksanakan seluruh ketentuan dalam Hubungan Kerja
- meminta izin kepada Pemberi Kerja apabila berhalangan melakukan kerja disertai dengan alasannya sesuai dengan ketentuan dalam Hubungan Kerja
- melakukan pekerjaan berdasar tata cara kerja yang benar dan aman
- memberitahukan kepada Pemberi Kerja pengunduran diri paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berhenti bekerja
- menjaga nama baik Pemberi Kerja beserta keluarganya
- melaporkan keberadaan dirinya sebagai PRT kepada RT/RW di tempatnya bekerja.
- Status hubungan PRT juga bisa berakhir karena beberapa hal. Hal ini diatur dalam Pasal 10, dengan ketentuan: (1)Hubungan Kerja dapat berakhir karena:
- kehendak kedua belah pihak
- salah satu pihak melakukan pelanggaran atau tidak melaksanakan Perjanjian Kerja
- PRT atau Pemberi Kerja melakukan tindak pidana terhadap satu sama lain
- PRT mangkir kerja selama 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas
- PRT atau Pemberi Kerja meninggal dunia
- berakhirnya jangka waktu Perjanjian Kerja; dan/atau
- Pemberi Kerja pindah tempat dan PRT tidak bersedia untuk melanjutkan Hubungan Kerja. (2)Pemberi Kerja melaporkan berakhirnya Hubungan Kerja kepada RT/RW sesuai domisili Pemberi Kerja dan keluarga PRT.
- Sudah 20 tahun pengesahan RUU PRT belum juga terlaksana, semakin banyak kasus-kasus yang dialami oleh PRT yang ada di Indonesia sehingga pada tanggal 27 Februari 2024 membuat para aktivis turun ke jalan membawa poster-poster dan memamerkan barang-barang rumah tangga dalam demo di depan gedung DPR/MPR untuk menuntut DPR agar mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menjadi undang-undang Perlindungan PRT. Para aktivis tersebut berjenis kelamin perempuan hal ini sebagai bentuk Gerakan perempuan untuk memperjuangkan hak ketenagakerjaan terutama PRT. Pada 14 Agustus 2023 juga terjadi aksi mogok makan yang dilakukan oleh sejumlah masyarakat sipil Bersama dengan PRT di depan Gedung DPR RI, Jakarta. Aksi tersebut dilakukan tidak hanya oleh perempuan namun juga laki-laki bertujuan untuk mendesak segara disahkannya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
- Tidak hanya secara langsung aksi yang dilakukan oleh perwakilan perempuan juga melalui media sosial. Seperti membuat postingan dan di upload di media sosial Instagram dengan nama akun @konde.co dan @indonesiafeminis. Dalam akun Instagram tersebut memposting sebuah foto yang memuat surat terbuka sebagai Ketua DPR RI dari perempuan Indonesia untuk Puan Maharani untuk segera mengesahkan RUU PRT. Di postingan tersebut juga disertai caption dengan mencantumkan kontak person dan juga dukungan dari berbagai organisasi seperti Perempuan Mahardhika, JALA PRT, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH APIK, Konde.co, dan ada 43 organisasi lainnya. Tidak hanya dukungan organisasi ada juga dukungan individu yaitu oleh Lita Anggraini, Panca Saktiyani, Endang Yuliastuti, Iswanti, Eva K Sundari, dan masih ada 15 orang lainnya. Pada caption juga disertakan hastag #SahkanRUUPPRT #MengejarMbakPuan #RUUPPRTuntukKemanusiaan untuk memudahkan orang-orang notice terhadap postingan tersebut dan dapat diviralkan agar segera disahkan.
- Desakan pengesahan RUU PRT dilakukan agar tercapainya hak-hak ketenagakerjaan terutama PRT. Agar berkurangnya kasus-kasus yang dialami PRT sehingga tercipta kualitas hidup yang lebih terjamin. Selain itu juga agar para PRT memiliki perlindungan hukum dan merasa lebih aman.
SumberÂ
Ista Pranoto, B. (n.d.). Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga di Indonesia. https://www.suara.com/news/2022/03/10/135000/jalan-panjang-berliku-mencari-perlindungan-untuk-prt,