Agustus 2018 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data angkatan kerja di tanah air. Kepala BPS Suhariyanto menyoroti peningkatan tingkat pengangguran yang terjadi di desa lantaran jumlah pekerja sektor pertanian yang juga menyusut.
Berdasarkan struktur lapangan pekerjaan, sektor pertanian masih mencatat sebagai sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Dengan andilnya mencapai 28,79%, namun angka ini mengalami penurunan jika dibandingkan Agustus 2017 yang mencapai 29,68%.Â
Data BPS menunjukkan, pekerja di sektor pertanian tercatat 35,7 juta orang atau 28,79% dari jumlah penduduk bekerja 124,01 juta jiwa. Sementara di periode yang sama tahun 2017, jumlah pekerja sektor pertanian di angka 35,9 juta orang atau 29,68% dari jumlah penduduk bekerja 121,02 juta orang.
Dari sini jelas terlihat meski masih menyumbang pekerja terbanyak dalam postur angkatan kerja nasional, jumlah pekerja di sektor pertanian terus turun dari waktu ke waktu. Dan ternyata, tidak hanya transformasi ekonomi yang menjadi ancaman. Laju urbanisasi yang kerap menjadi bagian dari fenomena Lebaran pun, dapat mengancam sektor pertanian nasional karena berpotensi mengurangi pekerja di pertanian pedesaan
"Fenomena urbanisasi memengaruhi produksi sektor pertanian karena jumlah pekerja sektor pertanian, yang kebanyakan berada di pedesaan, terus berkurang," ujar peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Diheim Biru, akhir pekan lalu.
Berdasarkan data BPS melalui Survei Angkatan Kerja Nasional tentang penduduk 15 tahun ke atas menurut status pekerjaan utama, jumlah pekerja bebas sektor pertanian pada tahun 2018 merupakan paling rendah dari 10 tahun terakhir yaitu sebanyak 4.582.344 orang.
Penurunan pekerja sektor pertanian ini tentu berpotensi memengaruhi produksi komoditas pangan nasional. Produktivitas pangan nasional dikhawatirkan tidak mampu memenuhi jumlah permintaan pasar yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.
Akibatnya, terjadi kesenjangan antara jumlah produksi dengan jumlah permintaan yang kemudian menyebabkan tingginya harga komoditas pangan.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai pertanian di Indonesia saat ini terlalu fokus kepada pertanian industri yang menekankan peran korporasi. Padahal sejatinya pembangunan pertanian harus berbasis pada petani kecil.