Tiada Mata, Tak Hilang Cahaya: Semangat Pesantren Tunanetra Raudlatul Makfufin
Di tengah hiruk-pikuk kota Serpong, Tangerang Selatan, berdiri sebuah pesantren yang mengusung semangat yang tak pernah pudar: "Tiada Mata, Tak Hilang Cahaya". Slogan ini menjadi penopang semangat bagi santri-santri di Raudlatul Makfufin, pesantren khusus tunanetra yang didirikan pada tahun 1983 oleh R. Halim Saleh, seorang guru besar para tunanetra.
Pesantren ini menawarkan dua jenis pendidikan, yakni pendidikan formal dan non formal. Pesantren formalnya terletak di gedung tiga di Kademangan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten. Sementara itu, pesantren non formalnya berada di Buaran, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten. Kedua lokasi ini berjarak sekitar 35 menit perjalanan. Pesantren non formal berfokus pada pembelajaran fiqih, aqidah, serta Al-Qur'an dan diikuti oleh pemuda-pemuda yang telah tamat SMA. Sedangkan pesantren formal diikuti oleh anak-anak jenjang SD, SMP, dan SMA, yang mempelajari pelajaran sekolah formal pada umumnya seperti matematika, komputer, alat musik, dan lain-lain.
Pendidikan formal yang diberikan di Raudlatul Makfufin juga tidak kalah pentingnya. Anak-anak jenjang SD, SMP, dan SMA yang belajar di pesantren formal mendapatkan pelajaran sekolah pada umumnya. Mereka diajarkan matematika, komputer, alat musik, dan banyak pelajaran lainnya yang membantu mereka untuk dapat bersaing dengan anak-anak lain yang tidak memiliki keterbatasan fisik. Dengan demikian, para santri ini tidak hanya mendapatkan ilmu agama yang mendalam, tetapi juga pengetahuan umum yang luas.
Dzaki, salah seorang santri kelas dua SMA yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang perkuliahan. “Saya mau lanjut ke ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta kuliahnya, soalnya saya suka seni. Kalo sekarang baru bisa main drum” ujarnya.
Dengan dedikasi tinggi, pesantren ini mendidik para santri tunanetra dalam membaca dan menghafal Al-Qur'an menggunakan huruf Braille. Braille, sebuah sistem titik-titik yang dapat diraba, memungkinkan mereka yang memiliki gangguan penglihatan untuk membaca dan menulis. Di Raudlatul Makfufin, huruf Braille Arab diajarkan dengan telaten, memerlukan waktu hampir satu tahun bagi para santri untuk mengembangkan kepekaan pada jari-jari mereka agar dapat membedakan berbagai bagian Braille dengan tepat.
Para pengajar di Raudlatul Makfufin memainkan peran yang sangat penting dalam proses pendidikan ini. “Semua pengajar disini, yang tergabung dalam struktur haruslah seorang tunanetra. Jadi pengajaran yang diberikan langsung oleh orang yang sudah berpengalaman” ujar Pak Erwin selaku wakil kepala sekolah.
Para pengajar tidak hanya mengajarkan huruf Braille dan ilmu agama, tetapi juga memberikan motivasi dan dukungan moral kepada para santri. Para pengajar ini memahami betul tantangan yang dihadapi oleh santri tunanetra, sehingga mereka selalu berusaha untuk menciptakan lingkungan belajar yang nyaman dan mendukung.
Meskipun membutuhkan waktu yang tidak sebentar, semangat belajar para santri, terutama yang muda, sering kali melampaui ekspektasi. Banyak dari mereka yang berhasil menguasai pembacaan Al-Qur'an Braille dalam waktu hanya dua bulan. Kecepatan dan semangat ini menunjukkan bahwa keterbatasan fisik tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk menggapai ilmu dan memahami ajaran agama dengan mendalam.
Pada awal 1990-an, sebuah sumbangan besar datang kepada Raudlatul Makfufin yang memungkinkan pesantren ini untuk membeli mesin cetak Braille. Sejak saat itu, pesantren ini mendirikan percetakan yang memproduksi Al-Qur'an dalam huruf Braille. Mesin cetak ini juga digunakan untuk mencetak berbagai kitab lainnya, seperti Safinatun Najah, Ta’lim Muta’lim, Hadis Arba’in, dan banyak lagi.