Mohon tunggu...
Tapi NSL
Tapi NSL Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga yang jatuh hati pada dunia tulis-menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Ada Surga di Hati Bunda

22 Desember 2013   06:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:39 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nomor Peserta : 327

Pepohonan mulai menggugurkan daun-daunnya. Angin berhembus lebih dingin dari biasa. Kehangatan tubuhku terusik oleh hawa dingin yang menembus kulit melalui pori-pori. Ah, andai Bunda ada di sisiku sekarang. Aku yakin pelukan Bunda yang penuh kasih mampu menghangatkan tubuhku ini.

Musim gugur akan berakhir di pertengahan desember. Sebentar lagi musim dingin yang merupakan musim dingin kedua bagiku di negeri kincir angin ini akan tiba. Bunda, sungguh tak nyaman rasanya merasa kedinginan sendirian.

Masak apakah Bunda hari ini? Aku rindu sambal terasi Bunda. Sambal merah dengan tekstur kasar. Kulit tomat dan bawang yang masih terlihat, tidak habis hancur digiling. Rasa terasi yang membuat lidah ini ketagihan. Ditambah lagi bila permintaan manjaku, ingin disuapin Bunda, dikabulkan. Sambil tersenyum, Bunda menyuapkan ke mulutku sesuap nasi panas yang telah dicocolin sambal terasi. Hmm… nikmat sekali.

Setahun telah berlalu aku berjauhan dengan Bunda. Selama di negeri perantauan hanya susu dan keju yang menjadi menu sehari-hariku. Bosan lidah ini mengecap kue-kue yang mengandung banyak gula seperti zeeuwse bolus. Bosan dengan makanan yang terbuat dari keju leiden. Keju yang diberi jintan. Sepertinya aku masih harus bersabar karena pendidikan S-2 yang kujalani perlu waktu setahun lagi.

Bunde Irna, bagaimanakah kabarnya? Masihkah dia bersikap tak hormat bila Bunda bertandang ke rumahnya? Oh, Bunda. Sungguh aku masih belum mengerti mengapa hati Bunda bisa setenang air di telaga bila berhadapan dengan manusia-manusia yang sering menyakiti Bunda.

Aku ingat, saat amarah telah menguasai hatiku Bunda kerap berkata, “Kita tidak boleh marah. Anggap saja mereka adalah orang-orang yang belum tahu bagaimana cara untuk bersikap lebih baik dan lebih lembut. Jadi, maafkanlah…” Haduh, aku benar-benar bisa sakit kepala bila dituntut menjadi seperti Bunda.

Kisah sedih apa yang sebenarnya telah Bunda hadapi selama ini memang tak pernah Bunda ceritakan kepadaku. Bunda, anakmu ini kini telah dewasa.Instingku pun telah terasah tajam. Meski Bunda berusaha menyembunyikannya, namun naluriku mampu menangkap bahwa Bunda tengah menahan tangis.

Cik Dewi, lah yang telah mendongengkan kisah Bunda padaku. Kisah-kisah kesedihan atas penghinaan dan segala tuduhan yang dilontarkan keluarga almarhum Ayah kepada Bunda. Bunda jangan marah pada adik perempuan Bunda itu. Sungguh dia tak salah. Waktulah yang telah mengijinkanku untuk mengetahui kisah Bunda.

Keluarga Ayah tak pernah menyukai Bunda. Bagi mereka, Bunda adalah pembawa sial. Semua bermula dari tragedi yang terjadi menjelang pernikahan Ayah dan Bunda. Delapan hari menuju hari H, Uda Ramdan, adik lelaki Ayah, meninggal dunia dalam kecelakaan lalu-lintas.

Siapa yang tahu jalan takdir? Siapa pula yang mampu mereka skenario kehidupan ini kecuali Sang Mahakuasa? Di masa-masa berkabung itu, empat hari menjelang pernikahan, tragedi terjadi lagi. Sebagian rumah kakek habis dilalap si jago merah.

Sebagai masyarakat perkampungan yang masih didominasi kepercayaan-kepercayaan tahayul, kemalangan yang beruntun terjadi menjelang hari pernikahan tak pelak lagi menimbulkan desas-desus berbau fitnah. Bunda pun mendapat julukan Calon Menantu Pembawa Sial.

Di saat hari pernikahan kian dekat, keluarga Ayah yang telah terhasut melarang Ayah untuk menikahi Bunda. Mereka berkeyakinan bahwa akan ada musibah yang lebih besar jika Ayah tetap melangsungkan niat suci itu. Pola pikir terbelakang membuat mereka berpendapat demikian. Ayah yang telah lama merantau dan mengecam pendidikan kota tak lagi terpengaruh. Meski kedua orangtua dan keluarga besar tak merestui, Ayah tetap melaksanakan niatnya.

Cik Dewi mengisahkan pernikahan Ayah dan Bunda tetap berjalan hikmat meski tanpa dihadiri orangtua Ayah. Rombongan keluarga Ayah hanya terdiri dari dua orang teman karib Ayah. Sungguh tergolong sedikit untuk sebuah rombongan pengantin. Oh, Bundaku sayang. Bunda yang lahir dan tumbuh di kota telah menjadi korban dari suatu pemikiran yang menyesatkan.

Bunda, aku sangat rindu padamu. Di era canggih seperti sekarang bukan hal yang sulit bagi kita untuk saling menatap meski jarak antara Utrecht dan Medan beribu-ribu mil jauhnya. Pinjamlah laptop Cik Dewi sekali-kali jika dia tengah bertandang. Aku rindu melihat wajah Bunda kala Bunda bercerita. Melihat garis tawa yang terlukis di wajah Bunda kala Bunda tergelak mendengar leluconku. Melihat tatapan penasaran Bunda kala kuceritakan kemajuan-kemajuan kota tempatku bermukim sekarang.

Sebenarnya aku tak sanggup meninggalkan Bunda. Namun Bunda mendorong dan menyemangatiku agar aku maju terus saat mengikuti tahap demi tahap seleksi beasiswa S2 Utrecht University. Aku mencemaskan keadaan Bunda jika kita berjauhan. Anak Bunda hanya aku seorang. Betapa sepinya Bunda jika aku tinggal pergi. Namun Bunda menguatkanku. Apalagi ada keluarga Bu Husna yang bersedia menjaga Bunda. Bersyukur sekali memiliki tetangga yang sudah seperti keluarga sendiri. Sampaikan salam rinduku pada Bu Husna ya, Bunda.

Mungkin inilah salah satu buah kesabaran Bunda. Meski dijauhi keluarga Ayah, Bunda tak pernah merasa sendirian. Allah menggantinya dengan tetangga-tetangga berhati lembut yang selalu menganggap Bunda dan aku sebagai bagian dari keluarga mereka.

Bunda, aku ini anakmu. Namun sepertinya aku belum sanggup menumbuhsuburkan kesabaran dalam diriku. Cik Dewi pun mengakui kekagumannya atas ketegaran hati Bunda menghadapi beragam deraan.

Lima bulan setelah Bunda menjadi istri Ayah, musibah kembali hadir dalam keluarga Ayah. Nenek, ibunda Ayah, meninggal akibat sakit komplikasi yang telah lama diderita. Lagi-lagi para tetangga dan sanak keluarga di kampung menghubungkan musibah itu dengan kehadiran Bunda. Mereka belum lupa atas dua musibah yang terjadi menjelang pernikahan. Namun mereka lupa bahwa Nenek sudah lama menderita sakit. Mereka juga lupa bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia fana ini sudah ditentukan oleh Sang Pemegang Kendali Takdir.

Kebencian yang sempat mereda di antara saudara kandung Ayah kembali bergejolak. Bahkan Uda Herman, kakak tertua Ayah, menyuruh Ayah untuk menceraikan Bunda. Sungguh cobaan yang luar biasa di saat Bunda tengah mengalami kepayahan morning sickness sebagai wanita hamil muda. Meski dimusuhi semua ipar, meski Ayah melarang Bunda mengingat kehamilan Bunda, namun Bunda tetap bersikeras ikut Ayah pulang ke kampung untuk menghadiri pemakaman Nenek. Sudah dapat ditebak, selama berada di kampung, Bunda dianggap makhluk asing pembawa bibit penyakit. Dalam kondisi hamil muda yang payah harus menghadapi penolakan dari ipar dan sanak keluarga lainnya, sungguh merupakan situasi yang membuat sengsara. Meski aku masih di dalam rahim, aku yakin di saat itu Bunda hanya mampu menuangkan segala kesedihan dalam aliran airmata. Karena Bunda bukan jenis istri yang suka merengek pada suami.

Bundaku tersayang, sepertinya surga tidak hanya berada di telapak kaki Bunda. Namun juga berada jauh di dalam lubuk hati Bunda. Aroma surga yang terhembus membuat kebencian menjauh dari hati suci Bunda.

Aku masih ingat walau berupa adegan film yang terpenggal-penggal dalam layar ingatanku. Ketika itu usiaku menjelang tujuh tahun dan sebentar lagi masuk Sekolah Dasar. Bunda tampak lebih repot dari biasa. Ayah bilang Kakek datang dari kampung dan sedang dirawat di rumah sakit. Aku dibawa Ayah menjenguk Kakek. Kondisi Kakek sangat lemah. Bahkan Kakek tak mengenaliku lagi akibat sakit TBC yang menggerogoti tubuhnya.

Aku ingat Bunda dengan sabar membantu Ayah membersihkan Kakek karena tiba-tiba Kakek buang air besar. Aku heran mengapa Bunda tak merasa jijik saat melakukan semua itu. Aku tak melihat Uda Herman, Uda Wahyu, dan Bunde Irna di kamar itu. Hanya Ayah dan Bunda yang bahu-membahu membersihkan Kakek.

Berhari-hari Bunda selalu bolak-balik ke rumah sakit. Jika Ayah ke kantor, maka giliran Bunda yang menemani Kakek. Aku di rumah bersama Cik Dewi. Menanti Bunda yang setiap hari pulang menjelang maghrib.

Suatu hari, aku terbangun oleh suara ribut di kamar mandi. Aku hendak melihat apa yang sedang terjadi tapi Cik Dewi buru-buru menutup pintu kamar mandi. Entah apa yang terjadi pada Bunda di dalam. Dari balik pintu, aku terus berteriak memanggil-manggil Bunda. Sementara Cik Dewi berlari ke rumah tetangga.

Jantungku rasanya hampir berhenti kala melihat kondisi Bunda saat dikeluarkan dari kamar mandi. Ada darah mengalir di kaki Bunda. Cik Dewi buru-buru menutup mataku. Beberapa tetangga menggotong Bunda ke dalam mobil. Kuingat mereka selalu mengatakan kata-kata “rumah sakit”, “pendarahan”, dan “keguguran”.

Kini baru kutahu apa yang terjadi. Akibat terlalu kecapekan, Bunda mengalami keguguran. Hari-hari hanya terfokus mengurus keluarga di rumah dan Kakek di rumah sakit. Hingga Bunda tak menyadari kalo sedang mengandung janin dua bulan.

Mengalami keguguran akibat kelelahan mengurus Kakek, tak membuat ipar-ipar Bunda melembut hatinya. Mereka sama sekali merasa tak ada sangkut-pautnya dengan keguguran Bunda. Andai mereka mau berpikir, siapa yang telah bersusah-payah mengurus Kakek jika bukan Bunda. Mereka sendiri yang merupakan anak-anak Kakek merasa keberatan mengemban tugas tersebut. Hanya Ayah yang bersedia mengabdi sebagai anak. Meski Ayah tak bisa terus-menerus di samping Kakek akibat pekerjaan di kantor. Maka Bundalah yang akhirnya menggantikan.

Setelah Kakek wafat, barulah saudara Ayah bermunculan. Tanah kuburan Kakek masih merah, namun mereka telah menuntut pembagian warisan. Kulihat Ayah berulang-ulang mengucap istighfar setelah Uda Herman keluar dari kamar kerja Ayah. Aku yang masih kanak-kanak tak paham apa yang dikatakan Uda Herman pada Ayah. Namun kudengar teriakan Uda Herman sebelum meninggalkan Ayah.

Bunda, aku masih mengingat kebahagiaan keluarga kita. Meski hanya ada Ayah, Bunda, dan aku, namun kita selalu melewati hari dengan tawa-canda. Sayang, semua harus berakhir. Aku yang mulai disibukkan ujian akhir di bangku kelas tiga SMA harus menghadapi kenyataan Ayah sekarat melawan sakit. Berbulan-bulan Ayah mesti opname. Terhadap orang-orang yang menjenguk, Bunda selalu berusaha tampak tegar meski raut-raut kesedihan tergambar jelas pada wajah Bunda. Aku sendiri hampir putus asa Ayah akan sembuh dari sakitnya.

Lagi-lagi ipar-ipar Bunda membuat situasi bertambah runyam. Mereka membawa kembali pola pikir terbelakangnya ke hadapan Bunda. Mengatakan Ayah sakit karena diberi “obat” oleh Bunda. Bagi mereka sungguh tak logis seseorang yang segar-bugar tiba-tiba drop dan mesti diopname berbulan-bulan. Bunda tergiur ingin menguasai harta benda Ayah, itulah tuduhan yang mereka lancarkan.

Dengan suara bergetar, wajah yang menyimpan kesedihan, dan tatapan yang memancarkan sinar kasih sayang, Bunda menjelaskan sakit Ayah pada mereka. Namun hanya ejekan yang Bunda dapat kala mendengar Ayah sakit akibat kanker payudara. Laki-laki kok bisa kena kanker payudara, begitu sanggahan yang mereka lontarkan.

Saat Bunda mengajak dokter menemui mereka, lagi-lagi tuduhan yang Bunda peroleh. Bunda telah bersekongkol dengan sang dokter yang kebetulan mantan teman SMA Bunda itu. Sungguh aku tak terima Bunda dizolimi sedemikian rupa.

“Uda dan Bunde liat sendiri kondisi payudara Ayah. Ada benjolan hingga payudara tampak membengkak seperti itu. Kulitnya kemerah-merahan, berkerut, dan bersisik. Payudara seperti tertarik ke arah dalam. Dan, ada cairan yang keluar. Itu semua tanda-tanda kanker. Laki-laki juga bisa terkena kanker payudara.” Ujarku sambil menahan air yang memaksa tumpah dari kedua mataku.

Bukannya mendengar penjelasanku, mereka malah berusaha menyadarkanku dari “pengaruh” Bunda. Oh, Tuhan. Detik itu aku bersumpah dalam hati akan meraih pendidikan hingga tingkat tertinggi agar ilmu pengetahuan dan wawasanku terbuka luas. Tidak seperti pola pikir mereka yang amat terbelakang dan menyesatkan.

Dadaku gemuruh oleh kemarahan yang tertahan saat memandangi mereka meninggalkan kamar Ayah. Namun dengan lembut Bunda berkata, “Sabarlah. Mereka cuma belum tahu bagaimana caranya bersikap lebih lembut dan lebih baik.”

Cukup sembilan bulan Ayah tersiksa menahan penyakitnya. Hingga kemudian Allah memanggil Ayah pulang menemui-Nya. Sepeninggal Ayah, Bunda tetap berusaha menjalin silaturahmi dengan keluarga Ayah. Meski sikap tak bersahabat kerap Bunda terima. Syukurlah, anak-anak mereka tak ketularan sifat buruk orangtuanya.

Bundaku sayang,

Tanpa Sang Kapten di kapal, kita berdua harus bahu-membahu agar kapal tetap berjalan. Bunda pun harus memutar otak demi menambah pundi-pundi. Apalagi aku mulai memasuki perkuliahan. Gunung yang tinggi pun jika dikeruk terus-menerus lama-lama akan habis. Maka, Bunda berusaha mengandalkan kemampuan sebagai sumber penghasilan.

Bukan perkara mudah ketika Bunda memutuskan untuk membuka usaha kuliner. Aku masih ingat, Bunda duduk terpekur di sudut dapur karena baru mendapat omelan pelanggan yang merasa kurang puas. Aku juga ingat, Bunda yang mengelus dada di samping telepon sambil istighfar berulangkali kala karena mendapati kenyataan seorang pelanggan telah mendustai Bunda. Pesanan telah dikirim, namun dia tak mau membayar. Namun Bunda tak pernah mengeluh atau marah pada keadaan itu. Hanya aku, anak Bunda, yang diam-diam menahan tangis tak kuasa melihat Bunda bersusah hati. Semua pengorbanan berbuah manis. Usaha kuliner Bunda telah berkembang kini.

Sebentar lagi hari ibu. Kalo di negeri kincir angin perayaan hari ibu identik dengan memberikan hadiah hasil kreasi sendiri. Atau sarapan di tempat tidur bersama ibu dengan makanan yang dimasak sendiri khusus untuk ibu.

Sementara aku hanya mampu mengirimkan barisan kata ini untuk mewakili segenap kerinduanku dan rasa sayangku pada Bunda.

Selamat hari Ibu, Bunda. Semoga kesehatan dan kebahagiaan selalu bersama Bunda.

Peluk cium anakmu dari negeri jauh.

***

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community http://www.kompasiana.com/androgini

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community:
https://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun