Nomor Peserta : 332
“Kwek...Kwek...Kwek...” Bewa berputar-putar di depan Farah.
Dia berjalan setengah berjongkok sambil mengibas-ngibaskan kedua tangan yang terlipat di sisi badannya. Berusaha menirukan gaya itik yang sedang berjalan.
“Hahaha... Lucu, Wa. Lucu” teman-teman lain tertawa melihat aksi Bewa.
“Trus abis itu itiknya lari terbirit-birit pas mendengar ada yang bernyanyi, potong bebek angsa. Masak di kuali” Arya ikut menimpali.
Semuanya kembali tertawa karena merasa geli membayangkan Farah yang berkostum itik lari terbirit-birit.
Wajah Farah memerah. Candaan teman-temannya itu dianggap Farah sudah sangat keterlaluan. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Inilah yang harus diterimanya gara-gara kebagian kostum sebagai itik. Farah menggerutu dalam hati.
Sambil menunggu temannya yang lain selesai didandani, Farah memilih untuk duduk di dalam ruang kelas yang telah disulap menjadi ruang ganti pakaian. Dia malas menunggu di luar. Bisa-bisa nanti Bewa dan teman-temannya bakal mengejeknya lagi.
“Farah, Kamu sudah sarapan belum?” tiba-tiba Winda sudah duduk di sampingnya.
“Sudah, Win. Aku tadi sudah minum susu sebelum pergi ke sekolah...” jawab Farah.
“Cuma minum? Berarti makannya belum, dong. Nanti Kamu kelaparan, loh. Kan rute pawai yang akan kita lewati cukup jauh. Nih, aku ada bawa bekal. Cukup, kok, buat kita berdua. Yuk, kita makan sekarang. Kalo udah pakai kostum nanti Kamu kesulitan untuk makan” Winda membuka bekal dan menyodorkannya pada Farah.
“Aku nggak lapar, kok, Win. Kamu aja yang makan” Farah menolak halus.
“Udahlah, makan saja. Daripada Kamu nanti kelaparan. Lagian Kamu kenapa, sih? Dari tadi cemberut terus...”
Farah tak menjawab. Winda terus membujuk Farah untuk turut menyantap bekalnya. Akhirnya, Farah menurut juga. Meski merasa belum lapar, Farah mulai menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.
“Hm... Aku coba tebak, ya. Gara-gara ulah Bewa dan teman-temannya itu, kan Kamu jadi cemberut begini?” Winda mencoba menerka.
“Aku kesal, Win. Kenapa mesti aku, sih, yang memakai kostum itik? Kenapa bukan kostum yang bagus-bagus, seperti Kamu yang mendapat kostum putri?” Farah mendengus kesal.
“Seperti alasan Bu Diana, Far. Cuma badan Kamu yang cocok dengan ukuran kostum itik itu. Ah, sudahlah Kamu jangan kesal gitu. Kita pikirkan yang asyik-asyiknya aja, yuk. Sebentar lagi kita akan jalan-jalan keliling kota dengan kendaraan hias. Wah, jarang kan orang bisa punya kesempatan kayak gini...” Winda tersenyum.
Namun, Farah tetap merasa kesal. Dia membayangkan selama berkeliling itu Bewa dan teman-temannya akan meledekinya terus. Hu-uh, mana asyik.
Hari itu kegiatan belajar memang ditiadakan di sekolah Farah. Bersama sekolah-sekolah lain, mereka akan turut serta memeriahkan pawai kendaraan hias dalam rangka ulang tahun kota Medan. Kendaraan dihias hingga menjadi beragam bentuk. Ada yang seperti kapal layar, tank, rumah-rumahan, hingga boneka raksasa.
Kendaraan hias sekolah Farah berbentuk puri beserta kebun kecilnya. Farah dan teman-temannya akan berada di dalam kebun buatan itu dengan memakai berbagai kostum. Teman-teman Farah memakai kostum bunga-bunga, kupu-kupu, kumbang, dan putri pemilik puri. Sementara Farah memakai kostum anak itik yang merupakan kostum teraneh dibandingkan kostum lainnya. Setidaknya begitu menurut penilaian Farah.
“Farah! Ayo sekarang giliranmu” Bu Diana ditemani seorang juru rias yang bertugas mendadani para siswa memanggil.
“Duh, Bewa pasti bakal heboh meledekku” Farah membantin.
Dengan enggan dia menghampiri Bu Diana dan juru rias. Pikirannya sudah dipenuhi hal-hal tak menyenangkan yang akan dihadapinya jika kostum itu sudah menempel didirinya.
“Bu Diana, apa tidak bisa diganti dengan kostum lain, Bu? Farah bertanya.
“Kostum yang mana lagi, Farah? Cuma ini yang pas untuk ukuran tubuh Kamu”
Meski berat hati, Farah harus memakai kostum itu. Setelah beberapa saat, akhirnya Farah selesai didandani hingga menjadi seperti anak itik sungguhan.
Dengan langkah perlahan, Farah berjalan ke luar ruang ganti pakaian. Dan...
“Ayooo! Beri tepuk tangan buat si Itik Buruk Rupa...” suara Bewa terdengar diikuti tawa teman-temannya.
Selanjutnya, mereka pun heboh meledek Farah. Melihat itu, Winda langsung menarik tangan Farah.
“Hei, kalian ini hobinya meledek orang aja. Aku adukan ke Bu Diana, ya. Biar tahu rasa kalian! Yuk, Farah jangan dengarkan mereka”
Di saat bersamaan, Bu Diana muncul dan segera menghentikan keriuhan itu.
“Sudah...sudah. Ayo semuanya masuk ke dalam mobil. Kita akan segera berangkat ke Lapangan Merdeka tempat pawai dimulai” perintah Bu Diana.
Ternyata di Lapangan Merdeka sudah ramai sekali. Kendaraan hias dengan beragam bentuk sudah terparkir di sana. Farah yang berjalan agak kepayahan karena kostum itiknya, mengikuti Bu Diana dan teman-temannya menuju tempat kendaraan hias mereka berada.
Pawai pun dimulai. Pelan-pelan puluhan kendaraan beragam bentuk bergerak meninggalkan Lapangan Merdeka. Farah dan teman-teman melambai-lambaikan tangan ke arah penonton yang berada di sepanjang jalan. Sesekali Bewa, Arya, dan anak-anak yang suka usil lainnya masih juga mencuri-curi kesempatan untuk meledek Farah.
“Hei, kalian jaga si Farah, ya, karena sebentar lagi kita akan melewati rumah makan tempat bebek panggang dijual”
Kontan teman-teman yang lain pada tertawa. Farah diam saja. Dia berusaha tidak mempedulikan ejekan tersebut. Walau sebenarnya dia marah dan kesal sekali. Hanya Winda yang berani menegur teman-teman yang usil itu.
Setelah berkeliling kota selama satu jam, iring-iringan pawai pun akhirnya berhenti di depan Istana Maimoon. Farah berusaha turun dari atas kendaraan. Kostum itik itu membuatnya jadi agak susah bergerak. Winda pun membantu Farah. Tiba-tiba ...
“Dik, boleh kakak ambil fotonya untuk laporan artikel? Kostum itiknya bagus sekali” tanya seorang kakak.
Farah tercenung. Kartu pengenal bertuliskan ‘Press’ tergantung pada leher kakak tersebut. Meski agak ragu, Farah akhirnya mengangguk. Lalu, jepret!
“Foto ini akan dimuat dalam majalah anak-anak terbitan bulan depan. Boleh kakak minta nomor hape adik yang bisa dihubungi? Biar kakak bisa mengabari kalau fotonya sudah dimuat” tanya kakak itu ramah.
“Wuih, masuk majalah ni yee... Hebat, Far” Winda berbisik.
Farah lalu memberikan nomor hapenya. Setelah kakak itu berlalu, Bu Diana muncul dari kejauhan dengan tergesa-gesa menghampiri Farah dan Winda.
“Ayo Farah ikut dengan Ibu. Kamu dipanggil untuk naik ke pentas”
“Hah? Mau ngapain, Bu, naik ke pentas segala?” tanya Farah.
“Memangnya Farah kenapa, Bu?” Winda ikut bertanya.
“Loh, tidak dengar ya pengumuman yang barusan disampaikan panitianya? Farah berhasil menjadi juara untuk kategori kostum terbaik”
“Apa?! Yang benar, Bu?” Farah merasa tak percaya mendengarnya.
“Farah, Bu? Wow! Hebat, Far. Ternyata kostum Kamu bawa hoki. Udah masuk majalah, juara kostum lagi...”
“Benar Farah. Kamu berhasil menang dengan kostum itik kuningmu ini” Bu Diana menegaskan.
Wah, Farah senang sekali. Saat hendak menaiki tangga pentas, Farah melirik ke arah Bewa dan teman-temannya yang berdiri tak jauh dari situ. Beberapa dari mereka menundukkan pandangan saat mata mereka beradu dengan mata Farah.
“Hm... kini mereka benar-benar tak berkutik. “Hei, lihatlah ke sini. Aku bukanlah si Itik Buruk Rupa” senyum Farah pun mengembang.
***
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul: [FFA] Inilah Perhelatan dan Hasil Karya Peserta Festival Fiksi Anak di Kompasiana
http://www.kompasiana.com/androgini
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community:
https://www.facebook.com/groups/175201439229892/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H