Di beberapa pekan ini kita dikejutkan oleh pemberitaan, baik media cetak maupun media online, mengenai rencana dan ancaman PT Freeport Indonesia (PTFI) mengajukan gugatan kepada pemerintah Indonesia ke Badan Arbitrase. Hal ini di latar belakangi oleh kebijakan pemerintah Indonesia melalui PP Nomor 1 Tahun 2017 dengan tujuan agar PTFI mau mengubah Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), meskipun PP ini tetap kompromis dalam hal memberikan ruang kepada PTFI untuk tetap dapat melakukan ekspor konsentrat. Menjadi menarik karena PTFI menolak kebijakan pemerintah Indonesia dan justru mengancam pemerintah serta mengancam akan merumahkan seluruh pekerja.
Secara historis dan faktual, keberadaan PTFI selama hampir 50 tahun di Indonesia sangat jelas tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi negara dan secara khusus bagi rakyat Papua. Justru yang terjadi adalah perampokan besar-besaran sumber daya alam Indonesia yaitu emas, perak dan tembaga, kerusakan lingkungan yang cukup massif di kawasan sekitar pertambangan PTFI serta pengusiran paksa terhadap rakyat Papua yang tinggal di kawasan tersebut. Sebuah realitas yang sungguh ironis dan patut menjadi pertanyaan besar bagi bangsa Indonesia, yaitu DIMANA LETAK KEDAULATAN KITA SEBAGAI SEBUAH BANGSA YANG MERDEKA?
Konstitusi kita pun sudah mengatur perihal masalah pertambangan, salah satunya yaitu UU Nomor 4 tentang Minerba, dimana salah satu aturannya adalah kewajiban bagi perusahaan tambang untuk mendirikan smelter (pabrik pemurnian) dan pelarangan ekspor konsentrat sejak Januari 2014. Namun, PTFI justru mengabaikan semua aturan tersebut dengan bukti sampai deadline tahun 2014 yang lalu, PTFI belum juga mendirikan smelter. Terlepas dari tegas atau tidaknya pemerintah kita pada waktu itu, yang jelas ini merupakan bentuk pelanggaran berat karena ketidakpatuhan sebuah perusahaan, dalam hal ini PTFI, untuk menjalankan peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Di sisi lain, PP Nomor 1 Tahun 2017, meskipun masih sangat kompromis, akan tetapi yang agak mencerahkan adalah kewajiban PTFI melepaskan 51 % kepemilikan sahamnya. Penting untuk kita cermati di sini adalah disvestasi itu tidak akan menjadi apa-apa kalau jatuh ke tangan swasta. Berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, bahwa swasta nasional masih akan pinjam uang ke pihak asing juga, sehingga harus kita pastikan bahwa disvestasi itu harus ke tangan BUMN sebagai representasi negara.
Lalu apa sebenarnya yang diinginkan oleh perusahaan Amerika itu? Analisa pertama, keinginan PTFI mempertahankan sistem Kontrak Karya, yaitu model bisnis lama yang telah memberikan keuntungan sangat besar selama hampir 50 tahun menjalankan bisnis pertambangannya. Sebuah model bisnis yang menempatkan PTFI sebagai ‘Tuan’, sedangkan pemerintah Indonesia sebagai ‘Pelayan’. Bangsa Indonesia, khususnya rakyat Papua, hanya menikmati sebagian kecil saja keuntungan dari eksploitasi emas, perak dan tembaga di Bumi Papua. Sebagian besar keuntungan dinikmati oleh Tuan Besar Freeport, pejabat pelayannya di Indonesia dan aparat keamanan yang menjadi ‘centengnya’. Kalaupun Tuan Besar Freeport, Richard C. Adkerson, mengatakan bahwa PTFI sudah memberikan keuntungan yang sangat besar bagi Indonesia, buktinya Papua masih menjadi 5 besar propinsi termiskin se-Indonesia.
Analisa kedua, fakta bahwa sampai hari ini PTFI tidak juga membangun smelter menunjukkan bahwa mereka ingin negara kita tercinta ini tetap menjadi negara ‘penyuplai bahan baku’ dalam kancah perdagangan ekonomi internasional. Mereka ingin kita tetap menjadi negara ‘ekstrativisme’, yaitu negara yang bergantung pada eksploitasi dan ekspor sumber daya alam. PTFI tidak menginginkan kita menjadi negara industri yang maju.
Akhirnya, pemerintah harus mengingat kembali pesan dari salah satu tokoh pahlawan Kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka, “TUAN RUMAH TIDAK AKAN BERUNDING DENGAN MALING YANG MENJARAH RUMAHNYA”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H